"Terlalu bajingan untuk disebut sebagai laki-laki."
Matahari bersinar begitu terik membuat tenggorokan semua orang merasa sangat kering termasuk juga Adelia yang saat ini sedang duduk di pinggir lapangan basket indoor dengan kaki yang diselonjorkan. Matanya memang mengamati teman-teman cowoknya yang sedang bermain basket namun pikirannya berkelana entah ke mana.
Felly, yang statusnya sebagai sahabat Adelia merasa ada yang aneh dengan sahabatnya. Mukanya terlihat kusut seakan tidak memiliki gairah untuk hidup.
Sedikt, Felly memajukan tubuhnya lalu kepalanya dia tolehkan ke arah Adelia. Ditelitinya raut wajah Adelia, masih sama, kusut.
Sejak kejadian kemarin, pikiran Adelia kacau. Dia terus memikirkan apa yang dikatakan Dikta. Bahkan dia sudah mencoba memikirkan jawaban apa yang harus dia berikan pada Dikta namun dia tak kunjung menemukannya.
Merasa ada yang memperhatikannya, Adelia menundukkan kepalanya lalu matanya melebar dan hampir saja berteriak ketika mendapati wajah Felly yang sedang menatapnya.
"Lo ngapain sih curut?" kesal Adelia sambil tangan yang memukul keras bahu Felly.
"Gue heran sama lo, kenapa lo diem aja hari ini," jawab Felly
Adelia tak menjawab, dia malah beranjak dari duduknya berniat meninggalkan Felly sendirian.
"Lo mau ke mana? Olahraganya belum selesai," kata Felly.
"Ke mana aja asal gak ada lo," balas Adelia lalu benar-benar meninggalkan Felly sendiri.
Adelia berjalan tak tentu arah. Dia juga tidak tahu akan ke mana yang jelas dia ingin membersihkan otaknya dari satu nama ; Dikta. Adelia kira mengenal Dikta akan menyenangkan namun yang terjadi malah menyeramkan.
Selama perjalanan menyusuri koridor sekolah tak henti-hentinya dia menghela napas. Dengan berbuat seperti itu Adelia berharap bebannya akan berkurang.
Tak lama bel tanda istirahat berbunyi dan suasana koridor menadadak ramai. Seketika Adelia menghela napas gusar, Adelia sedang ingin sendiri dan sekarang kondisi di sekitarnya sudah menjadi ramai.
Jauh di depannya, Adelia melihat seseorang yang sejak kemarin menganggu pikirannya. Seperti biasa, raut wajah orang itu menampakan seolah tidak terjadi apa-apa. Bibirnya tersenyum tipis dari raut wajahnya Adelia yakin kalau orang itu sedang menggoda gadis yang ada di hadapannya.
******
Dikta berlari keluar kelas untuk mengejar sahabatnya ... Alex yang sekarang sedang di mabuk cinta oleh gadis yang Dikta juluki sebagai koran bekas karena sikapnya yang kaku dan eskpresinya yang selalu datar.
"Ke mana lo?" tanya Dikta sambil memegang bahu kanan Alex.
"Ngapel," jawab Alex lalu berlalu meninggalkan Dikta.
Dikta mematung di tempat sambil geleng-geleng kepala, ternyata saat ini temannya menjadi bucin.
"Kak Dikta!" Seruan itu membuat Dikta menoleh ke belakang. Di belakangnya berdiri seorang gadis cantik yang sedang tersenyum manis ke arahnya. Itu adalah Karin, adik kelas yang Dikta targetkan untuk digombali.
"Eh, ada adik manis," ujar Dikta sambil tersenyum.
"Kakak ngapain di sini?" tanya Karin.
Dikta diam sejenak. Dia sedang mencari alasan pas yang pastinya akan membuat Karin baper setengah mati.
"Kakak lagi nungguin kamulah," jawab Dikta sambil mengangkat kedua halisnya.
Jawaban Dikta mampu membuat Karin salah tingkah. Pipinya merona, badannya gemeteran dan bibirnya tak henti-hentinya tersenyum. "Kakak bisa aja," ujar Karin sambil menunduk, menyembunyikan rasa malunya.
"Kamu tambah cantik kalau lagi malu gituh."
Tak tahukah Dikta kalau perkataannya barusan mampu membuat jantung Karin berdegup lebih kencang. Dan tanpa Karin sadari pipinya sudah memanas bak kepiting rebus.
"Kantin yuk!" ajak Dikta sambil menarik Karin ke arah kantin.
Dikta menoleh ke belakang, dia melihat Adelia berdiri dengan raut wajah yang bisa dibilang kecewa. Dikta tahu kalau dia kelewatan, hanya saja dia melakukan ini untuk melihat bagaimana respon Adelia. Dia sungguh mencintai Adelia namun caranya saja yang salah.
Tangan kiri yang tidak digunakan untuk merangkul Karin dia gunakan untuk menyalurkan emosinya dengan cara dikepalnya erat-erat. Dikta marah. Bukan pada orang lain melainkan pada dirinya sendiri yang berprilaku seperti laki-laki bajingan.
"Kakak kenapa?" tanya Karin karena dia merasa ada yang aneh dengan Dikta.
"Gak papa,' jawab Dikta sambil memaksakan untuk tersenyum.
Di sisi lain Adelia berlari menuju lapangan basket outdoor. Dia tidak mengerti dengan jalan pikir Dikta. Setelah Dikta menerbangkan dirinya jauh ke atas langit lalu dengan cepat Dikta menjatuhkan dirinya ke dasar jurang. Kalau memang Dikta berniat untuk mempermainkannya lantas kenapa hatinya selalu berkata kalau Dikta serius. Jujur Adelia benci berada dalam fase ini, fase di mana dirinya merasa bodoh dengan alasan cinta.
"Gue bodoh. Bodoh karena gue sempat percaya sama lo," kata Adelia sambil mengusap wajahnya kasar.
Adelia duduk termenung dengan kaki yang ditekuk lalu kepalanya dia sembunyikan di atas lutut.
"Bodoh, bodoh, bodoh," racau Adelia.
Adelia terus meracau lalu tak lama kemudian racauannya berubah menjadi sebuah isakan. Untuk kesekian kalinya Adelia menangis lagi dengan alasan yang sama, merasa dipermainkan oleh Dikta.
Entahlah, siapa yang salah di balik kejadian ini. Apakah Dikta yang terus memberi harapan pada Adelia sembari dibaluti dengan penghianatan ataukah Adelia yang terus terlalu berharap dan mudah termakan omongan Dikta? Tak ada yang salah sebenarnya, hanya saja mereka kurang dewasa.
Dari ambang pintu nampak seoarang laki-laki yang berdiri dengan kedua tangan yang dikepal. Dia merasa tidak pantas untuk disebut sebagai laki-laki, dia merasa terlalu bajingan karena telah menyakiti hati gadis yang dia sayangi.
Dikta ingin sekali menghampiri Adelia dan memperjelas semuanya namun dia merasa malu untuk menampakan wajahnya. Biarlah sekarang semua seperti ini, saling menyakiti diri sendiri dengan kebodohan yang tercipta oleh diri sendiri.
"Maafin gue. Gue memang gak layak buat lo," kata Dikta.
Dilihatnya Adelia yang saat ini sedang mengusap air mata di pipinya. Posisi Adelia memang membelakangi Dikta namun Dikta bisa pastikan kedua mata gadis itu bengkang dan hidungnya memerah.
Adelia beranjak dari posisinya dan Dikta dengan cepat langsung berlari. Dia tidak ingin Adelia mengetahui keberadaannya