Pulanglah, Hapsari membutuhkanmu.Â
Hanya sesingkat itu pesan yang diterima Bramantyo alias Bram, selama satu minggu, sebelum sang nenek meninggal dunia. Lelaki ini tak menyangka pesan yang diabaikan itu berujung serius.Â
Tiga belas November tahun 2000, Bram resmi pulang ke Indonesia. Karirnya sebagai marketing di perusahaan properti ternama di Singapura kandas. Sebagai cucu kesayangan dari almarhumah Nenek Aida dan pewaris tunggal, dia harus pulang ke tanah air. Meninggalkan kenangan di rantau orang.
Nenek kesayangan yang telah membesarkannya, meninggal karena sudah uzur. Kedua orangtua Bram sebelumnya telah lebih dulu meninggal dunia karena kecelakaan tragis, ketika dia berusia dua tahun. Bram tak memiliki saudara.Â
Selain mewariskan rumah, kebun, dan deposito, nenek juga mewariskan usaha keluarga, yaitu panti pijat Hapsari. Usaha ini telah berjalan sejak tahun 1942, sejak masa penjajahan Jepang. Sempat berhenti ketika tahun 1944, dan kembali berjalan sampai sekarang, walaupun tidak terlalu ramai pengunjung.
Hapsari berjarak sekitar 500 meter dari kediaman keluarga Bram. Letaknya di desa Ambarawa, persis di pinggir jalan lintas Sumatera. Target pengunjung Hapsari awalnya adalah penduduk kampung Sutera dan pengembara yang melewati jalan lintas tersebut. Namun, lama kelamaan Hapsari sangat terkenal. Pengunjung yang datang juga banyak dari luar kampung. Apalagi setelah mendengar berbagai testimoni dari pelanggannya. Meskipun pernah ada peristiwa aneh terjadi, namun tidak membuat Hapsari ditutup.
Menjalani bisnis bukan hal yang baru bagi pemuda yang lahir di bulan April ini, tetapi mengelola bisnis sendiri baru akan dijalaninya. Andai saja neneknya tak menitipkan pesan agar tidak menjual Hapsari. Andai saja selama ini dia ikut memantau perjalanan Hapsari, tentu usahanya jadi lebih mudah.Â
Suasana berkabung usai, hidup harus terus berjalan. Bram mulai membuat rencana untuk eksistensi Hapsari. Panti pijat miliknya harus sesuai dengan zaman dan pola bisnis kekinian. Bram bertekad untuk mengubah Hapsari sesuai keinginannya.
Tinggal di rumah besar dan antik, sendirian pula, tentu tidak nyaman. Begitulah saat Bram pertama kali menginjakkan kaki di rumah tua warisan untuknya. Rumah yang penuh lukisan kuno, yang seakan memiliki nyawa saat dipandang.Â