Bu Mirna akhirnya membuang napas panjang, lantas berkata. "Baiklah. Kalau itu memang keinginan kamu, Ibu akan menerimanya. Terlebih setelah apa yang dulu kamu ceritakan pada Ibu. Berarti saat ini, Sarah juga sudah mulai bisa menerima kamu kan?"
Ah, Endra jadi teringat soal itu. Soal kejadian saat Endra marah pada Sarah gara-gara memecat Asti. Endra memang langsung menelepon ibunya dan menceritakan kebenaran soal pernikahannya itu bersama Sarah. Benar juga. Endra berhutang maaf pada ibunya karena sempat membohonginya soal pernikahan terencana yang sudah Endra lakukan bersama Sarah. Dan dengan ibunya mengingatkan soal itu, Endra jadi merasa bersalah.
"Endra minta maaf, Bu, soal kebohongan yang sudah Endra lakukan itu," kata Endra pelan, tampak menyesal sudah membohongi ibunya.
Bu Mirna malah tersenyum lembut. "Nggak apa-apa kok, yang penting sekarang, hubungan kalian sudah bukan kebohongan lagi kan. Bagi Ibu itu saja sudah cukup. Ibu ikut merasa senang kalau kamu juga berhasil menemukan kebahagiaan kamu sendiri."
Mau tak mau Endra pun balas tersenyum mendengar perkataan bijak ibunya ini. "Makasih, Bu," ucap Endra tulus.
***
Endra menghela napas berat. Ini sudah hari ketiga sejak Endra membawa Sarah ke kampung halamannya. Tapi selama tiga hari ini pula, Sarah tidak pernah mau berbicara sepatah kata pun. Sarah terus saja melamun dan meringkuk di bawah selimut seolah sedang bersembunyi dari semua orang. Bahkan juga darinya.
Masalah kantor, Endra sudah menelepon Asti dan memberitahukan keberadaannya di tempat ini. Dan meski Endra tidak bisa memberitahukan alasan sebenarnya pada Asti, untungnya Asti cepat mengerti.
"Ternyata bener ya, gue emang nggak tau apa-apa tentang Bu Sarah," kata Asti pelan saat Endra meneleponnya.
Endra tidak langsung menjawab. Dia terdiam cukup lama.
"Sebenernya ... gue juga ... sama," balas Endra akhirnya, tak kalah pelan.
Pembicaraan antara Endra dan Asti di telepon sebelumnya tidak pernah setegang itu. Asti yang biasanya selalu cuek dan menanyakan apapun pada Endra, kali itu benar-benar hening. Mengimbangi Endra yang lebih banyak membuang napas berat.
"Jadi ... selama kami berdua nggak ada di sana, lo bisa ... menghandle semuanya kan, As?" tanya Endra setelah cukup lama hanya terdiam. Tidak, sebenarnya itu bukan pertanyaan, tapi permohonan.
Asti mengangguk."Hm. Gue emang nggak bisa jamin kalau semuanya akan baik-baik saja di sini, tapi seenggaknya ... gue bakal berusaha ngelakuin yang terbaik yang bisa gue lakuin buat kantor ini," jawab Asti mantap. Dia tahu di seberang sana, Endra juga sedang tidak baik-baik saja. Nada suara yang Asti dengar juga ketegangan yang begitu terasa membuat Asti sadar kalau Endra sedang berusaha keras menahan perasaan sedihnya.
"Thanks ya, As," ucap Endra masih dengan nada pelannya.
"Kalau begitu, lo jaga Bu Sarah baik-baik ya, Ndra. Kalau lo butuh bantuan gue lagi, jangan sungkan-sungkan buat ngomong ya, gue bakal ikut seneng kalau gue bisa ngelakuin sesuatu yang bisa bikin Bu Sarah kembali ke sini lagi," akhirnya Asti tidak memiliki kata-kata lagi. Telepon mereka memang harus segera diakhiri.
Endra mengangguk. Entah bagaimana, Endra merasa benar-benar bersyukur mempunyai rekan kerja seperti Asti, yang begitu memahami keadaannya meskipun tanpa banyak berkata-kata.
Ah iya, Endra lupa. Ada sesuatu yang harus dia katakan lagi pada Asti. "Tunggu sebentar, As," tahan Endra sebelum Asti benar-benar menutup teleponnya. "Sebenernya ... gue perlu bantuan lo lagi buat ngelakuin sesuatu."
***
Masalah kantor sudah Endra serahkan pada Asti, dan dia sangat yakin kalau Asti sangat bisa diandalkan.
Yang tersisa adalah ... menghubungi Bu Diyah.
Sebenarnya ... Endra ragu untuk menceritakannya pada Bu Diyah. Endra merasa ... kalau kondisi Sarah sekarang sangatlah memprihatinkan. Dan dia tak bisa melakukan apa-apa untuk membuat keadaan Sarah setidaknya sedikit lebih baik. Apalagi jika sampai Bu Diyah mengetahui semua ini. Bahkan, Endra yang baru mengetahuinya belum lama ini juga sudah lebih dari khawatir, apalagi Bu Diyah.
Tapi, Endra juga tidak bisa menahan semuanya sendirian. Dia ingin meluapkan kesedihannya melihat Sarah yang begitu terpuruk. Entah sampai kapan Sarah akan kembali pada sosoknya yang biasa. Endra tak tahu.
"Ha-hallo..." Meskipun keraguannya belumlah hilang, tapi Endra berhasil menghubungi orang yang sangat berjasa untuk Sarah. Bu Diyah.
"Wah ... Endra ya, kebetulan sekali kamu menelepon, ada yang perlu Ibu tanyakan sama kamu," jawab Bu Diyah di seberang sana dengan suara ringan.
Endra membuang napas pelan. Setidaknya, dia tidak harus menceritakannya langsung. Dia ingin mendengarkan dulu apa yang mau Bu Diyah sampaikan.
"Kamu tau, Ndra, beberapa hari yang lalu ... Sarah kelihatan beda loh. Dia kayak orang yang lagi kasmaran," ucap Bu Diyah masih dengan suara ringan. "Ibu tau, kamu pasti bisa mengambil hatinya. Dan nyatanya itu terjadi kan. Sebentar lagi ... Sarah pasti bisa menerima kamu sepenuhnya. Ibu jamin itu." Bu Diyah tertawa kecil.
Endra yang mendengarnya diam-diam tersenyum tipis. Pasti menyenangkan sekali mendengar kabar ini saat keadaannya tidak seperti sekarang. Tapi ... sekuat apapun Endra berusaha terlihat baik-baik saja, nyatanya tidak ada yang baik-baik saja. Entah Sarah yang justru semakin terlihat menyedihkan, atau Endra yang tak kuasa melihat kepedihan yang Sarah rasakan.
"Ndra, kamu denger yang Ibu bilang kan?" tanya Bu Diyah menyadari Endra tidak mengatakan apa-apa dan hanya diam membisu.
"Iya, Bu, aku denger kok," jawab Endra dengan segera.
Gantian Bu Diyah yang terdiam. Dia merasa ada yang aneh dengan nada suara Endra sekarang. Apalagi, selama beberapa hari ini Sarah juga tidak datang ke panti asuhan. Meneleponnya pun tidak. Bahkan saat Bu Diyah mencoba menghubungi Sarah, nomor ponselnya tidak aktif. Biasanya Sarah akan datang ke panti asuhan tiga empat kali dalam seminggu. Kalaupun tidak bisa datang, Sarah juga akan memberitahukan Bu Diyah mengenai kesibukannya itu. Tapi kali ini ...
"Ndra, apa ... Sarah baik-baik saja?" tanya Bu Diyah kemudian, tiba-tiba merasa khawatir.
Endra jelas terkejut. Nada suara Bu Diyah kali ini sangat berbeda dengan nada suaranya beberapa saat lalu.
"Beberapa hari ini, Ibu coba menghubungi Sarah tapi tidak aktif. Apa Ibu bisa minta tolong sama kamu untuk memberikan teleponnya pada Sarah. Ibu ... tiba-tiba saja merasa kangen."
Endra membuang napas berat entah sudah yang ke berapa kalinya. Baiklah, mungkin ini waktu yang tepat bagi Endra untuk menjelaskan pada Bu Diyah.
"Sebenernya ... ada yang mau aku sampaikan sama Bu Diyah." Endra sudah memulai pembicaraannya dengan nada serius.
Bu Diyah menelan ludah. Entah kenapa ... perasaannya jadi tidak enak.
"Beberapa hari yang lalu ... Sarah ... sempat melihat ayahnya berada di kota."
Bu Diyah langsung dibuat terkejut setengah mati. Bahkan tadinya Bu Diyah menelepon sembari duduk di kursinya, tapi mendengar ucapan Endra barusan, refleks saja Bu Diyah langsung berdiri dari duduknya.