*Jika di dunia ini ada sebuah harapan yang langsung terkabul, kau patut mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi?
1
Sepuluh tahun yang lalu, aku membuat sebuah janji pada seorang anak yang tinggal di samping rumahku.
Awalnya, karena kedua orang tuanya sering pergi dan sibuk dengan urusan pekerjaan dia sering dititipkan ke rumahku. Lalu, karena kami seumuran serta punya ketertarikan pada hal yang sama, dalam waktu singkat kami bisa akrab dan berteman baik.
Orang tuanya sering titip pesan padaku untuk melindunginya dan jangan pernah membuatnya menangis. Karena hal itu terus dikatakan padaku secara berulang-ulang, entah sejak sejak kapan hal itu jadi semacam sugesti yang harus kuturuti dan lakukan dengan patuh.
Tentu saja bukan hanya karena hal itu aku melakukan apa yang mereka katakan padaku. Tetanggaku yang manis itu sudah kumasukan dalam daftar orang penting sehingga melihatnya menangis adalah hal pertama yang sangat tidak kuinginkan.
Dan, keinginanku untuk melindunginya kujadikan resmi dengan sebuah janji. Janji lama yang kubuat dengannya sepuluh tahun yang lalu.
Dulu, dunia masih bisa diajak berkompromi dan dijadikan teman baik. Orang di sekitar kami baik. Tapi untuk suatu alasan. gadis manis tetanggaku itu selalu kelihatan khawatir dan selalu bereaksi berlebihan ketika ada yang membicarakan apa yang akan terjadi beberapa tahun ke depan.
Sebuah negara kecil di samudra pasifik tiba-tiba mendeklarasikan perang. Memang negara itu terkenal dengan teknologinya yang sangat maju, tapi negara maju bukan hanya negara itu. Selain itu meskipun negara itu mendeklarasikan perang, begitu pasukan gabungan dari negara-negara besar menyerang kurasa negara itu tidak akan mungkin punya kesempatan menang.
Dengan skill seseorang bisa berdiri di atas semua orang, tapi skill tidak ada gunanya kalau dia kalah jumlah.
Dengan pikiran itu, pembicaraan serius para orang tua tidak pernah kuanggap apa-apa.
Tapi sepertinya tetanggaku tidak berpikir seperti itu dan malah mengkhawatirkan hal yang masih belum perlu dikhawatirkan oleh anak seumuran kami.
Dengan latar belakang itu, aku berjanji padanya. Agar dia tidak memikirkan hal lain kecuali aku.
"Aku akan selalu bersamamu dan membuat kita semua bahagia."
Kita semua, aku, dia, dan kedua orang tua kami, lalu orang-orang di sekitarku.
Dengan riangnya, dia menjawab.
"Kalau begitu aku akan selalu mendukung dan membantumu."
Kedua jari kelingking kami bertautan lalu kamipun tersenyum.
Lalu. . . . .
"Mimpi itu lagi."
Akupun bangun.
Mimpi dari sepuluh tahun lalu itu terasa begitu nyata sampai bisa membuatku secara reflex memeriksa keadaan di sekitarku, memeriksa apakah ada seseorang di sana. Tentu aku tidak menemukan apa-apa selain ruangan kecil gelap, beberapa buah benda, dan juga jam yang sudah menunjukan waktu hampir pukul setengah tuju.
Gara-gara mimpi itu, rasa ngantuku langsung hilang dan keinginanku kembali naik ke kasur menguap begitu saja. Dan, meski aku tahu kalau tidak akan ada pemandangan bagus yang menyambutku. Aku membuka jendela lalu melihat ke luar.
Yang ada di luar kamarku hanya gedung yang ukuran dan modelnya sebelas dua belas dengan gedung ini, sebuah cerobong asap besar setinggi seratus lima puluh meter di ujung kota, dan sebuah tembok raksasa setinggi lima puluh meter yang mengelilingi kota.
Kuharap tidak ada monster berbentuk manusia yang tiba-tiba menendang tembok itu.
"Damainya."
Bilang damai di masa perang seperti ini memang aneh, tapi keadaan di dalam kota ini memang damai.
Meski dalam masa perang seperti ini, kami yang masih berada dalam masa sekolah harus tetap melaksanakan tugasnya untuk belajar. Meski aku ragu dengan apa yang kami pelajari, tapi setidaknya dengan menjadi seorang murid aku jadi mendapatkan ijin untuk masuk ke daerah aman ini lalu bisa seharian bermalas-malasan di kamar setelah lewat jam satu siang.
Mungkin karena jumlah penduduknya yang sangat besar, tidak seperti di tempat lain negara ini mempunyai dua daerah yang dideklarasikan netral dan aman. Satu berada di tengah pulau utama berisikan orang dewasa, anak di bawah sembilan tahun, dan orang lanjut usia. Yang kedua, berada di ujung pulau dan diisi oleh anak berumur sembilan sampai sembilan belas tahun.
Sebuah tempat dengan lebih dari sembilan puluh persen populasinya adalah remaja.
Dari deskripsi di atas mungkin ada yang berpikir kalau tempat ini adalah sarang yang isinya hanya pelajaran membosankan dan cinta yang melayang di mana-mana.
Ok. Bagian pelajaran membosankannya memang benar sebab setiap hari kami dicekoki dengan pengetahuan militer dan perang serta praktek melakukan pertahanan diri. Tapi jelas tidak ada hal lain yang melayang di udara kecuali karbondioksida dari pabrik senjata di ujung kota.
Sesuatu seperti cinta sepertinya sudah lama jadi barang langka di tempat ini.
"Uhhh aku harus segera mandi."
Karena air itu langka sebab setiap air yang masuk ke sebuah kamar dalam asrama diberi kuota sehingga mau tidak mau aku harus menghemat air. Gara-gara hal itu, kegiatanku mandi hanya berlangsung sebentar.
Setelah sepuluh menit, aku keluar dari kamar mandi dan segera berangkat. Aku mengunci pintu kamarku lalu keluar dan berjalan menuju sekolah yang sangat tidak ingin kudatangi.
Kehidupan di dalam tembok besar itu memang terasa sangat damai. Tidak ada gangguan dari luar, keamanannya sangat ketat, dan bahkan semua kebutuhan dasarnya penghuninya dipenuhi oleh pajak. Meski hanya sementara, tapi aku sama sekali tidak keberatan menjalaninya.
Kalau aku sesuka itu pada kedamaian, kenapa aku memilih pekerjaan membahayakan nyawa bernama street runner. Kalau ada kalimat yang cocok untuk menjelaskannya, bisa kupastikan jika "apa boleh buat" adalah satu-satunya penjelasan yang bisa kuberikan.
Di jaman damai saja, mencari pekerjaan adalah pekerjaan yang lebih susah untuk dikerjakan daripada pekerjaan itu sendiri. Apalagi sekarang, begitu perang pecah yang namanya iklan lowongan pekerjaan sudah tidak tinggal lagi di dalam kolom-kolom kecil sebuah koran.
Koran saja sudah langka.
Jika bisa memilih, aku lebih suka bekerja di sebuah toko yang pelanggannya hampir tidak pernah ada dan dapat sedikit gaji. Sebab makanan sudah dijatah dari sekolah, kelaparan sudah bukan lagi masalah. Walau gajinya sedikit dan pekerjaanya membosankan, aku akan dengan senang hati melakukannya.
Daripada mati, kurasa bosan adalah harga yang sudah sangat murah untuk membayar keselamatanku.
"Hah. . . ."
Karena itulah, pekerjaan yang tersisa hanyalah pekerjaan yang harus membuat pekerjanya membahayakan diri dan mempertaruhkan nyawa untuk bayaran yang sangat tidak sebanding dengan resikonya.
"Orang bilang, dengan menghela nafas kebahagiaanmu akan ikut terbawa keluar."
Tapi kebahagiaanku rasanya sudah menguap begitu aku masuk ke kota ini bertahun-tahun yang lalu. Jadi tidak ada lagi kebahagiaanku yang bisa dibuang.
Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya aku sampai di depan gerbang sekolah.
Jika biasanya suasana bagi adalah saat yang paling aktif untuk murid-murid sekolah, di sini entah itu pagi, siang, atau malam suasananya sama saja. Tidak bersemangat dan suram. Masih ingat kalau sekarang ini masa perang kan?
Oleh sebab itu, meski aku berjalan melewati siswa lain di lorong sekolahku. Tidak ada satupun yang menyapa atau setidaknya mengatakan halo padaku. Dan hal yang sama juga terjadi pada kebanyakan murid lain yang bersekolah di sini.
"Pagi Rio, sudah bisa menembak orang?"
Justru orang seperti inilah yang jadi makhluk langka sekarang.
Menemukan seseorang yang menepuk pundak seseorang lalu mengajaknya bicara tanpa sedikitpun keraguan adalah hal yang sangat sulit. Setidaknya di sekolah ini, aku hanya kenal satu orang yang biasa bertingkah seperti tadi.
"Kenapa kau tidak menanyakan kesehatanku Harith?"
Seakan tidak perduli dengan jawaban macam apa yang kulemparkan balik padanya. Dia hanya tersenyum dan kembali menepuk pundaku lalu menunjukan sebuah kertas tipis berisi jadwal pelajaran hari ini ke depan mukaku.
"Kabarmu itu tidak penting sebab hari ini adalah sabtu, kau ingat kan?"
Sial. Hari sabtu. Kelas khusus.
Gara-gara mimpi tadi pagi, aku jadi lupa kalau hari ini adalah hari sabtu. Dalam kamusku, hari sabtu bisa disamakan artinya dengan kata bencana. Dan karena hal itu aku selalu bolos di hari sabtu, lalu sekarang aku malah menghancurkan rekor yang sudah kubangun dari setahun yang lalu.
Kelas khusus diadakan dua kali dalam seminggu. Di hari pertama, yaitu hari jum'at kami diberi pengenalan, teori, serta pengetahuan tentang militer dan perang. Lalu di hari kedua, kami harus mengaplikasikan semua itu dalam aksi yang sesungguhnya.
Dengan kata lain. Kelas Praktek.
"Harith, sepertinya aku ada masalah di rumah jadi aku harus pulang duluan."
Sebelum aku sempat melangkahkan kakiku, suara bel berbunyi.
"Kau sudah bolos lebih dari empat kali, sekali lagi kau tidak ikut kau akan dapat masalah."
Mengikuti kelas khusus bukanlah kewajiban, sesuai dengan peraturan. Tapi dengan tidak mengikutinya aku akan mendapatkan semacam penalty berupa pemotongan jatah makanan dalam satu minggu. Dan kalau hal itu sampai terjadi, aku harus membeli makanan sendiri menggunakan uangku sendiri.
Uang yang harus kucari dengan bekerja menjadi street runner.
Tentu jelas aku tidak ingin mempertaruhkan nyawaku hanya untuk makanan, jika bisa aku hanya akan melakukan pekerjaan berbahaya itu kalau aku benar-benar membutuhkan uang.
"Kurasa empat minggu sekali tidak terlalu buruk."
Setiap kelas praktek diadakan, semua murid tidak diwajibkan untuk masuk ke dalam ruang kelas reguler melainkan semuanya digiring untuk menuju ke gedung khusus yang letaknya cukup jauh dari lokasi gedung utama sekolah.
Kalau dilihat dari luar, satu-satunya perbedaan mencolok gedung kelas khusus dengan gedung reguler lainnya hanyalah ukurannya yang jauh lebih besar. Tapi kalau sudah masuk, perbedaanya akan sangat terasa sebab tidak seperti gedung belajar-mengajar lain di gedung itu tidak ada satupun furniture di dalamnya.
Gedung itu hanya terbagi menjadi dua area. Yang pertama area luar dan yang kedua area dalam.
Di dalam gedung itu ada sebuah ruangan besar transparan yang digunakan sebagai tempat ujian praktik ataupun sparing, tempat itulah yang bernama area dalam. Sedangkan area luar adalah tempat di sekitar ruangan itu yang digunakan untuk latihan fisik, bela diri, perawatan senjata dan berbagai macam hal berbau militer lainnya.
Begitu aku dan Harith sampai, di dalam sana sudah ada banyak murid dari kelas lain yang berbaris menunggu instruksi dari pembimbing masing-masing. Dan tentu kamipun buru-buru masuk dalam barisan setelah menemukan di mana teman sekelas kami berada.
Meski sekolah ini aneh, tapi tradisi absen sebelum pelajaran dimulai masih tetap dijaga. Jadi, sambil menggilir kertas absensi untuk ditandatangani, guru pembimbing kami menuju ke bagian depan barisan sambil memasang muka sangar.
Walau aku bilang sangar tapi yang di depan sana bukanlah pria tiga puluh tahunan bermuka sangar berbadan besar melainkan wanita berumur dua puluhan yang bisa dibilang cantik. Setidaknya kalau dia mau tutup mulut dan tidak bergerak.
Namanya adalah Elpida.
Sebab meski penampilannya memanjakan mata kata-kata dan tindakannya sama sekali tidak bisa dibilang manis, malahan lebih dari apa yang namanya kasar. Bagaimana tidak, saat ingin menangkap penjahat polisi saja masih akan memberikan tembakan peringatan.
Sedangkan guru ganas itu malah akan langsung menembak muridnya tanpa peringatan. Meski seluruh murid sekolah ini dibekali rompi anti peluru tapi yang namanya ditembak itu rasanya tetap sangat sakit. Kalau kau pernah memukul jempolmu sendiri dengan palu mungkin kau akan sedikit paham bagaimana rasanya dipukul menggunakan peluru.
Arti dari namanya mungkin harapan, tapi kruasa dia perlu menambahkan kata yang artinya palsu di di belakang namanya.
Ketika kertas absen jatuh ke tanganku dan membuatku memfokuskan pandanganku pada benda itu, guru di depan barisan bilang.
"Ahmm sebelum pelajaran dimulai aku akan memperkenalkan seseorang, dia baru tiba dari Jerman tadi pagi."
Mungkin kalau ini adalah sekolah normal, murid baru akan jadi bahan perhatian khusus dan disambut dengan berbagai macam harapan. Tapi berhubung kalau sekarang ini adalah masa perang, murid baru itu sama saja dengan korban baru.
"Namanya adalah Cetta Lulu."
Sampai namanya belum disebutkan, aku tidak terlalu memperdulikan berita itu. Tapi begitu mendengar namanya, secara reflex tanganku langsung kugunakan untuk memberikan kertas absen pada orang lain dan mataku langsung memfokuskan pandangan ke depan.
Begitu pandanganku bebas dari halangan, sebuah wajah familiar bisa kukenali dalam sekejap.
Awalnya aku agak ragu apakah murid baru itu memang benar-benar dia. Memang nama Cetta itu tidak pasaran, tapi jelas yang memakainya tidak mungkin hanya dia saja Selain itu guru di depan juga bilang kalau dia dari jerman sehingga aku jadi lebih ragu lagi.
Hanya saja.
Tidak diragukan lagi dia adalah Lulu yang kukenal dulu. Gadis manis yang rumahnya berada di samping rumahku dan sering bermain bersamaku waktu kecil.
Di saat seperti ini, harusnya aku bertanya 'kenapa' atau 'bagaimana bisa' tapi pikiranku teralihkan oleh hal lain dan karena itu mulutkupun tidak bisa terbuka untuk kugunakan bicara.
Dari dulu aku sudah tahu kalau saat sudah lebih dewasa Lulu akan jadi gadis yang cantik. Meski di tempatku yang namanya gadis manis itu banyak, tapi sejak kecil Lulu punya penampilan yang dengan mudah bisa menarik perhatian siapa saja yang sempat melihatnya.
Hanya saja. Kali ini aku bahkan sulit untuk bisa mendeskripsikan kecantikannya.
Dan yang kehilangan kata-kata sepertinya bukan cuma aku saja, beberapa teman sekelasku juga ikut hanya diam dan hanya bisa melihat Lulu dengan seksama. Bahkan Harith yang biasanya akan mengomentari apapun yang dilihatnya saja tidak mampu membuka mulut.
Kau boleh bilang aku berlebihan, tapi jika ada orang yang melihat wajah manisnya, rambut panjangnya yang kelihatan lembut, mata bening serta bibir semerah ceri yang dia miliki dan tidak kagum. Kau boleh menanyakan keadaan mentalnya ke dokter.
Kalau ada yang perlu kurang mungkin tinggi badannya yang sepertinya tidak berbeda jauh dari ingatanku dulu.
"Kau boleh masuk ke barisan."
Setelah mendengar perintah itu dari guru pembimbing, Lulu langsung berjalan dan menuju ke bagian belakang barisan. Dan karena aku berada bagian pinggir barisan, secara kebetulan dia berjalan tepat melewati tempatku berada.
Di saat itu aku sangat ingin menyapanya, hanya saja aku tidak jadi melakukannya. Dia sama sekali tidak meliriku meski aku berada di depannya.
Aku tahu kalau aku sudah berubah dari sepuluh tahun yang lalu, entah itu postur maupun penampilan Rio yang sepuluh tahun lalu sangat jauh berbeda dengan Rio yang sekarang. Hanya saja perubahanku tidaklah sampai pada taraf sampai aku tidak bisa lagi dikenali olehnya.
Dia juga sudah berubah tapi aku langsung menyadari siapa dia hanya dengan sekali lihat, harusnya diapun sama. Dengan sekali lihat harusnya dia bisa mengenaliku.
Hanya saja sayangnya, ketika berjalan melewatiku dia bahkan tidak melirik barang sedikitpun padaku. Maaf, bukan hanya aku yang mendapat perlakuan semacam itu. Lulu memperlakukan semua murid dengan sama.
Dia hanya lewat seperti angin lalu tanpa menatap siapapun. Dia hanya berjalan ke depan dengan tatapan kosong.
Briefing selesai dan pelajaranpun dimulai. Dua jam pertama digunakan untuk pembekalan, latihan ringan serta persiapan untuk jam selanjutnya. Jam selanjutnya yang kumaksudkan di sini adalah waktu untuk ujian dan sparing.
Tentu saja yang bersiap hanya mereka yang akan melakukan ujian sedangkan aku hanya duduk mengawasi dari pinggir ruangan dengan pandangan bosan sambil pura-pura melatih diri agar tidak didatangi instruktur.
Inilah salah satu alasan aku sering bolos di kelas khusus, ketika kelas khusus dimulai aku merasa jadi seperti orang hilang.
Mengesampingkan aku yang mengikuti kelas dengan setengah-setengah dan tanpa ada niat sama sekali, setelah dua jam berlalu banyak murid yang mulai mendekati area dalam untuk melakukan kelas praktek yang sebenarnya.
"Yang ingin ujian silahkan masuk ke bagian dalam, tentukan sendiri urutan ujian kalian."
Jangan perdulikan omongan guru tidak bertanggung jawab itu.
Semua orang sudah tahu kalau guru sekaligus instruktur mereka itu tidak bisa diharapkan, sehingga saat sudah masuk dan berada di area dalam murid di sana mengeluarkan kartu pelajarnya. Mereka menggunakan nomor dari kartu pelajar mereka untuk menentukan urutan ujian mereka.
Sebab ujian praktek di sekolah ini adalah ujian untuk mengetes seberapa banyak ilmu militer yang diajarkan pada kami sudah terserap, bisa dibilang melihat salah seorang murid sedang melakukan ujian hampir sama dengan menonton film action produksi hollywood secara live. Karena itulah, murid yang tidak ikut dalam ujian biasanya malah menonton.
Untuk membatasi bagian dalam dan luar sebuah kaca anti peluru tebal digunakan sebagai pengganti tembok, dan di bagian kelas dalam juga satu layer tambahan lagi yang memisahkan ruang persiapan dengan ruang ujian yang sesungguhnya. Dan bagian itu juga hanya dipisahkan dengan dengan kaca yang sama.
Hal itu menjadikan apa yang sedang terjadi di dalam bisa terlihat dengan jelas tapi tidak terdengar apapun. Di kota yang terisolasi ini bisa dibilang menonton seseorang yang sedang ujian adalah salah satu hiburan tersendiri.
Untuk yang lain memang begitu, tapi bagiku tidak begitu. Ketika murid lain mendekat agar bisa melihat dengan lebih jelas apa yang sedang terjadi di dalam, aku memilih minggir dan mencari tempat duduk sambil meminum air mineral.
Harusnya. Kenapa harusnya? sebab sekarang aku sedang berlari sekuat tenaga menuju pintu masuk bagian dalam yang perlahan mulai tertutup secara otomatis.
"Apa dia serius mau ikut ujian?"
Normalnya, tidak ada orang lain kecuali Harith yang kukenal berada di dalam ruang ujian. Meski katanya seseorang bisa dilihat dari temannya sepertinya untuk kasusku agak lain. Tidak seperti aku yang sering bolos kelas khusus, dia adalah peserta reguler yang sering kelihatan batang hidungnya dalam setiap ujian.
Aku mencoba membaca raut wajah Lulu untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaanku tadi, tapi karena dia tidak mengubah ekspresi wajahnya barang sedikitpun usahaku itu jadi sia-sia.
"Bagus, dia ming . . . . dasar Harith bodoh!!!!.."
Untuk memasuki arena ujian siswa yang akan ikut diharuskan antri, dan di saat Lulu berada dalam antrian itu dia mencoba keluar dari antrian dan berjalan menuju arah lain agar tidak terbawa arus.
Dari tindakannya setidaknya ada kemungkinan yang sangat besar kalau sepertinya dia hanya tidak tahu harus menempatkan diri di mana dan kebetulan terbawa masuk, jadi sepertinya dia tidak benar-benar ingin ikut ujian. Hanya saja ketika dia ingin mengalihkan jalur tiba-tiba dengan sok akrabnya Harith kembali memasukan Lulu ke dalam barisan dan membandingkan nomor kartu pelajarnya.
Setelah itu orang bodoh yang tidak membaca suasana itu mendorong Lulu untuk masuk ke dalam tempat ujian duluan.
"Sialaaaaannn!!!!!."
Aku semakin mempercepat lariku untuk mengejar pintu pertama yang mulai tertutup, setelah aku bisa melewatinya aku segera menyerobot antrian lalu melompat dengan sekuat tenaga menuju pintu masuk ke dalam ruang ujian yang juga hampir tertutup.
"Aku ini sebenarnya beruntung atau sial?"
Di saat-saat terakhir, aku berhasil masuk ke dalam ruang ujian lewat celah yang tersisa sebelum pintu benar-benar tertutup.
Begitu aku sampai di dalam, Lulu mengangkat kepalanya lalu meliriku. Tanpa bicara apapun.
Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan sampai membiarkan dirinya masuk ke dalam tempat ujian, dan aku juga tidak tahu seberapa besar kemampuan militer dan bela dirinya sampai-sampai dia masih bisa tenang di saat seperti ini.
Tapi yang jelas. Kalau dilihat dari penampilan luarnya saja, aku sama sekali tidak yakin kalau gadis yang kelihatan seperti seorang tuan putri yang kerjaannya melambaikan tangan pada orang biasa itu punya kemampuan fisik untuk bisa keluar dari ruangan ini tanpa luka.
"Cepat buka pintunya atau panggil seseorang!! aku ingin keluar."
Orang sering bilang untuk tidak melihat buku dari sampulnya. Tapi untuk saat ini aku sama sekali tidak ingin mengambil resiko dan bertaruh kalau Lulu itu kuat. Aku ingin kami berdua segera keluar dari tempat ini.
"Aku tidak tahu kenapa kau ingin keluar saat kau baru saja masuk dengan buru-buru!."
"Aku punya alasan sendiri."
"Tapi yang jelas kau tidak bisa keluar dan tidak ada yang bisa mengeluarkanmu sebelum lebih dari lima menit."
Jika si instruktur mau dia bisa mengeluarkan kami berdua, tapi melihat kepribadiannya aku sangat yakin kalau dia tidak akan mau melakukannya dan malah mencari kursi untuk bisa menontonku dari tempat yang nyaman.
Siswa biasa tidak punya hak untuk membuka pintu tempat ini ketika ujian sedang berlangsung. Lalu sebelum lima menit tempat ini tidak bisa dibuka dari dalam.
Semua caraku untuk bisa keluar secepatnya sudah ditutup kecuali satu.
"Menyelesaikan soal ujiannya."
Dan menyelesaikan soal di sini tidak sesimple menuliskan jawaban dari sebuah pertanyaan atau melingkari pilihan ganda.
Menyerah tidak diijinkan dan pura-pura kalah juga tidak bisa dilakukan. Kami tidak akan bisa keluar dari sebelum kami benar-benar babak belur.
Suara elektronik dan motor listrik terdengar dari arah beberapa meter di depanku.
Tapi mengalahkan musuh yang disiapkan oleh tim penguji.
"Berlindung di belakangku."
Aku berjalan menuju Lulu lalu menariknya dan memposisikan badannya di belakangku.
Jika bisa aku juga ingin mengalahkan musuh yang mereka berikan padaku. Tapi aku sama sekali tidak punya pengalaman dan aku juga tidak punya bakat bela diri. Satu-satunya hal fisik yang paling kukuasai adalah lari dan kabur.
Dan tempat ini sama sekali tidak bisa digunakan untuk membuat bakatku bisa bersinar dan berguna sebab aku tidak bisa kabur kemanapun.
"Jadi pilihanku cuma mengulur waktu."
Aku hanya perlu mengulur waktu sampai lima menit lalu membuka sendiri pintu dari dalam.
"Ok, rencana sudah ditentukan sekarang tinggal tunggu soalnya."
Selain suara gerakan elektronik, aku juga mulai bisa mendengarkan sebuah geraman besar. Lalu begitu musuh yang harus kulawan kelihatan rupanya, rasanya aku ingin segera menyerah.
"Sekarang sepertinya laripun tidak ada gunanya."
Hewan endemik siberia, punya berat bisa melebihi seratus kilogram, karnivora kelas berat, dan pemburu yang ulung. Srigala putih. Memang yang berbentuk seperti makhluk hidup hanya luarnya saja, tapi tetap saja bentuk itu sangat mempengaruhi kesempatanku untuk bisa selamat dari ujian ini.
Suara lolongan terdengar dan hal itu adalah sebuah alarm bahaya untukku.
Ada banyak hal tentang ujian ini yang tidak kusukai, dan salah satunya adalah kenyataan kalau aku tidak bisa mencontek dengan cara apapun.
Lalu buruknya lagi adalah.
"Grrr…."
Benda itu langsung menyerangku tanpa peringatan, dengan sangat cepat dia melompat dan bersiap untuk menghancurkan tubuhku dan Lulu. Tapi reaksiku kebetulan masih lebih cepat dan berkat hal itu aku dan Lulu bisa selamat dengan berlari dan bersembunyi di balik sebuah batu yang dijadikan handicap.
Setelah perang dunia ketiga pecah, teknologi militer berkembang dengan sangat cepat. Dan hal itu membuat senjata pemusnah masal jadi sangat mainstream, yang ujung-ujungnya mengakibatkan populasi manusia di sebuah negara menjadi berkurang derastis.
Dan kekurangan sumber daya manusia itu juga mempengaruhi kemiliteran. Dengan kurangnya orang yang bisa menjadi tentara, kekuatan dari sebuah negara akan menjadi lemah. Lalu, di masa yang kacau semacam sekarang ini, kekuatan militer yang lemah adalah sebuah bahaya yang sangat besar.
Karena itulah untuk mengisi kekosongan sumber daya manusianya diciptakan DOLL, Digital prOgrammed Long Lasting android yang digunakan sebagai senjata.
Tidak seperti benda robotik lain, DOLL itu spesial sebab programnya bisa didownload dengan sangat mudah. Yang perlu dilakukan untuk bisa mendapatkan file imagenya hanyalah membuka link FTP(1)nya dan masalah selesai. Selain itu programnya juga dilisensikan sebagai OSS(2), membuat perkembangannya sangat pesat serta kompabilitasnya sangat luas.
Karena itulah setiap negara mampu membuat DOLL customnya masing sesuai dengan kebutuhan.
Seperti yang sedang kuhadapi.
"Apa kau bisa bergerak Lulu?"
Aku harap dia tidak terluka saat kami buru-buru kabur.
"Tidak."
"Kenap. . . . . ."
Aku tidak perlu bertanya lagi kenapa dia tidak bisa bergerak sebab, aku sendiri yang bertanggung jawab atas hal itu. Ketika menghindari serangan aku mencoba untuk membuat posisi Lulu berada di balik tubuhku agar meskipun kami gagal kabur dia masih tetap terlindungi karena tubuhku berada di depannya.
Hanya saja, sebab kami memang berhasil menghindar DOLL berbentuk srigala itu punya senjata yang memaksa kami harus merunduk untuk melindungi diri. Atau lebih tepatnya memaksaku membaringkan tubuh Lulu lalu aku menempatkan diriku di atasnya.
Ok, akan kuakui kalau aku agak senang dalam posisi ini tapi percayalah kalau aku tidak mengharapkan hal semacam ini terjadi meski sekarang aku mensukurinya.
"Tapi."
Saat ini bukan waktu yang tepat untuk menikmati service dari Lulu.
Daripada melepaskan tubuh Lulu, aku malah memilih untuk memeluknya dengan erat lalu membawanya melompat ke tempat lain untuk berlindung.
"Ini gawat."
Harusnya masih ada yang ingat kalau bentuk dari DOLL itu sangat mempengaruhi rasio keselamatan kami berdua. Penyebabnya adalah, bentuk dari sebuah DOLL itu bukan hanya ditujukan sebagai dekorasi melainkan untuk melakukan mimicking pada object sesungguhnya.
Jadi mari anggap kalau yang sedang kuhadapi ini bukan robot berbentuk srigala, melainkan srigala sungguhan yang punya naluri berburu dan mampu mempelajari pergerakan mangsanya tapi dengan level bahaya yang lebih tinggi.
Kenapa lebih tinggi? sebab benda itu punya senjata.
Di mulutnya ada senjata yang bisa menembakan peluru karet, cakarnya terbuat dari hardened plastic yang meski tidak bisa menembus rompi anti peluru tapi tetap saja berbahaya, dan berat benda itu juga lebih dari seratus kilo. Jika salah dari kami ditabrak olehnya dalam kecepatan tinggi mungkin beberapa tulang kami akan patah atau retak.
"Benda itu adalah barang produksi masal, jadi harusnya fungsi AI(3) di dalamnya bukan level tinggi."
Karena durabilitas serta daya jelajahnya serta, benda itu sering digunakan oleh tentara untuk melakukan pengintaian terhadap daerah yang sulit dilalui kendaraan maupun manusia. Tanpa membahayakan manusia benda itu bisa menjelajah daerah-daerah sulit, dan bahkan kadang mereka digunakan sebagai mata-mata untuk mengawasi pergerakan musuh.
"Kalau specnya sama dengan yang dimiliki oleh tentara harusnya aku bisa setidaknya mengulur waktu."
Tugas utama benda itu adalah pengawas sehingga tidak ada banyak senjata yang dipasangkan padanya agar agilitynya tetap terjaga, dan karena benda ditujukan untuk bekerja secara sendiri dan sembunyi-sembunyi DOLL hanya diprogram untuk melakukan pertempuran antipersonel.
Jika specnya sama dengan yang sudah pernah kubaca di buku maka aku bisa membuatnya pergi dengan mengumpulkan lima orang untuk mengepungnya. Tapi berhubung hanya ada aku dan Lulu sepertinya mengalihkan perhatiannya saja yang bisa kulakukan sekarang.
"Kau tetap di sini Lulu, aku akan mengalihkan perhatian benda itu! jika dia tiba-tiba melihat lalu mengejarmu, jangan pernah berlari sejajar dengan posisinya berbeloklah tajam ke kanan atau kiri."
Dia tidak menjawabku, tapi aku yakin penyampainaku sudah sangat jelas. Tidak mungkin dia tidak paham dengan apa yang kukatakan.
"Kalau begitu aku akan pergi!."
Aku melihat ke kanan dan kiri untuk memastikan posisi benda itu. Setelah tahu kalau DOLL srigala itu berada beberapa meter di samping kananku dan sedang bersiap untuk menyerang, aku menarik Lulu untuk menuju sisi lain dari batu tempat kami berlindung.
Kemudian.
"Aaaaa!!!!. . . "
Aku berlari dengan sekuat tenaga dan berteriak dengan sekeras-kerasnya secara sengaja untuk memancing perhatiannya.
Dan untuk menjawab tantanganku, DOLL srigala itu langsung berlari dengan cepat lalu melompat tepat menuju badanku.
"Hah. . ."
Salah satu kelemahan dari produksi masal adalah mereka tidak dibuat khusus untuk menangani masalah khusus, dan kadang mereka hanya diberikan instruksi untuk melakukan counter sederhana jika musuh datang.
Aku menjatuhkan diri dan meluncur di bawah tubuh benda itu, kemudian sebelum aku terpisah dengannya terlalu jauh ekor dari benda itu kupegang dengan erat.
"Ugh. . . "
Aku berusaha untuk menghentikan benda itu dan membuatnya terbanting, tapi berat tubuhnya melebihku dan membuatku tidak mampu menghentikan pergerakannya. Membuatku sendiri malah yang terbanting dan sekarang terseret.
"Sialaaaan!!!!."
Benda ini terus bergerak dan Lulu untuk suatu alasan tidak mau bergerak dari tempatnya. Jika aku tidak bisa menghentikan benda ini Lulu bisa tercapai olehnya. Dan itu adalah kabar buruk.
"Berhenti kau!!!!."
Aku berdiri dan menarik sekuat tenaga benda itu dan dengan ajaib.
"Berhenti?"
Ada tanda tanya besar di belakang ucapanku. Sebab aku tidak ingat kalau fisiku bisa digunakan untuk melawan kekuatan mesin.
". . ."
Benda itu menolehkan kepalanya ke balakang lalu membuka mulutnya, setelah itu dia menembakan peluru karetnya ke arah tubuh bagian atasku.
"Ah. . ."
Untuk bisa melindungi diri aku harus melepaskannya, tapi jika aku melepaskannya dia akan bisa mencapai Lulu yang dengan jarak sekarang tidak mungkin akan bisa kabur. Karena itulah aku mengangkat satu tanganku dan meletakannya di depan kedua mata serta leherku lalu membiarkan semua peluru karet itu mengenai seluruh anggota badan lain.
Mulai dari kepala, pundak, bahkan dadaku sudah berkali-kali terkena peluru secara langsung. Dan lebih buruknya lagi, aku tidak menggunakan satu set PPE(4), kepalaku tidak berhelm dan tanganku tidak bersarung.
Aku sama sekali tidak punya persiapan macam apapun.
Jika aku benar-benar ikut ujian sudah jelas aku pasti akan gagal. Ujian ini adalah simulasi dari perang yang sebenarnya dan jelas tidak akan ada musuh yang menembakan peluru karet padaku. Jika semua peluru itu bukan karet maka aku pasti sudah mati.
Karena pelurunya tidak mempan menghadapi kekeras kepalaanku, benda itu mengankat satu kaki depannya untuk mencakarku tapi sayangnya.
"Bodoh."
Sekarang benda itu hanya berdiri dengan tiga kaki, badannya melengkung, dan ekornya ada di tanganku.
"Rasakan ini!."
Aku menarik ekornya dengan kuat, menangkap cakaranya, lalu meletakan kaki kananku di perutnya, setelah itu dengan sekuat tenaga aku mendorongnya.
Brugh.
Benda itu terjatuh.
Aku ingin memukulnya, tapi hal itu sama sekali tidak ada gunanya sebab meski seperti makhluk hidup dasar benda itu tetaplah metal. Daripada memuaskan rasa marah, aku memilih untuk cepat kabur dan segera berlari menuju Lulu.
"Ini aneh."
Aku tidak pernah berlatih bela diri jadi harusnya aku tidak bisa menangkap cakar benda itu dengan tepat, lalu aku juga tidak pernah berlatih fisik secara intens jadi harusnya aku tidak punya cukup kekuatan untuk bisa digunakan menjatuhkan sebuah mesin.
"Lulu!."
Aku menarik tangannya, lalu kami berduapun berlari. Tapi sebab arena ujian sangatlah kecil pada akhirnya kami berdua hanya berputar-putar di melewati handicap buatan di sekitar kami.
Tentu yang kami lakukan bukan hanya berputar-putar tidak jelas, sambil berlari kami juga sedang mencari benda yang bisa digunakan sebagai senjata.
Ada yang perlu dikoreksi. Mungkin kata kami agak kurang tepat sebab Lulu masih diam dan hanya ikut berlari. Dan tentunya dia kelihatan ngos-ngosan. Bukan kelihatan, tapi benar-benar ngos-ngosan.
"Apa kau tidak apa-apa Lulu?"
Dia hanya meliriku.
"Kau perlu bantuan?"
Dia hanya melihatku.
"Kau bisa mendengarku tidak?"
Dia memalingkan wajahnya dariku.
Lulu yang kukenal dulu tidaklah sesulit ini untuk diajak berkomunikasi. Selain itu dia juga tidak pendiam serta antisosial seperti ini. Ada sesuatu yang aneh dengannya, dan sesuatu itu bukan hanya ada pada level 'grogi karena baru pindah' tapi ada pada level di mana Lulu yang sekarang sepertinya bukan lagi Lulu yang dulu.
"Sebab kau tidak mau bilang apa-apa tolong jangan protes kalau kau tidak menyukainya."
Aku menarik tubuh Lulu lalu menjatuhkannya kemudian menangkapnya kembali dengan kedua tanganku.
Suara lolongan terdengar. Lalu ketika aku melihat ke belakang, terlihat kalau DOLL srigala tadi sudah bisa berlari untuk kembali mengejar kami.
"Chh. ."
"Dua menit lagi Rio!!!!!."
Suara dari ruangan ini tidak bisa keluar dan suara dari luar tidak bisa masuk, tapi setelah melirik keluar aku bisa melihat Harith sedang berebut mike yang terhubung ke ruang ini dengan si instruktur gila.
Di dalam sini tidak ada jam adalah agar seseorang tidak sadar akan waktu. Jika seseorang sadar dengan waktu yang dimilikinya mereka akan lebih suka mengulur-ulurnya daripada berkonstrasi untuk mengalahkan musuh di depannya.
Seperti apa yang akan aku lakukan.
Sebab mesin itu tidak merasakan sakit maupun lelah, benda itu bisa segera bangun dan kembali mulai mengejar kami berdua. Dan jelas karena kami ini adalah amatiran dalam urusan mempertahankan diri serta aku juga sudah babak belur, dalam beberapa detik saja benda itu sudah memotong jaraknya denganku.
"Kalau begini kaburpun percuma!."
Aku berhenti lalu berbalik dan menghadap DOLL yang mengejarku, setelah itu aku menunggu benda itu untuk mendekatiku.
Benda itu sama sekali tidak punya variasi serangan. Jika tebakanku ini benar, harusnya sebentar lagi dia akan bergerak cepat lalu melompat ke arahku,
"Jangan lepaskan aku Lulu."
Menyuruh Lulu ke tempat yang lebih aman kedengarannya bagus, tapi sayangany selama berada di dalam area ini tidak ada yang namanya tempat aman. Dan jika Lulu bertingkah seperti tadi dengan tidak mau bergerak, meninggalkanku yang akan menghadapi bahaya malah akan lebih berbahaya.
Sebab tidak mungkin aku bisa mengalahkan DOLL itu.
"Aku sudah siap!."
Benda itu melompat ke arahku untuk menerkam.
Tapi sebelum dia berhasil menyentuhku aku menjatuhkan diri terlebih dahulu, lalu setelah itu aku menggunakan kedua kakiku untuk kuletakan di perut benda itu. Kemudian yang kulakukan selanjutnya adalah melemparkan DOLL itu ke belakangku.
"Minggir kau!!!."
Aku memeluk dengan erat Lulu dan dia berada di atas tubuhku, tapi meski dia berada di posisi yang terbuka untuk diserang harusnya dia tidak akan terluka sebab kakiku lebih panjang dari DOLL itu. Cakar benda itu tidak akan bisa mengenai Lulu dan gadis itu juga tidak harus menggosokan wajahnya ke tanah.
Brak.
Benda itu menabrak kaca pembatas dan berhenti bergerak. Hanya berhenti bergerak dan bukannya mati.
"Apa kau tidak apa-apa Lu. . . ."
Dia tidak menjawabku, Tapi tidak perlu sebuah jawaban hanya untuk memastikan kalau gadis itu sama sekali tidak tidak apa-apa.
Sama sepertiku, tubuh dan pakaiannya penuh dengan debu dan kotoran lain serta robek dan luka-luka kecil yang mungkin didapat saat berlari kabur atau saat jatuh tadi. Rambutnya hitamnya yang lembut itu juga sekarang kehilangan sinarnya setelah ditutupi banyak debu. Lalu di bibir dan pipinya ada darah yang kelihatannya baru saja berhenti mengalir.
"Maafkan aku."
Sekarang memang yang dia dapatkan hanya luka kecil dan noda di pakaiannya, tapi jika ini adalah perang yang sesungguhnya bisa jadi yang hilang bukan dasi atau kancing baju. Melainkan nyawa.
"Aku . . "
Benar-benar lemah.
Suara elektronik kembali terdengar dari arah DOLL tadi, dan seperti yang kuduga lemparanku sama sekali tidak terlalu berpengaruh banyak. Benda itu sudah kembali berdiri dan mulai melakukan akselerasi menuju tempatku berada.
"Aku mungkin tidak bisa menang."
Tapi setidaknya aku akan mengulur waktu.
"Aaaaa.. . . "
Aku ikut berlari menuju benda itu dengan maksud untuk melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Meluncur lewat bagian bawahnya dan menahan pergerakannya dengan menarik ekornya lalu menjatuhkannya.
"Sial."
Sayangnya benda itu tidak melompat dan malah terus menambah kecepatan. Gara-gara hal itu.
"Ugho. . . ."
Aku terlempar ke belakang setelah ditabrak dengan sangat keras oleh benda itu lalu berguling seperti bola yang baru saja ditendang. Dan setelah menggelinding sejauh beberapa meter akhirnya tubuhku berhenti bergerak.
Atau lebih tepatnya, aku tidak bisa menggerakannya lagi.
Aku mulai kehilangan harapan, tapi begitu aku melihat ke sekelilingku pandanganku menangkap sosok Harith sedang mengayun-ayunkan jam digitalnya yang menunjukan kalau lima detik lagi ujian tidak sengajaku ini akan berakhir.
"Baguslah kalau begitu."
Dengan kecepatannya yang sekarang benda itu akan bisa mencapai Lulu dalam tiga detik. Tapi apapun akan kulakukan supaya Lulu tidak terluka. Ya, tidak mungkin ujian ini dibuat agar bisa membunuh muridnya tapi tetap saja ujian ini adalah sasaran simulasi pertarungan yang sebenarnya jadi tidak mustahil kalau Lulu akan mengalami patah tulang atau yang sejenisnya.
Dan aku tidak mau hal itu terjadi.
"Ok!. . ."
Badanku sudah tidak bisa kugerakan dengan bebas lagi, tapi setidaknya tangan kananku masih berfungsi dengan baik. Jika aku bisa menangkap salah satu kakinya dan menahan benda itu selama dua detik saja maka ujian akan selesai dan DOLL itu akan mati secara otomatis.
DOLL itu berlari sekuat tenaga menuju Lulu yang berada di belakangku.
Yang perlu kulakukan hanyalah berpura-pura kalau aku tidak bisa lagi bergerak agar dia tidak menghindariku.
10 : 22 : 01
Benda itu berlari dengan cepat dan melompati tubuhku dengan rendah.
Tanganku mencoba meraih kaki benda itu tapi sayangnya kecepatan tanganku tidak bisa mengimbanginya sehingga DOLL itu berhasil melewatiku.
"Sia. . . . l!."
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh. Dan sesuatu itu tidak bisa kubandingan dengan hal lain karena aku belum pernah merasakan sensasi itu sebelumnya. Lalu ketika sensasi itu hilang.
10 : 22 : 03
DOLL yang seharusnya menabrak tubuh Lulu yang tidak bergerak malah tersungkur dan menabrak tembok pembatas.
"Waktunya habis?"
Ujian praktek untuk kami berdua berakhir dan tanpa sepatah katapun, Lulu langsung meninggalkanku begitu kami berhasil keluar dari ruangan khusus.