Namaku Agni Pratiwi. Teman- teman biasa memanggilku Agni. Aku mahasiswa tingkat pertama di Universitas Vijendra. Kecintaanku pada alam membuat aku mengikuti organisasi kampus yang biasa di sebut Mapala ( Mahasiswa Pecinta Alam).
Kebetulan, minggu depan kakak tingkat mengadakan diklat untuk anggota baru. Aku mengikuti kegiatan tersebut tanpa tahu hal apa yang akan menimpaku.
***
Seperti biasa, aku membaca novel kesukaanku di teras rumah sambil menikmati angin sore. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa risau. Aku melamun sambil memegang novel yang berada di pangkuanku. Sampai suara seseorang menyadarkanku.
"Ni..Agni..Agni..hey.." Panggil Kak Wisnu sambil melambaikan tangannya di depan wajahku.
"Ah..iya..kak..Kapan kakak datang?"Aku kaget.
"Ngelamun aja ni cewek satu kerjaannya, ntar kesambet lho," ucap Kak Wisnu sambil tersenyum.
" Mikirin apaan sih," tambahnya.
"Ah, nggak mikirin apa-apa kok" ucapku sambil nyengir.
"Kalau ada masalah bilang, jangan dipendem, ntar jadi bisul lagi..ha..ha..ha" ucapnya sambil tertawa.
"Enak aja," ucapku sambil nabok pundak Kak Wisnu.
Kita tertawa bersamaan.
"Eh, ngomong-ngomong kamu udah ijin belum sama mama kamu?" tanya Kak Wisnu.
"Belum," kataku sambil nyengir.
Kak Wisnu cuma geleng- geleng kepala.
"Apa perlu aku yang bilang ke mama kamu?"tanyanya.
"Hah?" Ucapku sambil membelalakkan mataku.
Kak Wisnu cuma tertawa.
"Udah ah, aku mau masuk dulu. Udah sore. Pulang sana," ucapku ke Kak Wisnu.
"Dih.. Ngusir, iya.. iya.. Nih, gue pulang. Jangan lupa, ijin..ijin.." Ucapnya sambil melangkah ke rumahnya.
Kak Wisnu adalah kakak tingkat sekaligus tetanggaku. Dia sudah kuanggap seperti kakak kandungku sendiri.
Oh iya, ngomong-ngomong aku anak tunggal di keluarga ini. Mamahku seorang ibu rumah tangga. Dan papahku seorang pengusaha batik. Mereka sangat menyayangiku.
***
Aku memeluk mama dari belakang ketiaka mama sedang menyiapkan sarapan.
"Ma, minggu depan aku mau mendaki Gunung Maung sama temen-temen kampus," ucapku manja.
Mama terdiam sejenak, sepertinya sedang berfikir akan mengijinkanku pergi atau tidak.
"Sama Wisnu kan?" tanya mamah.
"Iya, Kak Wisnu ikutan. Dia kan anggota Mapala juga," kataku sambil tersenyum.
"Kalau Wisnu ikut, mama ijinin. Kamu hati-hati ya," ucap mama.
"Iya ma.. Agni ke kampus dulu ya ma," ucapku lalu mencium tangan mama.
"Agni sayang mama," ucapku lagi.
***
Di taman kampus
"Ana..Ani..Sini.." Aku melambaikan tanganku berharap teman kembarku ini melihatku.
"Agni.." ucap mereka bersamaan lalu berlari menghampiriku.
"Sendirian aja, biasanya bareng sama Kak Wisnu,"ucap Ana.
"Kak Wisnu ada kelas," ucapku.
"Lo ikut ke Gunung Maung kan Ni?" tanya Ani.
" Ikut donk," jawabku antusias.
"Gue gak sabar banget pengen naik gunung," ucap Ana.
Kita bertiga berpelukan. Tertawa bersama.
***
Hari yang di tunggu - tunggu tiba, kami berkumpul di Kampus Vijandra untuk brefing sebelum naik ke gunung Maung. Jarak Gunung Maung dari kampus kami cukup dekat sehingga kami cukup menyewa tiga mobil untuk mengangkut kami dan peralatan akomodasi yang sudah kami siapkan.
Sekitar jam 10:00 WIB kami sampai di lereng Gunung Maung. Rencananya kami akan mendirikan camp di pos 3. Rombongan kami terdiri dari 10 orang. Kak Wisnu dan empat temannya, Kak Heru, Kak Anjar, Kak Fani dan Kak Bryan lalu aku, Ana, Ani dan dua teman seangkatanku Ronald dan Jonathan.
Sebenarnya, anggota Mapala di kampus kami cukup banyak. Hanya saja, kita mempunyai jadwal sendiri - sendiri untuk naik ke Gunung Maung. Kebetulan rombonganku yang paling awal berangkat.
Ada peraturan-peraturan yang tidak boleh dilakukan di gunung. Salah satunya jika kamu tidak boleh meninggalkan sampah di gunung. Tentu saja, kita harus menjaganya tetap lestari bukan. Kita juga tidak tahu misteri apa yang ada di gunung. Sopan santun harus di jaga, tidak boleh berkata kasar. Itulah yang dikatakan Pak Jalil, pemandu kami.
"Kalau perjalanan kita lancar, jam empat sore kita sudah sampai di pos tiga," ucap pak jalil.
"Iya, sebelum Maghrib kita harus udah ngecamp pak," ucap Wisnu.
Kami melanjutkan perjalanan, sesekali kami istirahat di perjalanan. Rasa lelah di perjalanan terobati dengan pemandangan yang sangat indah.
Hamparan Pohon hijau berjajar rapi di perbukitan. Langit biru menambah indahnya cakrawala. Suara-suara burung menghiasi sore yang indah ini. Inilah suasana pegunungan. Suasana yang ku rindukan.
"Pemandangannya indah banget dari sini," ucapku.
"Iya," ucap Ana dan Ani bersamaan.
"Nanti, di pos tiga jauh lebih indah," ucap Kak Fani.
"Kak Fani, udah berapa kali mendaki gunung Maung?" tanyaku.
"Dua kali ini," ucapnya sambil tersenyum.
"Kak, kita boleh foto di sini gak?" tanya Ani tiba-tiba.
"Boleh, mau foto?" ucap Kak Fani.
Kami pun mengambil foto di tengah peristirahatan kami. Perhatianku tertuju ke atas pohon. Sepintas, aku seperti melihat bayangan manusia.
"Apaan itu?" Batinku.
" Eh, ngelamun aja. Kebiasaan ni anak," ucap Kak Wisnu tiba- tiba membuatku kaget.
"Pemandangannya indah, membuatku kagum," bisikku.
"Yaudah, lanjut yuk," ucap Kak Anjar sambil berusaha menggendong tasnya kembali.
Kami pun melanjutkan perjalanan. Selama perjalanan, aku agak kepikiran dengan apa yang aku lihat tadi.
"Ah, mungkin aku lelah sehingga aku berhalusinasi," batinku.
Sesampainya di pos tiga, kami langsung mendirikan tenda dan menyiapkan sesuatu untuk makan malam. Pak Jalil langsung turun meninggalkan kami ketika sampai di pos tiga. Beliau berpesan untuk selalu berhati-hati dan jangan pernah berpisah dari rombongan.
Aku mendapat jatah mencari kayu bakar bersama Ronald.
"Jangan jauh-jauh ya," pesan kak Anjar kepada kami.
"Iya kak," ucapku dan Ronald bersamaan.
Di tengah perjalanan, aku merasakan kalau ada yang mengikuti kami.
"Ron, balik aja yuk," ucapku sambil menarik tangan Ronald.
"Bentar, dikit lagi. Ntar di marahin kakak kakak lho kalau dapetnya dikit," katanya.
"Aku takut," ucapku lirih.
"Takut apaan, gak ada apa apa...kan ada gue," ucap Ronald menenangkanku.
Aku gemetaran sambil memegang jaket Roanld. Aku juga tidak tahu kenapa aku jadi begini. Biasanya aku nggak pernah merasakan takut seperti ini. Rasanya seperti ada yang memperhatikanmu tapi kamu tidak bisa melihatnya.
"Wajahmu pucat gitu Ni, yaudah yuk pulang aja. Jangan pingsan ya,"ucap Ronald khawatir.
Aku mengangguk.
*Ronald*
"Ni anak kenapa lagi, gemeteran kayak gitu, mukanya pucet lagi," batinku.
Aku mengajaknya balik ke camp, gak tega juga ngeliat dia kayak gitu. Agni yang ku kenal ceria, lincah bisa begitu juga ternyata. Emang sih, dari tadi gue merinding-merinding gimana. Cuman ya gue cuek aja. Namanya di hutan kan.
Ni anak bukan indigo atau semacamnya kan. Nggak lucu kalau tiba-tiba dia kesurupan. Di hutan gini, siapa yang mau nolongin coba. Mungkin aku harus nenangin dia.
"sini, gue aja yang bawa kayu bakarnya," ucapku.
Dia cuma mengangguk.
"Mau ku gendong sekalian," goda ku.
"Ih, modus," ucapnya sambil tersenyum.
Senyumnya manis juga. Kalau belum punya cewek, gue gebet ni anak. hehehe
***
Aku berjalan di belakang Ronald sambil memegang jaketnya. Aku nggak peduli dia mau bilang aku penakut atau apa. Emang aku lagi takut. Padahal biasanya aku pemberani lho.
Sesampainya di camp.
"Lama juga kalian, nggak terjadi apa-apa kan?" Tanya Kak Anjar.
"Nggak kak," ucapku dan Ronald bersamaan.
Senja perlahan menggantikan kedudukan siang, matahari mulai terbenam dan langit perlahan mulai berwarna oranye. Awan- awan perlahan menjadi abu abu.
Menyaksikan langit senja di Gunung Maung membuatku takjub. Walaupun sedang tidak berada di puncak, tapi pemandangannya sungguh sangat indah di iringi suara- suara burung yang berkicau seolah-olah menyuruh anak-anaknya kembali ke sarang.
Aku sangat menikmati pemandangan di pos 3 ini.
" Di sini saja sudah sangat indah, apalagi puncaknya," batinku.
***
Langit senja pelahan menghitam. Sang malam datang. Malam ini terasa dingin sekali. Aku memakai jaket tebal berbulu.
Kami menyalakan api unggun untuk mengurangi hawa dingin yang menyengat. Ada yang memasak dan ada yang bernyanyi. Kami semua mengitari api unggun. Entah mengapa sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang.
" Besok kita mulai jalan lagi ya," ucap Kak Wisnu.
"Malam ini, kita istirahaat aja dulu ya," sambung Kak Anjar.
Kami semua mengangguk menyetujui dan masuk ke tenda masing-masing.
***
Malam telah larut, kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 1 dini hari.
" Duh, kebelet pipis, gimana nih?" batinku panik.
Aku menggoyang goyang tubuh Ana yang tidur di sebelahku berusaha membangunkannya. Dia cuma bergumam. Aku berusaha membangunkan Ani dan Kak Fani, tapi mereka tetap tak bergeming.
Akhirnya ku putuskan keluar sendiri. Daripada ngompol di tenda. Pikirku.
Aku keluar dari tendaku dan merasakan angin malam menusuk tulangku.
" Dingin sekali," pikirku.
Aku menuju ke balik semak semak dekat camp sambil membawa botol yang berisi air. jarakku dari camp sekitar 200 meteran. Aku nggak mau jauh-jauh. Berharap tidak ada binatang melata atau binatang buas. Inikan di hutan.
Sesudah membuang hajat dan menyiramnya dengan air, aku kembali ke tenda. Di perjalanan mataku tertuju ke sebelah kananku yang berupa hutan belantara. Aku melihat bayangan manusia sedang merengkuh sesuatu. Aku penasaran dan keluar dari jalurku dan menghampirinya.
Ketika aku mengarahkan senter ke arahnya, aku menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Sesosok laki - laki sedang meringkuh sambil memegang rusa yang sekarat. Leher rusa itu koyak seperti dimangsa binarang buas.
Tubuhku gemetar hebat dan terpaku ditempat. Laki- laki itu menoleh. Tatapanya tajam seolah hanya dengan tatapannya saja dia bisa membunuhku. Laki-laki itu menyeringgai memamerkan giginya yang rapih dan gigi taringnya yang memanjang. Di sudut mulutnya terdapat darah segar mengalir.
Laki-laki itu bergerak cepat. Hanya beberapa detik saja dia sudah mencengkeram lenganku. Rasanya ingin berteriak, tapi pita suaraku seakan tidak mau di ajak kompromi.
" Oh Tuhan, apa hidupku akan berakhir seperti ini?" batinku.
Tubuhku masih gemetar dan mematung di cengkraman laki-laki itu. Sorot matanya yang merah menyala menatap tajam ke arah mataku. Pandangan kami bertemu. Dia kembali menyeringgai memamerkan giginya seolah olah dengan gigi itu dia akan mengoyak leherku.
Tenggorokanku kering. Aku masih belum bisa bergerak ataupun berkata- kata. Aku terus memadangi setiap detail wajahnya. Dia tampan. Untuk ukuran manusia wajahnya diatas rata-rata.
Aku merutuki diriku sendiri. Bisa- bisanya makhluk mengerikan itu ku sebut tampan.
"Aku sudah gila," batinku.
"Apa karena aku sudah mau mati?" Batinku lagi.
"Aku akan membawamu," suara indah itu mengagetkanku membuat aku tersadar dari lamunan.
Detik berikutnya, aku sudah di bawa terbang olehnya. Tangan kirinya membawaku dan tangan kanannya membawa rusa yang ia bunuh tadi. Seolah kami seringan bulu.
Cahaya bulan bersinar menerangi wajah tampannya. Garis rahangnya yang tegas...
" Ya ampun," batinku.
Aku kembali merutuki diriku sendiri.
" Aku mau di bawa kemana? Teman-Temanku, Apa mereka akan mencariku," batinku.
Tanpa sadar aku meneteskan air mata.
Wajah tampan itu memandangku.
Ekspresinya sulit di artikan.
"Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu," suara indahnya entah kenapa membuatku tenang.
Tanpa sadar tanganku memeluk dan berpegangan pada bajunya lalu tertidur di dada bidangnya.