Di bandung aku menelusuri kota bandung. Dimana tempat aku bertemu seorang yang begitu aku cintai.
Entah bagaimana sekarang dia. Apa kabarnya. Apakah dia membenciku karena aku pergi begitu saja.
Sakit. Itu yang kurasa selama empat tahun ini. Orang tuaku tidak pernah membiarkan aku pergi dari London. Dan pada akhirnya aku memimpin perusahaan di Jakarta milik ayah.
"Lea, apa kabarmu?? Aku tak sabar ingin bertemu."
Aku berhenti di salah satu rumah megah, empat tahun lalu Aku sering menjemput Lea.
Aku menekan Bel rumah tersebut. Berkali kali. Tapi tidak Ada hasilnya. Tidak Ada satu orang pun menjawab.
"Maaf, Kang cari siapa." Seorang paruh baya menyapaku. Sepertinya dia tetangga Lea.
"Lea. Apa Lea ma--"
"Oh. Mereka sudah lama pindah empat tahun yang lalu. Tapi biasanya Kang Dio yang sering kemari." Ucap Bapak itu membuatku sangat resah.
Perasaanku campur aduk, kemana mereka pergi. Lea Aku sangat merindukanmu.
Penat.
Rasanya aku ingin sekali teriak pada dunia. Dimana Lea yang Aku cintai berada. Seandainya peristiwa itu tak terjadi, mungkin Aku masih bersama Lea gadis gila yang aku cintai. Seperti apa dia sekarang.
"Tuan, apa tidak sebaiknya kita kembali ke Jakarta." Tanya Andre orang yang bertugas menjagaku.
Semenjak kejadian yang mengerikan itu, Ayah dan bunda sangat khawatir. Aku tidak boleh keluar tanpa Andre.
Aku mengangguk, sepertinya sangat sulit menemukan falea. Membuatku jengah dan semakin kesal.
Di Jakarta.
Aku harus menggantikan ayah di perusahaannya. Perusahaan yang telah Ayah bangun sekian lamanya.
Aku akan menjadi di rektur utama disana. Aku tidak tertarik wanita wanita disana. Apalagi semenjak terpisah dari Lea.
Hanya Lea gadis yang mampu membuatku jatuh cinta. Entah lah itu yang terjadi. Lea gadis yang sangat cantik, putih, mempesona. Tak lupa senyuman di bibirnya selalu menggoda.
Aku duduk termenung di pusat salah satu mall di Jakarta. Mencari udara segar di temani Andre pastinya.
Pikiranku kembali melayang dengan nama Falea Aruni Zalfahri. Nama yang tak pernah bisa hilang dari otakku dan hatiku pastinya.
Semua masih sama perasaanku.
Kegelisahanku, Hatiku seakan terpaku hanya pada dia.
Sudah dua hari Aku menetap di Indonesia, tidak ada titik terang tentang kabarnya.
Aku lelah, itu yang ku rasakan. Kebisikan ku terhenti ketika saat aku hendak keluar dari restoran.
BRUK
Seorang anak kecil berlarian kemudian menubrukku hingga dirinya terjatuh di lantai.
Aku berjongkok melihat keadaannya.
"hei..kamu enggak papa, sayang." Tanyaku lembut pada bocah tampan di hadapanku ini.
Aku membantunya berdiri. "Maaf om handsome, taffa tadi lagi main cama Diffa." Aku tersenyum.
Astaga. Bocah ini sangat menggemaskan sekali. Aku bahkan melupakan sejenak gundah di dadaku.
Deg
Wajah bocah ini, bibirnya sangat mirip dengan seorang. Entahlah aku sendiri tak mengerti. Sangat damai melihat wajahnya.
"Kamu dengan siapa. Mama kamu mana." Tanya ku membelai lembut rambut bocah lucu ini.
"Atu dengan mommy dan bunda." Aku mengeryit bingung 'Mommy dan bunda.' apa bocah ini sedang mengerjaiku, mana mungkin dia bisa memiliki dua ibu sekaligus.
"Sekarang mommynya mana. Biar om antar, nanti kamu nyasar."
"Enggak mau ah. Atu tan lagi main cama Diffa. Nanti taffa ketahuan, om handsome." Ucap bocah itu. Mungkin umur bocah ini tiga tahun. Dia sangat lucu, ingin sekali ku bawa pulang saja. Tapi mana bisa, dia punya orang tua.
Rasanya ingin menggendong bocah ini. Tapi entah kemana orang tuanya.
Seorang wanita datang menghampiriku dan meneriakiku. Bahkan Aku tak mengenalnya. Bagaimana mungkin Aku baru saja dua hari di Indonesia. Apalagi dengan seorang wanita. Bahkan Aku anti dengan mama wanita kecuali Lea.
"Kaffa." Terdengar suara wanita itu seperti kesal.
"Sayang, kamu tuh kemana ajah. Bunda sama mommy cariin kamu." Timpalnya pada bocah ini. Bocah itu hanya menyengir.
'kaffa' nama bocah itu ternyata sama denganku. Ya tuhan kenapa begitu mirip bahkan jika aku berjalan dengan pasti orang mengira dia anakku.
"Bunda, atu lagi main pentak umpet cama Diffa."
"Ya tuhan, Diffa mana sekarang. Ayo kita cari Diffa."
"Bunda sama mommy kan udah bilang, jangan main jauh jauh. Kalau hilang gimana. Untung Ada om baik hati ini kan."
"Maaf ya, terima kasih telah menjaga Kaffa." Seru wanita yang tidak ku ketahui namanya.
"Iya. Terima kasih kembali." Jawabku.
"Da..da.. om handsome." Ucap bocah bernama kaffa itu seraya tangannya melambai di gendong oleh wanita tersebut.
Entah kenapa pertemuan dengan Kaffa junior itu membuatku bahagia. Dan kami memiliki nama yang sama.
Ya tuhan seandainya Aku menemukan Lea. Aku akan melamarnya dan memiliki anak yang lucu seperti bocah tadi.
Semoga.. semoga.. dan semoga. Hanya harapan yang dapat ku terima saat ini.
Setelah pertemuanku dan bocah bernama kaffa itu, Aku pergi ke rumahku yang bernuansa pagar putih.
Bunda dan Ayah terlihat santai menonton televisi. Aku enggan menyapa mereka. Tapi ternyata mereka melihat kedatanganku yang baru saja.
"Kaffa, darimana kamu." Ucap pria paruh bayah padaku. Walau put sudah tua beliau tetap gagah.
Ya dia ayahku Reondra. Seorang pria gagah dan tentu baik itu menurut bundamu Elisa.
"Cari angin, yah." Jawabku asal.
"Tenang saja, aku di temani Andre." Lanjut titahku.
Aku mendaratkan bongkongku di sofa besar tepat di samping bundaku.
"Sayang, kamu sudah makan." Bunda sedang memotong sebuah apel tentu untuk suaminya tercinta.
"Sudah, bun."
"Ingat, kaf. Bunda enggak ingin kejadian empat tahun lagi terulang. Bunda takut, kalau saja ayahmu tidak ingin pensiun menikmati masa tuanya. Bunda tidak akan m toengijinkanmu kembali." Ucap bunda panjang lebar.
Bunda adalah orang yang sangat khawatir saat aku terluka. Padahal dulunya jangan khawatir, melihat menanyakan kabarku saja jarang.
Ya ternyata kejadian itu berdampak positif untuk bunda dan Ayah. Semenjak itu bunda juga Hanya menjagaku dan berhenti bekerja.
Sesekali bunda ke Jakarta untuk melihat Ayah. Selebihnya waktu bunda hanya untukku.
Di London bunda sangat protektiv, aku sangat mengerti. Mau bagaimana lagi Aku putra satu satunya mereka.
"Kaffa, jangan lupa besok pagi." Ucap tegas Ayah.
"Iya, yah."
"Kamu harus melakukan yang terbaik untuk perusahaan kita. Kamu akan jadi di rektur."
"Oh ya satu lagi. Sekretarismu itu namanya fa--"
"Sudahlah, yah. Besok aku juga akan bertemu dengan dia bukan." Timpalku lalu beranjak kekamarnya.
Tubuhku sangat lelah, dengan semua hari yang jenuh. Aku membaringkan tubuhku yang sangat remuk.
"Ya tuhan, besok Aku harus mulai berkas berkas menyedihkan." Cercaku dalam kekalutan.
"Ayah, apa tidak bisa menunda pesiunnya. Kenapa aku harus menggantikan dia."
Ya tentu saja. Hanya aku pewarisnya. Bodohnya, seharusnya aku memiliki adik atau abang bukannya itu lebih enak.
***