Lelaki berjaket kulit itu berjalan dengan tangan yang mencengkram tali kamera model terbaru. Dengan langkah tenang dan mata yang menjelajahi setiap inchi ukiran bangunan itu, dia tak hentinya melayangkan senyuman tipis. "Unik," batinnya. Tanpa sengaja, sikunya menyenggol sebuah guci yang kala itu posisinya memang tergeser dari tempat semula.
"Hmm, orang iseng." Gumam lelaki itu. Dia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya ketika dirasa benda pipih berwarna hitam itu bergetar hebat.
"Hallo sayang?" Sapa seorang perempuan paruh baya dari sebrang sambungan telfon. Lelaki itu, Farel, hanya bisa tersenyum walau ia tahu sosok disana tak bisa menikmati senyumannya.
"Iya Ma, ada apa?" Tanya Farel. Tumben, batinnya, biasanya orang tua itu akan menelfon setiap tiga kali dalam seminggu. Biasanya dia menelfon saat setelah jam makan malam. Namun kali ini wanita itu menelfon saat dirinya tengah melakukan penelitian untuk model terbarunya.
"Mama tuh kangen banget sama anak Mama, gak boleh, huh?"
Farel terkekeh singkat. Jika bagi orang lain kehidupan seorang anak rantau itu akan menyenangkan ketika mendapat pasangan, tidak bagi Farel. Cowok bermata coklat itu lebih memilih melajang dan memiliki keluarga yang sehat dan perhatian. Baginya itu sudah lebih dari cukup.
"Kamu kapan pulang?" Tanya Marni, nama dari Mama Farel.
"Kan bulan kemaren baru pulang, Ma."
"Ya masa kamu pulangnya tiap 3 bulan sekali sih, Mas. Ya Mama rindunya juga tiap hari. Gimana kalo tiap bulan kamu pulang?"
"Ya bisa aja sih Ma, tapi kan di kampus banyak tugas sama aku juga banyak kerjaan."
"Hm," terdengar embusan nafas dari sebrang sana. "Terserah kamu deh kalo gitu. Mama cuma mau ngasih tau aja nih, kalo anaknya Om Dirman itu udah pulang dari Belgia."
"Huh? Siapa Ma?"
"Itu, anaknya Om Dirman."
"Maksudnya Melati?" kening Farel mengernyit, mengingat sosok gadis kecil periang yang sangat manis. Dulu, saat dia masih kecil.
"Iya, itu."
"Ohhh..."
"Ya udah kalo gitu Mama tutup dulu telfonnya ya, ada urusan bentar."
"Iya, Ma. Love you."
Farel memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jaket. Dia merasa hatinya menghangat mendapat telfon dari sang Mama, bidadari dunianya. Namun hati Farel yang hangat itu mendadak bergetar ketika melihat sosok perempuan yang tengah duduk di depan bangunan dengan dress putih dan rambut yang menjuntai panjang hingga sepinggang.
Bukan. Bukan sosok menyeramkan yang lelaki itu lihat. Namun sosok yang beraura menyenangkan sehingga membuatnya penasaran dengan keberadaan sosok perempuan itu. Entah siapa namanya, entah bagaimana rupanya, cantik ataupun biasa saja. Hanya dari punggung dan surai hitam legam saja Farel sudah merasa terpana. Apakah ini yang dinamakan cinta pandangan pertama?