Bren, Swiss
Seorang dokter tampan nan dingin berjalan di koridor rumah sakit.
"Pagi..."
"Selamat pagi!"
"Bonjour docteur Dallas!"
Banyak sapaan yang dilontarkan untuk Dr. Dallas. Namun ia hanya berwajah datar tak berniat membalas sapaan tersebut, langkah kakinya membawa menuju sebuah ruangan kepala rumah sakit.
Tok... Tok... Tok...
Setelah mengetuk pintu dan mendapat jawaban 'masuk' dari dalam, Dr. Dallas memasuki ruangan kepala rumah sakit tersebut.
"Ternyata kau sudah datang dokter Dallas Camelo. Selamat pagi!" sapa pria paruh baya mengenakan jas putih yang duduk di kursi kebesarannya, "Silahkan duduk Dr. Dallas."
Dallas duduk berhadapan dengan kepala rumah sakit itu.
"Kau pasti bertanya-tanya, kenapa aku panggil kau?" ujarnya lagi.
"Bisakah langsung ke intinya?" tanya Dallas sopan, ia tak suka yang namanya basa-basi.
"Kau selalu saja begitu! Tak bisa diajak basa-basi." keluhnya.
Dallas hanya diam menunggu kalimat selanjutnya yang akan dikatakan kepala rumah sakit.
"Begini, selama ini kau bekerja sangat baik di rumah sakit ini sebagai dokter bedah. Aku tau kemampuan mu tak bisa diragukan lagi jadi..." ucap Kepala rumah sakit menggantung.
Dallas mengerutkan keningnya seolah-olah ia tengah menebak apa yang akan dikatakan kepala rumah sakit itu selanjutnya?
"Kau mendapatkan kontrak kerja di Paris, lebih tepatnya di rumah sakit Saint Louis Ap-Hp." lanjutnya.
Dallas terdiam sejenak, "Tapi kenapa Mrm Jengki? Kenapa harus aku?" tanyanya menuntut.
"Mereka membutuhkan tenaga medis yang seperti mu, jadi begini. Rumah sakit kita telah bekerja sama dengan rumah sakit yang ada di Paris, untuk sementara waktu kau dipindahkan tugaskan." jelas Mr. Jengki.
"Berapa lama disana?"
"Mungkin sekitar enam bulan." ucap Mr. Jengki santai.
"Tapi bagaimana dengan rumah sakit ini? Siapa yang akan-"
"Rumah sakit ini akan diurus oleh dokter dari Paris itu." potong Mr.Jengki cepat.
"Jadi ini semacam pertukaran dokter?"
Mr. Jengki hanya menganggukkan kepala sebagai jawabannya.
"Aku rasa, aku perlu memikirkannya." putus Dallas.
"Baiklah, jika kau sudah menemukan jawabannya segera hubungi aku."
Dallas mengangguk, "Kalau begitu saya permisi." pamitnya sopan lalu meninggalkan ruangan tersebut.
Dallas berjalan menuju ruang kerjanya, saat ini pikiran-nya tengah berkecamuk.
"Dallas, aku mencarimu kemana-mana ternyata kau disini!" ujar dokter berpakaian scrub suits yang terlihat gelisah.
"Qu'est-ce qui ne va pas Tobbias? Kau kelihatan cemas sekali." tanya Dallas melihat sahabatnya yang sangat kebingungan.
"Seorang pasien tertembak di bagian perut, kondisinya sangat kritis bahkan mungkin harus membutuhkan pertolongan dari dokter profesional sepertimu. Kami tau kau bisa mengambil langkah yang tepat. Cepat ke ruang operasi mereka membutuhkanmu."
Dallas mengangguk bergegas mengganti jas dokternya dengan pakaian operasi.
***
Malam hari, Dallas telah sampai dirumah memarkirkan mobilnya. Keningnya berkerut melihat mobil yang nampak asing dimatanya. Ia memilih mengabaikan dan memasuki rumah.
Ceklek!
"Suprise!!!!!"
Dallas terpaku sesaat, bukan karena melihat kejutan dari orang tuanya melainkan seseorang yang telah membuat dirinya berubah. Tunggu? Untuk apa dia kemari? Bukankah dia seharusnya di London?
"Bon anniversaire, sayang." ujar Mommy lalu mencium kedua pipi anaknya itu dengan sayang. "Lihatlah, Isabell datang jauh-jauh ingin menemui mu."
Suara mommy-nya yang bernama Alexa membuyarkan lamunan lalu ia beralih menatap Isabell yang tersenyum kearahnya.
"Selamat ulang tahun, Bombom." kata Isabell membawakan kue tart yang berukuran besar dengan lilin angka 25.
Panggilan itu... Sungguh aku muak mendengarnya! batin Dallas mengepalkan tangannya kuat.
Dallas hanya menatap Isabell dingin namun dibalik sorot matanya ada luka yang dalam, namun tak ada siapapun yang menyadarinya termasuk Isabell sendiri.
"Aku rasa kita makan malam sekarang, mommy mu sudah menyiapkan makanan special untuk mu." usul Daddy-nya yang bernama Zinki.
"Saran ayahmu tepat sekali." timpal mommy.
Mereka semua berjalan ke arah ruang makan dengan gembira, namun berbeda halnya dengan Dallas. Ia masih saja dingin tak mengatakan sepatah katapun. Zinki duduk di kursi kepala meja makan, disebelah kirinya adalah Alexsa mommy-nya sedangkan Dallas duduk dihadapan mommy. Isabell? Ia jelas duduk disamping Dallas hal itu yang paling dibencinya saat ini.
Mereka makan malam dengan tenang tak ada satupun yang berbicara itu adalah salah satu tradisi di keluarga Bryan. Setelah selesai Zinki memulai pembicaraannya.
"Ada hal yang ingin ayah katakan padamu." ujarnya serius menatap Dallas.
Dallas masih diam.
"Ayah berniat menjodohkanmu dengan Isabell."
"Sayang, apakah ini tak terlalu cepat?" tanya Alexa kepada suaminya.
"Aku rasa tidak, mereka kan sudah kenal sejak kecil. Dallas juga tak merasa keberatan dengan keputusan ku, bukan begitu Isabell?" tanya Zinki menatap Isabell, seolah jawaban Isabell mewakili Dallas.
Isabell hanya mengangguk dan tersenyum tapi tidak dengan Dallas, ia justru mengepalkan tangannya kuat yang berada dibawah meja.
"Aku keberatan." akhirnya Dallas bersuara.
"Apa maksudmu Dallas?" tanya Zinki tak suka.
"Aku merasa keberatan dengan keputusan ayah, aku tak mau dijodohkan. Lagi pula bukankah Isabell sudah memiliki kekasih? Kenapa sekarang dia kembali padaku?" Dallas menatap sinis Isabell.
Isabell nampak terdiam, ia tau jika Dallas marah. Karena ia lebih memilih tunangannya dulu sebelum tragedi kecelakaan yang dialami tunangannya terjadi.
"Dia bahkan tak bisa menjawab." seperti ditikam ribuan jarum, ketika Isabell mendengar perkataan Dallas yang terdengar mencemooh.
"Ada apa denganmu Dallas? Ini bukanlah dirimu, kau bukanlah Dallas. Dallas yang aku kenal tidak seperti ini." Isabell berkata dengan mata berkaca-kaca, sungguh hatinya tersayat mendengar perkataan Dallas.
"Apa kau terluka?" tanya Dallas mencemooh. "Kini kau bisa merasakan rasa sakit hatiku yang kau sebabkan dulu! Seharusnya kau menjadi teman diwaktu aku membutuhkanmu! Tapi apa yang kudapat? Kau justru malah meninggalkan ku dengan laki-laki yang sekarang meninggalkan mu." Dallas meluapkan semua rasa sakit hatinya yang pernah ia pendam dulu.
"Kini kau kembali kepada ku hanya untuk memohon agar aku kembali kepada mu? Mimpi saja kau! Sungguh malangnya hidupmu." sindir Dallas.
"Sudah cukup! Kau keterlaluan Dallas! Ayah tak pernah mengajarimu berkata kasar seperti ini!" murka Zinki.
"Ayah memang tak pernah mengajariku berkata kasar, namun wanita inilah yang membuat ku menjadi seperti ini!" tunjuk Dallas ke arah Isabell yang menangis terisak.
"Satu hal lagi! Besok aku akan pergi ke Paris." ujar Dallas yang membuat seisi ruangan terdiam. "Dan kau!" tunjuk Dallas yang menatap dengan rasa bencinya, "Jangan pernah muncul kembali di hadapanku." lalu Dallas berlalu pergi.
Ia berjalan sambil mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana.
"Hallo Mr. Jengki! Aku mengambil kontrak kerjanya."
"Hallo! Ah ternyata kau Dr. Dallas. Aku tau kau pasti cepat berubah pikiran."
"Kapan aku berangkat?"
"Besok. Kau sudah bisa berangkat ke Paris."
"Baiklah, terima kasih."
Tut...
Dallas mematikan ponsel pikirannya sedang kacau, jalan satu-satunya untuk menghindari perjodohan ini adalah ke Paris, pikirnya.