Chereads / Monster di Batavia / Chapter 31 - BAB IV Leviathan  

Chapter 31 - BAB IV Leviathan  

Duk! Duk! Duk! Duk!....

Bersama beberapa kru kapal berseragamkan VOC, Lucretia berlari dari lorong dek di depan Edward. Lalu berhenti, sejenak ia menghela nafas saat melihat sang monster telah terbelah menjadi daging gulung.

"Kerja bagus Waibe! Tak percuma aku membayar mu"

"Ya, tentu saja,... meskipun bayarannya sedikit...."

"Hah, kau bilang apa?!"

Wajah Lucretia terlihat sedikit jengkel, namun begitu juga dengan Watanabe.

"KU BILANG BAYARANNYA TERLALU MURAH!!!"

"DASAR TAK TAHU DI UNTUNG, KAU PIKIR MASIH ADA YANG MAU MEMPEKERJAKAN RONIN BAU SEPERTI MU!"

"TAK ADA HUBUNGANNYA BUKAN, SKILL DAN BAU BADAN! JANGAN MENGELAK KAU BANGSAWAN PELIT!!"

"PELIT?!! ASAL KAU TAHU SAJA YA..."

"HYAAAAAAA!!!"

"RAAARRRRRGH!!"

Seketika pertikaian mereka terhenti mendengar teriakan kedua malam itu. Lalu keduanya saling mengangguk seakan sudah saling memahami apa yang dimaksudkan. Kemudian segera mereka berlari ke sumber suara itu, meninggalkan Pelsaert dan Angel sekeluarga.

"..."

Mereka tak mampu mengucapkan apapun, bersama suasana yang mulai berubah menjadi canggung. Kemudian Edward polos yang turun dari gendongan ibunya, berjalan perlahan menuju sang ayah dan memeluknya.

"Ayah"

Segera air mata kedua orang tuanya tertumpah selagi memeluk Edward yang berwajah datar dan Pelsaert yang ditinggalkan berdiri dalam kecanggungannya.

§

"Oi nona, perasaan ku sangat buruk tentang ini!"

Selagi terus berlari Watanabe mulai berbicara pada Lucretia yang berlari di sampingnya.

"Begitu pun aku, dan juga apakah kau melihat mayat wanita yang di tinggalkan di kamar asal monster tadi?"

"Ya, sama seperti Nn. Adamastia yang merupakan korban pertama, ada cap merah di ibu jari kanannya. Dan juga kelihatannya mereka adalah pasangan yang sedang berbulan madu, apakah ada hubungannya dengan peristiwa kemunculan monster itu?"

"Jika memang ada hubungannya, kita harus mencari tahu apa itu. Lalu kita harus segera melakukan langkah pencegahan"

Duk! Duk! Duk!

Mereka melompat dari dek atas menuju dek yang lebih rendah, dimana monster selanjutnya sedang di kepung oleh kru kapal yang bersenjatakan senapan berujung tombak.

§

"Bagaimana? Bisakah kau bergerak?"

Seraya Pelsaert meminjamkan pundaknya pada sahabatnya yang masih shock karena monster tadi.

"Apakah anda yakin ruang kendali adalah tempat paling aman Tn. Pelsaert?"

Frederica mengukuti mereka dari belakang, bersama Edward yang terus ia gandeng di sampingnya.

"Paling tidak kita harus menghindari kamar penumpang, sejauh ini monster yang muncul merupakan para penumpang. Meskipun kami masih belum dapat memastikan kenapa dan bagaimana...."

Pelsaert memuram, seakan bersalah atas ketidak kompetenan para kru dalam menyelesaikan kasus tersebut.

"Pelsaert!! Mungkin memang benar semua tak terjadi sesuai dengan ekspektasi mu, namun terimalah saran dari sahabat mu ini, percayalah pada kru mu, mereka pasti akan melakukan sesuatu!��

"Hmm..., begitukah? Akan kuterima saran itu dari orang yang baru saja ketakutan menghadapi salah satu monster buas itu, gya ha ha ha ha!"

"Eh..., itu... aku hanya sedikit terpeleset kebelakang saja! Mana mungkin aku takut pada monster seperti itu, kan...."

Istrinya yang hanya mendengar Angel dari belakangnya berusaha menutup tawanya, begitu pun dengan Pelsaert yang malah terbahak-bahak.

"Ugh..., tolonglah jangan tertawa!!"

Namun keluhan itu malah membuat mereka berdua tertawa semakin kencang.

§

"Hehss..., perasaan ini ... ada sesuatu yang tak beres!"

Watanabe menghela napas.

Pedangnya terjulur keluar setelah menebas monster ketiga malam itu, yang telah berubah menjadi tumpukan daging di hadapannya.

"Yang ketiga malam ini, padalah baru saja dua malam...."

"Oi nona, bagaimana dengan penyelidikan para kru, bukankah kau petinggi VOC, nona!"

"Hmm? Oh ya, menurut keterangan beberapa penumpang yang mengenal Tn. Robert Gale yang menghilang pada malam pertama kejadian, bahwa sebenarnya Tn. Robert Gale adalah seorang investor yang sedang mencari peluang investasi di Kota Batavia"

"Hanya itu?"

"Ya, hanya itu"

"Tak berguna"

Dorr!! Triiiing!!

"WOIIIII!!! KEMANA KAU ARAHKAN TEMBAKAN MU NONA!!"

Sebuah peluru telah Lucretia tembakan ke wajah jengkel Watanabe yang langsung menangkisnya dengan katana biru ke ungu-unguannya.

"Cih tertangkis kah?!"

"APANYA YANG 'cih tertangkis kah?!' HAAAH, MELESET SEDIKIT NYAWA KU PASTILAH MELAYANG!!"

"Sudah jangan mengeluh terus Waibe, kita harus mencari tahu penyebab kemunculan para monster itu sebelum mencapai Kota Batavia!!"

"Cih!!"

"Oh iya, dan juga... jaga mulut mu kalau kau masih sayang nyawa mu...."

Seraya Lucretia mengarahkan pistolnya pada leher Watanabe selagi mendekatkan pandangannya pada wajah kusam sang samurai itu.

Glup....

Merasa kalau dirinya yang ada di posisi yang salah, Watanabe hanya meringis dengan penuh peluh, menghadapi senyum tajam sang nona.

"HYAAAA!!"

"TOLOOOONG!!!"

"TIDAK, SAYANGGGGGG!!!"

Tiba-tiba hampir dalam waktu bersamaan tiga teriakan lagi muncul dari tiga arah berbeda.

"Siaaall!! Apa-apaan malam ini!!"

"Gh!! Tak ada waktu berdiam, kah?... Waibe, kau urus yang di lobi belakang, sisanya akan kami tahan dulu di lobi depan"

Segera mereka bergerak bersama kru VOC yang berjaga di sana.

§

Kreeek!!

Pelsaert membuka pintu dek ruang kendali, kemudian mereka masuk ke ruang yang bagian ujungnya terbuka tersebut.

Beberapa lentera lilin di ruang lebar itu masih menyala dan suara keributan di luar nampaknya tak terlalu menjangkau ke dek itu. Mereka pun terus berjalan masuk.

"Benar-benar sepi, kemana semua kru. Bukankah seharusnya ada yang berjaga disini, Pelsaert?"

"Aku menyuruh mereka beristirahat, hampir sebagian besar kru terlihat masih terteror atas kejadian kemarin. Pelayaran ini juga masih panjang, jadi setidaknya untuk beberapa jam meskipun hanya 1-2 jam, aku harap mereka dapat beristirahat sejenak...."

Angin terasa berembus tenang, beberapa dokumen yang terapit rapi dengan pengapit kayu di tiap-tiap meja terlihat sedikit terangkat tersapu angin. Lalu Pelsaert mendudukan sahabatnya itu pada salah satu kursi pegawainya, lalu berjalan kearah kemudi untuk mengecek beberapa hal.

Frederica pun duduk menemani suaminya yang masih terlihat sedikit shock. Namun Edward yang sudah sedikit tenang mulai berjalan menelusuri ruang itu, meskipun ia hanya berani mengambil jarak beberapa langkah kaki dari tempat kedua orang tuanya berada.

Lalu ia berjalan mendekati suatu meja yang entah mengapa menarik perhatiannya. Meja yang berada di dekat kemudi sang kapten, yang hanya bersela satu meja dengan lokasi kemudi kapal.

Sekilas ia melihatnya tak ada yang aneh dari meja tersebut, meskipun dari bentuk dan ukurannya terlihat lebih lebar dan lebih komplek dari meja lain. Dengan beberapa hiasan di atas meja tersebut.

Kemudian pandangannya segera tertuju pada suatu gulungan kertas yang terlihat agak kusam, meskipun cahaya yang membantunya melihat gulungan itu hanyalah lentera lilin yang melekat di pinggiran meja tersebut.

"Paman Pelsaert, kenapa gulungan kertas ini penuh bercak darah?"

Sang Kapten segera menoleh pada Edward yang membawa gulungan itu ke sampingnya.

"Edward!"

Sang ibu segera berlari pada anaknya sambil memeluknya cepat. Ia pun tak lupa untuk memperingatkan anaknya, katanya....

"Bukankah kita sudah setuju untuk tak mennyentuh barang orang lain tanpa ada ijin dari pemiliknya?"

Segera sang ibu mengambilnya, namun....

"Tunggu!"

Sang kapten menghentikan sang ibu dan mengambil gulungan itu, sebelum kemudian perlahan membukanya.

"Surat apa ini? aku tak pernah mengingat memiliki surat seperti ini!"

Gulungan itu agak kusam dan penuh bercak darah yang telah lama mengering, namun untuk membuka dan menggulungnya kembali, gulungan kertas itu cukup kuat menahannya. Pelsaert pun mengambil inisiatif untuk membacanya.

"het pact (perjanjian)..., wordt de kracht van de vloek verleend (kekuatan kutukan diberikan) ... ?"

Penggalan kalimat itu segera menghentikan Pelsaert dalam tanya, namun rasa penasaran yang menggelitiknya mendorongnya untuk mencari tahu lebih dalam.

"ziel van het bindmiddel (jiwa sang pengikat) ... demon van boosaardigheid (iblis kedengkian) ... het pasgetrouwde bloed (darah pengantin baru) ... apa maksud semua ini?"

Pelsaert terhenti lagi, tak salah lagi gulungan penuh bercak darah itu adalah sebuah perjanjian yang memuat tiga belas butir pasal. Namun, bagi Pelsaert yang merupakan kapten kapal ini, ia merasa tak pernah mengetahui adanya gulungan itu sebelumnya. Maka segera ia konfirmasi hal itu pada sahabatnya.

"Angel, lihatlah ini! ... Apakah kau pernah melihat yang seperti ini di pelayaran mu?"

Seraya Pelsaert menyerahkannya, Angel perlahan membaca gulungan itu. Napasnya terhela panjang, seakan terganggu dengan isi gulungan yang ia baca.

"Tidak, ini pertama kali aku menemukan yang seperti ini ... Pelsaert coba perhatikan ini!"

Pelsaert segera mendekat.

"Hmm? Ini bekas robekan, bukan?"

Terlihat di ujung gulungan perjanjian itu, tepatnya setelah butir ke tiga belas

"Sungguh aneh, kenapa gulungan seperti ini ada di sini? Edward dimana kau menemukannya nak?"

Segera dengan polosnya Edward menunjukan jarinya.

"Itu! Bukankah itu meja milik...."

Kreeek!!

Dari pintu ruangan dek utama yang dibuka itu, segera muncul seorang sosok yang mereka kenal. Dengan kacamata kotaknya dan rambut yang terkuncir di belakang, sang wakil kapten melangkahkan kaki selagi menjaga wajah tenangnya.

"APA MAKSUDNYA INI TORRENTIAS, JAWAB!"

Pelsaert membentak selagi menjulurkan gulungan itu kearah Torrentias.

....

Torrentias melangkah mendekat masih dengan wajah tenangnya.

"Oh itu...!"

"Jadi kau tahu akan gulungan ini, hah...?"

"Ya aku tahu apa gulungan ini"

Gumam Torrentias selagi berhenti di depan sang kapten dan mengambil gulungan itu dari tangan Pelsaert. Matanya memandang pedih pada gulungan penuh bercak darah itu.

Lalu ia berjalan melewati keempat orang yang memandangnya dengan penuh tanya. Torrentias pun berjalan menuju dek terbuka di depan kemudi kapal sang kapten.

Pandangannya datar pada samudra lepas yang gelap gulita dan ia segera merentangkan tangannya.

"Lihatlah samudra lepas yang gelap itu ..., samudra yang menyimpan banyak kepedihan dan misteri itu."

"Apa maksud mu, katakan tanpa harus berbasa-basi!"

"Kap-ten..., sifat itu! pemaksa dan tak sabaran, tak tahukah kau kalau banyak kru yang membicarakan sifat mu itu di belakang mu!"

"APA KAU BILANG....!!"

Pelsaert hendak meluapkan kemarahannya, namun dengan segera Angel yang sedang duduk di belakangnya menghentikan langkahnya dengan menarik sebelah tangannya dan menunjukan wajah waspada pada sosok sang wakil kapten.

"Heuuh..., menghabiskan energi saja meladeni kemarahan mu itu. Baiklah kalau kau ingin tahu, akan kuberitahu apa ini!"

Seraya itu, ia buka gulungan penuh bercak merah itu hingga menjulur kebawah. Lalu dari sebelah tangannya, ia menarik keluar secarik kertas yang berwarna sama dengan gulungan itu.

"Dua kertas ini sebenarnya adalah satu. Namun untuk mempermudah mendapat persetujuan para pihak, maka aku memisahkannya dan memalsukannya pada perjanjian yang dapat menarik minat mereka"

"...hah, perjanjian? apa maksud mu!"

"Gulungan ini, ini adalah perjanjian untuk memanggil sang iblis. Juga! Perjanjian yang dapat memberikan suatu kekuatan.

Namun, agar gulungan ini dapat aktif aku harus bisa mendapat cap jempol tiga belas pengantin baru yang akan dikorbankan, jadi aku merobek bagian persetujuannya dan menempelkannya pada perjanjian investasi untuk meyakinkan mereka membubuhkan cap jempolnya.

Namun, tentu itu tak berhasil. Hanya si bodoh Robert Gale saja yang dapat tertipu. Hingga akhirnya upacara pengorbanannya malah terpergok seorang anak kecil dan malah menjadi sorotan.

Geh!! Dasar,... namun ternyata hal tersebut malam mempermudah ku untuk mendapat sisa cap jempol dari pengantin baru yang lain. Sambil berpura-pura melakukan inspeksi, aku menyuruh mereka membubuhkan cap jempol mereka dengan dalih pemeriksaan rutin, dan mereka ... PERCAYA, HA HA HA HA HA!! Sungguh menarik bukan?"

Ekspresi wajah Torrentias segera berubah menjadi senyum gila, dan hal itu membuat Edward mulai takut.

"CUKUP!! Hentikan omong kosong mu itu Torrentias! Tak perlu kau membual, katakan saja apa yang kau tahu tentang gulungan itu!"

Pandangan kecewa segera Torrentias lemparkan pada Pelsaert.

"Tunggu dulu Pelsaert,...."

Angel lagi-lagi menghentikan kemarahan menggebu Pelsaert

"Coba pikirkan baik-baik! Maksudku kau melihatnya dengan mata kepala mu sendiri kan, monster setinggi tiga meter dengan bulu lebat dan mata yang kosong itu?"

"Keh!!...."

"Benar, dengarkan itu kap... ten... coba kau pikir baik-baik, semua kengerian yang terjadi di kapal ini..., semuanya, SEMUANYA BUAH KARYA KU KAP...TEN!! HA HA HA HA"

Tawa lepas Torrentias itu segera merubah wajah serius dan datarnya menjadi wajah berseri yang tertawa gila. Ketakutan pun segera menyerang Edward yang sedang dipeluk sang ibu.

"Sialan, apa mau mu! Kenapa kau lakukan ini semua, kenapa di kapal ini, dan apa tujuan mu sebenarnya? Jawab, Torrentias!"

Tak langsung menjawab pertanyaan menggebu sang kapten itu, Torrentias malah membalikan tubuhnya dan menyandarkan kedua tangannya menyilang di pinggiran pembatas dek yang terbuat dari kayu.

"Saat aku hendak kesini, para kru melapor kalau sepuluh monster telah di tebas oleh samurai Nn. Lucretia itu. Geh! Mengganggu saja... tapi tak papa, selanjutnya tinggal kita tunggu dua lagi sisanya!"

"Apa yang kau bicarakan, Torrentias?"

Mendengar pertanyaan sang kapten, Torrentias menolehkan pandangannya lalu menjawab....

"Pesta, kapten!"

"Huh? Bicara apa lagi kau ini?"

Angel dan keluarganya hanya menyaksikan pembicaraan mereka dengan pandangan waspada.

"Pesta kelahiran Sang Jormungand"

"..."

Sejenak Pelsaert tersentak meskipun ia masih tak dapat menangkap maksud pembicaraan Torrentias, lalu Torrentias kembali menghadap ke dek kapal di bawah mereka.

Sedikit pelan, namun masih terdengar. Teriakan pertama, teriakan seorang wanita.

"Dua belas~"

Torrentias menghitung.

Lalu tak lama kemudian terdengar suara teriakan yang samar, seakan lebih jauh dari yang pertama.

"Dengan begitu terkumpul sudah yang ketiga belas"

Membalikkan kembali badannya, Torrentias memperlihatkan kedua lembar kertas di tangan kanan dan kirinya. Lalu dengan perlahan ia dekatkan kedua kertas itu.

Bagaikan dijahit petir kecil, kedua kertas yang tadinya berlainan itu segera menyatu dan menjadi satu kesatuan kertas gulungan.

Keempat orang di depan Torrentias hanya terdiam tak mampu berkomentar atas apa yang telah mereka lihat.

"Baiklah, sekarang biar kujelaskan sedikit tentang perjanjian ini. Dalam perjanjian itu tertulis, bahwa untuk mengikatkan diri pada iblis kedengkian diperlukan darah tiga belas pengantin baru. Yangmana, malam ini telah terpenuhi.

Untuk itu, dengan terpenuhinya syarat dalam perjanjian ini maka sambutlah sang iblis kedengkian penguasa lautan ... LEVIATHAN!!"

Seraya itu, Torrentias membentangkan tangannya ke arah barat kapal.

Lalu seketika itu,....

Seekor mahkluk yang terlihat seperti paus berwarna merah darah, yang berukuran sebesar kapal Batavia, dengan mulut lebar yang dipenuhi gigi tajam seperti hiu, segera menerjang kapal selagi membawa gelombang pasang besar dari lautan di sisi barat kapal.

§

"Kakak,...."

"Ya, aku juga merasakannya ... gelombangnya datang, ... mari kita menebus dosa, ... Vannesia!"

Dari pulau di ujung barat Australia, kakak beradik itu segera mengemas perbekalan mereka, dan bergegas menuju bibir pantai.