Sore itu Nata kembali kerumah dengan air mata bercucuran. Ditemani dengan Sehun di sampingnya, gadis itu menangis di pelukan sang Oma. Nira yang turut merasakan sakit akibat perlakuan buruk antar cucu satu sama lainnya. Pemberitahuan bahwa segala hal yang berkaitan dengan lelaki ber-asma Khalif telah usai. Termasuk sisa perasaan di hati.
Sulit. Terlalu banyak kenangan manis yang pernah di alami nya dulu. Membuat Nata mau tidak mau harus berusaha menutup buku. Karna telah ada Sehun disini. Keberadaan lelaki berkulit putih itu sudah banyak membantu.
Saat malam menjelang, Nata sudah terlelap dikamar. Dengan posisi mata serta wajah yang sembab, Nira bangkit untuk mengecup pucuk kepala. Wanita paruh baya itu berusaha mendial nomor seseorang.
"Antar saya pulang malam ini, nggak lama. Hanya sebentar"
Ketukan sepatu hak pendek beradu dengan lantai. Disertai suara tongkat yang biasa di pakai Nira. Membuat eksistensi-nya disadari oleh kedua manusia berada di depan tivi.
"Ibu? Kapan sampai? Mau makan malam dulu? Shen—"
"Nggak usah, ibu nggak lapar" Terpangkas sudah pembicaraan yang dilontarkan oleh Shalim Mahapraja-putra sulung dari Nira bersama suami. Lelaki itu berusaha tersenyum paksa. "Ibu selama ini tinggal di rumah Dinata ya?"
"Iya"
"Bagaimana keadaan—"
"Nggak usah basa-basi Shalim!"
Tajam dan tegas. Seperti itulah tatapan mata yang diberikan Nira kepada putra sulungnya. Memandang Shena—menantu yang tinggal satu satunya sedang yang berada di samping Shalim.
"Anak kamu di mana Shena?"
Ah. Ini saatnya untuk bersikap tegas. Hilang sudah sifat serta jiwa tata bahasa lembut yang biasanya tersandang pada Nira.
"Nameera ada dikamar bu, mau Shena panggilin?"
"Nggak usah, cukup kalian dengarkan omongan ibu...
Bagaimana, sudah puas melihat Dinata tersiksa?
Senang nggak melihat Dinata terus-terusan menangis?
Sikap kalian yang dengan kurang ajarnya mengasingkan cucu ibu! Berusaha mengambil hak serta kepunyaan yang dimiliki Dinata. Nggak cukup dengan kalian merebut Khalif aja?"
"Tapi ib—"
"Kenapa usaha yang dibuat Kais sejak dulu mau kalian ambil?!"
Meninggikan suara dengan air mata di pelupuk sana. Wanita paruh baya itu berusaha menahan tangis. "Hanya kedai itu yang dimiliki Dinata sekarang, nak. Bahkan sampai sekarang cucu ibu itu masih aja menolak pemberian yang dikasih"
Shalim mengangkat kepalanya pelan, menatap Nira dengan pandangan bertanya. "Maaf bu, tapi disini Shalim maupun Shena sama sekali nggak ingin merebut Kedai kopi itu. Lagi pula apa yang di dapat kalau kami melakukannya? Nggak ada"
"Jadi siapa—"
"Itu aku Oma"
Nameera. Gadis cantik itu sedang berdiri di undakan tangga. Berjalan-turun dengan posisi anggun membuat Nira berdecih malas. Cucu nya yang satu ini memang pintar membuat Drama. "Sekarang jelasin, apa untungnya kamu merebut Kedai itu?"
"Supaya Dinata merasa sedih?"
Ucapan yang dilontarkan anaknya membuat Shena melototkan sang mata. "Nameera! Berbicara yang sopan dengan Oma" ancamnya dengan nada penuh peringatan. Yang sialnya malah di abaikan.
"Oma lihat. Bahkan semua orang selalu membela anak itu, termasuk ibu ku sendiri"
Tatapan beradu sengit terjadi. Shena menghela nafas pelan "Ibu maaf atas sikap Nameera yang—"
"KENAPA IBU MINTA MAAF?!"
Plak
Yang kedua kalinya Nira melayangkan tangan kepada sang cucu. "Dasar anak durhaka. Berani-berani nya kamu bersikap lancang dengan ibu sendiri"
Terpaku. Nameera berdiri dengan posture bak patung. Tangan kanan yang memegang area pipi. Tamparan ini terasa begitu—panas?
"Karma selalu datang nak. Entah itu kapan, yang pasti Oma selalu berdoa agar kamu segera menyesali perbuatan yang di lakukan. Jika waktu itu tiba, jangan lupa untuk meminta maaf, pada Dinata pastinya"
—
Biang lala.
Ombak banyu.
Kora-kora.
Semua permainan itu sudah dimainkan oleh Nata dan kawan-kawan. Malam ini ada festival-karnaval di Ibu kota. Sangat jarang di adakan. Maka dari itu Jaehyun, Mawar serta Nata berinisiatif untuk datang. Ditambah Sehun yang sedari kemarin enggan pulang kerumah.
Keberadaan lelaki itu pun dipertanyakan oleh sang adik—Jaehyun. "Abang kok ada disini? Bukannya kemarin ada urusan kantor di luar kota?"
"Sudah pulang"
"Kapan?"
"Baru aja"
"Kok bisa disini?"
"Kepo kamu. Banyak tanya"
Delikan tajam pun didapat. Yang tidak di hiraukan oleh Sehun. Lelaki berkulit putih itu menggandeng tangan Nata menuju food truck. "Pesen aja, mau makan apa?"
Sedang yang dilakukan Mawar adalah tertawa. Mengetahui bahwa banyak sekali tanda tanya di kepala Jaehyun sekarang. "Udah, biarin aja abang lo ikut sama kita untuk main disini"
Membulatkan mata dengan lebar. Jaehyun sedang membekap mulutnya sendiri. Adegan dramatis yang biasanya dilakukan oleh lelaki tampan itu membuat Mawar sedikit jengah. "Nat, lo beneran mau ngajak kita masuk ke dalam sini?"
Maka anggukan sebagai jawaban.
Rumah hantu. Yang biasanya selalu gelap. Diisi dengan suara menyeramkan serta tulang atau bangku bergoyang. Memacu adrenalin pun bisa dilakukan.
"Lo takut jae?"
"Kamu nggak tahu? Elsa memang penakut dari dulu—"
"KATA SIAPA?!" Yang ngegas sekali suaranya. Sehun sampai terkejut. Adik bungsunya ini kenapa sih?
"Ayo masuk! Biar gue yang di depan" Bersikap sombong diawal. Hal yang sekarang dilakukan Jaehyun tentunya ditertawakan. Ego yang selalu di menangkan. Lelaki itu sedang berdiri ketakutan di barisan belakang. Mengapit lengan Mawar dengan kencang.
"Sakit Anjir! Katanya nggak takut"
"Gue kaget War!"
Menggeleng pelan, Nata kembali berjalan didepan. Bersama Sehun. Seakan dunia milik berdua. Hal yang tentunya membuat eksistensi serta airmuka tidak mendukung dari pemuda yang berada di belakang.
Abangnya kenapa nempel banget sih dengan Dinata?!
Tangan yang saling bertautan membuat Jaehyun gerah. Dinginnya ruangan pun tidak terasa. Dirinya sedang di bakar api cemburu yang membara! "Sialan!"
Umpatan pelan yang dapat di dengar oleh Mawar. "Kenapa? Cemburu?"
Menoleh cepat dilakukan.
Jaehyun memandang Mawar sendu.
"Nggak" saat kepala mengangguk dan bibir berkata iya.
"Terus, bagaimana dengan gue?"