Malam itu raungan monster salamender raksasa itu menggema di Batavia, dan seketika raungan itu membuat seluruh kota senyap terkesima akan kengerian malam Batavia. Raungan yang menggelegar itu menyita perhatian seluruh kota.
Pribumi yang terbangun hanya bisa ketakutan di dalam rumah mereka, mengingat jam malam masih berlaku bagi mereka. Namun tak semua yang tinggal di Batavia adalah Inlander. Semuanya mendengar dan terbangun meski kebanyakan dari mereka hanya bisa ketakutan akan ketidak tahuan mereka.
Begitu pun seorang bocah terbangun dari mimpinya dan segera berlari dari kasurnya. Langkah kakinya terburu juga napasnya cepat meskipun tak ada seorang pun yang mengejarnya.
Lalu sampailah ia di depan sebuah pintu, sambil berusaha meraih ganggang pintu yang lebih tinggi dari dirinya, sebuah boneka yang ada di pelukannya tak Ia lepaskan. Kakinya terus menjinjit selagi ia mengeluarkan suara penuh usaha, tak lama kemudian ganggang yang hendak Ia raih berputar dengan sendirinya dan membuatnya mundur dua langkah dari pintu itu.
Saat itulah mimik ketakutannya segera berubah menjadi tumpahan air mata selagi ia melompat ke pelukan kedua orang dari balik pintu itu. Dan segera mereka menerimanya dengan pelukan hangat dan kata-kata lembut yang mengiang menenangkan.
"Sudah tak papa, semua akan baik-baik saja. Papa dan mama ada di sini, semua akan baik-baik saja Edward."
§
"Sialan!! Lepaskan aku, kita semua bisa mati kalau tetap di sini bodoh!!"
"Bagaimana ini Herman, apa yang harus kita lakukan kalau begini jadinya?"
"Apa-apaan itu!?"
Akno yang masih menahan Morteas di bawahnya selagi mempertahankan wujud zirah putihnya yang berat itu. Angin keras berembus dari perkelahian kedua monster raksasa.
Keduanya terus berguling bergantian untuk menekan satu sama lain, dan tepat saat sang Salamander Putih berhasil mengambil posisi lebih tinggi segera ia membuka mulu lebarnya. Angin segera tersedot ke depan mulut yang terbuka itu, bola hitam segera terbentuk dan bola itu terisi tekanan angin yang tersedut ke intinya hingga membuat tekanan angin itu menjadi bola hitam padat.
Akno dan Herman melihat itu dari bawah, menyadari ancaman dari bola hitam pekat di ujung mulut sang Salamander. Segera mereka berteriak pada kedua rekannya yang sedang berurusan dengan dua pengawal Pieterzcoon yang lain. Kedua rekannya itu pun segera mengerti maksud Akno dan Herman dan segera meninggalkan urusan mereka untuk mengambil tindakan.
Buku Pito segera melayang namun kelihatannya ia tak sempat melakukan pemindahan fokus dengan mengacaukan indra sang Salamender. "Ck!!" suara decak keluar di ujung mulutnya.
Segera bola itu dilepaskan.
Selagi berlari mendekati kedua raksasa itu Daisy menarik napas dalam-dalam. Lalu dengan segenap tenaganya ia meniupkannya dan mengubah daya dorong yang di ciptakan tiupan angin itu. Seketika embusan dari mulut Daisy berubah menjadi puting beliung yang mampu mendorong bola hitam itu. Bola itu bergulir perlahan kebawah dan berhasil di buat melenceng dari jalurnya yang seharusnya menabrak kepala raksasa gajah dari ratusan akar itu.
Bola itu terus terjatuh dan arah jatuhnya adalah tempat di mana Pito dan sang serigala Putih Bermata Tiga itu berada.
"Ahk!!"
"Tidak, Pito!!"
Segera Akno melepaskan zirah berat itu dan melesat dengan wujud gabungannya dengan Herman yang berkulit merah sawo. Meninggalkan garis bayangan kemerah-merahan ia melesat dan mereka berhasil menangkap Pito di pelukannya. Namun malang nasib Valvaro Si Serigala Putih yang harus tertimpa bola hitam bertekanan angin tinggi itu.
§
Forcas, mengambil kesempatan sesaat yang diciptakan oleh kekacauan dua raksasa. Dengan cepat ia berlari sekuat tenaga kearah hutan, dalam selagi mengandalkan penciumannya ia hendak mengejar Bastion dan Vannesia yang lari kearah yang sama.
Menembus pepohonan melompati semak-semak ia mengikuti bau mereka yang terus bergerak.
50 meter ... 30 meter ... 10 meter ... Tap!
Di atas dahan besar sebuah pohon rindang Forcas terhenti, di bawahnya adalah kedua kakak beradik itu. Dengan tenang ia mengawasinya meskipun napasnya masih tersenggal-senggal berat.
Bastion memegang erat tangan Vannesia, dan Vannesia terjatuh pada air matanya. Apa yang sedang mereka bicarakan? Benak Forcas bertanya. Keduanya kelihatan sedang membicarakan hal yang serius, namun itu tidak menjadi urusan bagi Forcas. Yang menjadi urusannya adalah membalas kedua orang yang mengancam jabatan dan nyawanya itu.
Wajahnya mulai memerah, dan liurnya mendidih bersamaan dengankuda-kuda yang dia ambil. Dan seketika itu kepulan asap abu-abu keluar dari tubuhnya dan menyebar keseluruh area itu dan bersamaan dengan itu Forcas menerjang kedua kakak beradik itu dengan menukik tajam dari atas mereka.
Namun, Bastion segera waspada saat menyadari asap abu-abu telah memenuhi area itu. Dan dengan insting luarbiasa yang telah ia latih bertahun-tahun dalam berbagai latihan bela diri, ia putar tumpuannya dan kakinya menerjang tepat kearah belakangnya dengan sudut delapan puluh derajat ke atas. Tepat ke pipi Forcas yang menerjang dengan gigi besar dan tajamnya kebawah. Tetapi satu tendangan itu masih belum cukup untuk menghentikannya.
Vannesia berteriak histeris atas serangan itu. Namun Bastion sudah bertekad untuk melindungi adiknya. Maka serangan Bastion segera berlanjut dengan sebuah memutar sekali lagi poros tubuhnya.
Kali ini pukulan itu menghantam rahang bawah Forcas dan memaksanya menutup gigi-gigi tajam yang siap menerjang itu. Mengirimnya melayang ke udara dan terjatuh ke tanah dengan hantaman yang cukup keras.
Bastion segera menggenggam tangan Vannesia dan mereka kembali berlari meninggalkan Forcas yang berusaha berdiri kembali dengan beberapa gigi yang terlepas.
Lalu seketika udara menjadi dingin di sekitar Forcas, membuatnya terpaku diam dalam ketakutan akan sesuatu. Perasaannya sangat tertekan seketika, namun ia tak tahu apa ancaman yang sedang mengincarnya itu. Detak jantungnya mulai dapat ia dengar dan bulunya berdiri tegak darikulitnya. Lalu ...
Slurp!
Perlahan ia mencoba melirik sumber gerakan itu.
Slurp, Slurp!
Apa itu? ... selagi terus menganggat wajahnya, meskipun berat terasa di lehernya untuk berputar.
Kpaak!!
Tidak tidak tidak! Pikirannya mencoba menolak apa yang sedang ia sadari. Namun tak salah lagi suara itu!
Sluuurp!!
Lidah merah yang lumayan besar itu kembali menjulur dari mulut sosok itu untuk mengusap matanya. Dengan terus menempel di atas ranting sebuah pohon makhluk itu memiringkan kepalanya.kulitnya hitam, hitam pekat seperti malam namun garis-garis dikulit itu tak salah lagi adalah seekor reptil.
Kpaaakakakakakakakakakakakak!
Tawa mengerikan itu membuat tatapan Forcas membeku pada makhluk di depannya yang sedang mengawasinya dengan mata hijau jamrudnya selagi memancarkan teror dari tubuhnya.
Forcas mengenal mahluk itu, namun seakan lidahnya kelu hawa dingin semakin menusukkulitnya dan mengacaukan pikirannya. Lalu seakan lidahnya lepas dari kendalinya bibirnya menyebutkan nama makhluk itu.
"Behemoth!"
Makhluk itu segera menerjang dan menelannya bulat-bulat.
§
Terlihat bergerak perlahan dari kejauhan meskipun sebenarnya belalai raksasa gajah akar itu melesat dengan kencang dan melilit leher salamander putih. Salamander itu pun tak tinggal diam, dengan meronta ia berusaha mendorong sang gajah yang masih ada di bawahnya dengan ke enam tangannya.
Lalu dengan perlahan terlihat tumbuh dua sayap raksasa di punggung sang salamander.
Kedua sayap itu segera menghempaskan udara dan menarik tubuh salamander itu keatas. Namun dengan ukuran yang sebesar itu, badan sang salamander hanya terangkat perlahan-lahan selagi kedua sayapnya mengepak beberapa kali dengan kuatnya.
Dan tepat saat jarak antar sang salamander dan sang gajah didapat sepuluh kaki, api kuning kemerah-merahan menyembur keluar dari mulut lebar sang salamander.
Api itu terus menyembur, membakar tubuh yang terbuat dari akar pohon sang gajah.
Lalu dengan meronta sang gajah masih berusaha menarik sang salamander dengan belalai yang sempat ia lilitkkan pada lehernya, namun api yang begitu kuat segera menjalar hingga ke belalainya dan memutuskan belalai dari akar tersebut.
Dan seketika itu, saat bayangan tubuh sang gajah mulai menghitam terdengar suara udara cepat yang melengking memekakan telinga.
Pada saat-saat terakhir itu Ron segera melesat dengan anugrah anginnya menembus tubuh sang gajah yang terbakar api, dan dalam detik-detik terakhir itu ia berhasil mengeluarkan Dekker yang mengendalikan gajah itu dari dalam.
Mendarat di lokasi yang sedikt jauh dari tubuh gajah yang terbakar. Suara batuk sesak segera terdengar dari mulut Dekker.
Lalu selagi berusaha menstabilkan pernapasannya Dekker mencoba membujuk sang salamander.
"PIETTEEEEER!!! HENTIKAN SEMUA INI, LIHATLAH PASUKAN MU SUDAH HABIS TAK BERSISA LAGI, PIETER!!"
Namun sang salamander yang menyadari suara Dekker itu malah menjadi mengarahkan dirinya pada Dekker dan Ron sambil membuka mulutnya lebar untuk menembakan semburan apinya lagi.
Melihat itu dahi Ron menggerut, dan angin terasa mulai mengitari mereka berdua.
Sang salamander pun membuka mulutnya lebar-lebar, dan suara deruan angin mulai terdengar berkumpul ke tenggorokan sang salamander raksasa itu.
Namun bukannya melontarkan tembakan api, tubuh sang salamander itu perlahan semakin menyusut. Menyusut dan terus menyusut hingga ia kembali ke wujud manusianya.
"HAAAH??? APA-APAAN INI!!?? TIDAK-TIDAK-TIDAK, ADA APA INI!! APA YANG TERJADI!! HHHAAAAHHH!!!??"
Pieterzcoon terus mengulang kata-kata ketidak percayaannya itu dengan suara keras. Namun tubuhnya tetap seukuran manusia normal dan tak berubah kewujud monsternya lagi.
Dekker yang melihat itu mengembuskan napas panjang, entah itu suatu napas lega atau napas prihatin terhadap kondisi sang gubernur jendral VOC itu. Lalu bersama para petarung yang lain mereka berjalan mendekat menuju tempat Pieterzcoon berdiri kepanikan.
"Pieter, sudahilah ini semua ... tak ada yang akan kau dapatkan dari ini, dengarlah kata-kata ku!"
"DIAM, KAU TAK TAHU APA-APA DEKKER! KAU TAK TAHU, TAK TAHU APA!!!!"
"Pieter ..., coba lihatlah sekeliling mu dan pikirkanlah baik-baik apa yang sedang kau kejar hah?"
Selagi masih dalam keadaan panik, Pieterzcoon melihat kesekelilingnya. Tembok besar Kastil Batavia yang anggun ia bangun itu, jembatan indah yang menghubungannya dengan kota itu, sungai jernih yang seharusnya mengalir di bawahnya itu. Telah berubah menghitam dan keruh dengan bangkai dan darah merah yang bercampur tak beraturan.
Karya tangannya, suatu kota megah dengan kastil besar yang menjadi pertahannya masih disana. Namun suasana yang seharusnya menggambarkan keindahan arsitektur eropa itu seakan diwarnai dengan emosi suram, segera membuatnya mual.
§
1619, Pieter berdiri di atas puing-puing kerajaan Jaya Karta yang telah ia taklukan. Saat itu Pieterzcoon memandang langit, ia melihat potensi strategis dari kota itu dan memutuskan membangun suatu kota baru yang akan dijadikan pusat pemerintahannya di Asia.
Dihirupnya udara segar daerah baru kekuasaannya itu, lalu...
"Dunia, SAMBUTLAH 'NIEUW HOORN'!!! HAAA HAAA HAAA HAA HHAAAAA HAAA!!!!"
Tawanya menggelegar ke udara dengan tangan yang terlentang.