"Nyatanya perlakuan buruk seseorang di masa dulu akan tetap dan selalu membekas di sudut hati. Tak perduli sudah berapa kali memaafi"
- - -
Terkejut? Sudah pasti, bahkan Nata saat ini berdiri dengan membekap mulut sendiri. Bagaimana tidak, seorang wanita paruh baya sedang berdiri tepat di depan pintu rumahnya. Lengkap dengan sebuah koper besar berwarna Merah Metalic. Seakan sudah direncanakan kepergiannya.
"Oma... mau kemana?"
Sungguh nelangsa batin Nira. Wanita berparas cantik yang sudah memasuki umur enam puluh tahunan itu menahan segala air mata yang hendak tumpah dari sana. Keadaan sang cucu benar-benar memprihatinkan. Apakah perbuatan dan perkataan Nameera seburuk dan sekasar itu saat berbicara dengannya tadi siang?
Wajah Nata terlihat memerah dengan kantung mata dan hidung yang membengkak. Bahkan sisa air mata masih ada di sudut mata nya saat ini. Ah cucu nya kembali menangis lagi seperti barusan.
Menghamburkan pelukan ke tubuh ringkih milik Nata, Oma Nira menangis sejadi-jadi nya. Paham bahwa ini sudah memasuki tengah malam dan takut membangun kan tetangga. Nata membopong Oma yang masih setia mengeluarkan cairan bening itu. Kedua nya duduk tepat di sofa depan Tv.
"Jangan nangis Oma..."
"Maaf atas semua perlakuan Nameera yang menyakiti hati kamu Dinata. Oma minta maaf atas Khalif juga. Pertunangan mereka bukan Oma yang merencanakan dan itu diluar dugaan" Berusaha menjelaskan dan menghapus benteng kesalah pahaman. Nira tak ingin dibenci oleh cucu nya sendiri.
Yang sekarang masih belum berhenti menangis. Pelukan itu, Nata menikmati nya. Seumur hidup Nata hanya di peluk sekali oleh Oma saat kedua orang tuanya meninggal. Hubungan keluarga Mahapraja memang sebegitu peliknya.
Sejak Nata kecil, ayah dan ibu nya memang tidak pernah membahas tentang keluarga mereka di hadapannya. Hal yang memicu tanda tanya besar pada Nata masih kecil, dulu. Bahkan Nata baru mengetahui fakta terbesar nya semenjak SMA.
Oma Nira semasa dulu tidak merestui hubungan dari ayah dan ibu. Namun begitu, ia tetap saja sayang pada sang cucu. Baru bertemu saat prosesi pemakaman. Hal yang membuat Nata sedikit canggung dan tidak terbiasa memiliki Nenek. Bahkan Nameera yang sepupu nya saat itu ikut mendekati Nata.
Namun perlahan Nata sedikit menerima Oma. Walau masih terselip benteng pertahanan yang besar menghadang mereka. Semua pemberian yang diberikan oleh Nira ditolak secara halus dengan Nata. Hanya untuk satu alasan yang sama, tidak ingin merepotkan.
Bagaimana tidak terluka saat itu perasaan Nira. Namun ia memahami, Nata membutuhkan waktunya sendiri.
"Maaf atas perbuatan Nameera dulu dan sampai sekarang sayang"
Masih saja rupa nya membahas masa dulu. Yang membuat hati Nata kembali merasakan sakit. Perlakuan Nameera saat itu diluar batas wajar. Mengatakan bahwa Nata adalah hasil anak di luar nikah kepada seluruh murid di seanterio sekolah nya dulu.
Yang entah apa faedahnya.
Nyatanya pada saat itu, ayah nya sedang tidak memiliki duit sepeser pun sehingga telat untuk mendaftarkan Surat Kelahiran Nata ke Dinas Sosial.
"Sudah Oma, Dinata nggak apa-apa. Watak Nameera dari dulu memang seperti itu dan juga tolong berhenti untuk meminta maaf"
Menuruti. Nira memandang lekat wajah cantik milik Nata. Benar-benar perpaduan duplikat dari Putra dan menantu nya dulu. Sangat cantik dan lembut. "Dinata ambil minum dulu ya? Oma tunggu disini sebentar"
Mengangguk dan mengucapkan rasa terimakasih saat menerima uluran gelas yang berisi air putih. "Apa Oma boleh tidur di sini sama Dinata?" tanya ia hati-hati.
Dengan segenap hati Nata mengangguk girang. "Boleh nanti Oma bisa pakai kamar Ayah dan Ibu"
—
Fakta bahwa rindu itu memuncak dengan seiring berjalannya waktu. Nira merasakan itu. Melihat beberapa Figura foto yang terpampang jelas di kamar milik Putra dan menantu nya dulu. Ia merindukan masa itu.
Memang benar Nira menolak mentah-mentah saat ayah Nata ingin menikahi ibunya semasa dulu. Bahkan perselisihan mereka masih terus berlanjut hingga kelahiran sang cucu. Tak menutup kemungkinan bahwa ia menyayangi Nata yang masih memiliki darah kelahiran Mahapraja.
Ketika kecelakaan saat itu merenggut sekaligus orang terkasih. Nira menjadi lebih protektif kepada Nata dengan caranya sendiri. Memasang kamera tersembunyi di seluruh sudut rumah hanya ingin memperhatikan sang cucu yang enggan bertemu.
Dapat dilihat. Nata sering menangis bahkan ketakutan ketika gelap melanda. Membuat nya mengutus seseorang yang bisa memperhatikan Nata dari jarak dekat. Assegaf memiliki jasa besar kepada nya.
"Maaf atas sikap ibu dulu, Kais dan Klee"
—
Kedatangan Nira ke kedai milik Nata sukses mengejutkan relung batin Assegaf. Bagaimana tidak? Bahkan lelaki itu bersikap seolah tidak mengenal omanya atas permintaan wanita paruh baya itu.
"Oma ini bang Segaf, dia udah banyak bantu Dinata selama disini"
"Halo, saya Segaf... Oma"
Senyum milik Nira terbit. "Terimakasih banyak Segaf atas uluran tangan kamu untuk membantu Cucu saya selama ini" ucapnya dengan nada tersirat kata makna. "Sama-sama kembali oma"
Perbincangan itu masih terus berlanjut kala Jaehyun dan Mawar yang datang untuk mengecek kedai seperti biasa. Mengobrol hingga lupa waktu bahkan Nata menikmati hari ini. mengabaikan beberapa pesan yang masuk ke dalam gawai.
Yth. Abg Sehun
"Nata, bgmn kdn km skrg?"
"Km sdng sbk y?"
"Nnti sr sy jmpt km di kdi sprt bs"
"Tngg sy❤️"
Sehun terkikik geli ujung sana. Berulang kali membaca pesan terakhir yang ia kirimkan kepada Nata disertai emot love di akhir kalimat. Sangat bukan dirinya sekali!
Tapi tak apalah, mereka masih dalam proses pendekatan. Benar adanya bahwa Sehun ingin semakin dekat kepada Nata. Efek yang diberikan gadis itu sangat besar terhadap sang diri ditambah permasalahan bahwa Nata memiliki problem kepada keluarga nya sendiri.
Nata bukan hanya sebagai obat saat ini. Luka yang ditorehkan saat Yuna pergi dahulu benar-benar berefek besar kepada hidup sehun. Bertemu dengan Nata sangat diluar dugaan.
Seorang gadis yang seharusnya menikmati hidup di masa bangku perkuliahan tetapi sibuk memikirkan jalan kehidupan berlandaskan duit.
Senyum yang terpatri sedari meeting tadi membuat baekhyun mengernyit bingung. Ada apa dengan bos merangkap temannya satu ini? "Maneh kenapa hun?" tanya ia dengan logat khas sunda.
Tentu Sehun menggeleng tegas dengan senyum tertahan. "Apanya kenapa?"
"Ditanya malah nanya balik, Kebiasaan!"
Tak menanggapi ocehan yang diberikan lelaki Sunda itu. Sehun bergegas merapihkan meja di ruangan saat melihat jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Mencari kunci untuk menunggangi sang kuda besi. "Titip kantor ya bang, gue ada urusan penting!"