Jika ada yang bilang sahabat itu seperti saudara, aku setuju. Itu karena, kadang kami tertawa bersama dan kadang juga bersedih dalam berbagai situasi. Bagaikan kopi susu yang dicampur dalam satu gelas yang sama, dimana menghasilkan penuh kaya rasa saat manisnya susu bercampur dengan rasa pahit segar dari kopi.
Aku dan Wulan seperti anak kembar yang tak terpisahkan. Layaknya sepatu kiri dan kanan yang matching jika berjalan bersama. Seperti air dan minyak yang tak dapat dicampur menjadi satu, namun beda halnya jika itu dibuat di tangan seorang farmasis.
Kami berteman sejak SMP sampai masuk perguruan tinggi. Tidak ada rahasia di antara kami! Hobi kami sama, jadi aku tidak kesulitan untuk mencari bahan pembicaraan.
Saat SMA kami membuat group dance yang bahkan menjadi idola satu sekolah. Tapi sayang, group itu harus bubar saat kami berada di tingkat 3 dimana belajar adalah hal yang harus diprioritaskan.
Saat aku memiliki seorang pacar, aku akan menanyakan bagaimana pendapat Wulan. Ia akan memberikan aku saran dan juga pandangan soal itu! Sayangnya Wulan lebih tertutup untuk berbicara kisah asmaranya denganku.
Saat aku telah bergonta-ganti pasangan saat SMA, dia terlihat santai dengan buku di tangannya. Tampaknya ia tidak tertarik menjalin hubungan asmara dengan siapapun! Aku pernah bertanya padanya soal itu, tapi dia hanya bertanya balik padaku.
Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan sungguh hal yang paling ku benci. Sebab aku tidak bisa mengetahui keinginan hatinya yang sebenarnya.
"Apa kau benar ngak mau jalin hubungan dengan siapapun? Tampaknya David menyukaimu tuh," Kataku mencari tahu isi hatinya.
"Apa lo pacaran hanya karena ada yang menyukaimu?" Wulan jelas tak bisa diajak bicara jika itu soal hubungan asmara.
Hari-hari pun berlalu. Aku akhirnya akan menikah dengan seseorang yang penuh dengan kejutan. Wulan juga tahu orangnya, sebab mereka tampak akrab saat kami hangout bertiga.
Aku memperkenalkan Wulan sejak kami resmi berpacaran, dan orang itu adalah David. Pria yang pernah menyukai Wulan 3 tahun yang lalu. Kami berpacaran selama 15 bulan dan ia melamar ku pada hari ulang tahunku...
Di sebuah cafe terkenal yang sudah ada sebelum aku lahir, dengan pemandangan danau indah di depannya, terdengar alunan musik kesukaan ku diputar dan dia membawa mawar putih yang berpadu dengan mawar hitam dalam satu buket indah di tangannya.
Tidak banyak yang tahu aku menyukai kedua paduan warna bunga tersebut. Bahkan semua mantanku tak pernah tahu bahwa aku menyukainya.
Saat hendak melakukan fitting gaun, tampaknya David harus melakukan perjalanan ke luar kota. Sehingga aku ditemani oleh Wulan dan calon ibu mertuaku.
Wulan tampak sedikit canggung, ia sepertinya memiliki masalah. Biasanya ia akan sangat cerewet untuk bertanya padaku memulai pembicaraan. Tapi kami semakin dingin saat usia mulai beranjak dewasa. Entah apa yang terjadi.
Tidak biasanya dia akan diam dan hanya fokus pada jalan, lalu aku menyalakan tape audio mobil untuk mendengarkan beberapa musik jazz kesukaan Wulan, yang selalu menemaninya disaat melakukan perjalanan.
Wajahnya masih cemberut. "An, gue ngak fokus. Matikan saja audio yang Lo putar." Ujar Wulan tampak terganggu.
Setelah beberapa menit kami pun sampai bersamaan dengan calon ibu mertuaku. Ia menyapa Wulan dan sepertinya ia tidak melihatku saat itu. Entah mengapa rasanya aneh sekali.
"Wah nak, kamu udah datang rupanya. Yuk kita fitting dress-nya!" Ujar calon mertua tertuju pada Wulan.
Aku sontak bingung, bagaimana bisa calon mertuaku salah orang. Selama 15 bulan pacaran dengan David, ia memang hanya membawaku sekali saja untuk bertemu kedua orangtuanya. Ini kali keduaku untuk bertemu ibu David, tapi dia tampaknya lebih mengenali Wulan sahabatku.
"Tante aku yang mau fitting baju dress-nya." Ujarku menyela.
"Loh... bukannya Wulan yah yang mau menikah sama David? Kamu temannya David yang pernah sekali ia bawa ke rumahkan," Ibu David tampak bingung, tapi aku lebih bingung lagi!
"Permisi sebentar yah tante. Tante masuk dulu saja, nanti Wulan menyusul." Ujar Wulan sopan dan menarik tanganku menjauh dari calon ibu mertuaku.
Ia menyeret tanganku sampai di depan pohon besar tidak jauh dari butik. Aku yang kebingungan menunggu penjelasan yang mungkin bisa ku cerna.
"Apa maksudnya tadi?" Tanyaku
Wulan diam, sebenarnya ia juga tak tahu ingin berkata apa. Diusapnya wajahnya dengan kedua tangannya lalu berbicara, "An maaf. Aku dan David berhubungan dibelakang lo!" Wulan membuka suaranya.
Aku tak percaya, sekilas ini hanya seperti cerita bohong dari sahabatku untuk menjebak ku! Tapi aku tahu. Aku tahu Wulan bukan tipe orang yang suka main-main seperti ini.
Kakiku bergetar, seakan ia tak bisa lagi menopang tubuhku. "Sejak kapan?" Tanyaku pasrah.
"Saat lo pertama kali mengenalkan ku pada David kami mulai berteman, dan aku juga tidak menyangka kalo nantinya benih cinta itu akan tumbuh diantara kami!" Kata Wulan.
Aku tidak pernah berpikir bahwa mereka akan memutuskan menjalin hubungan dibelakang ku. Dan tidak berpikir bahwa mengenalkan David pada Wulan merupakan bumerang bagiku.
'Tapi, kenapa David malah melamar ku dan bukan Wulan?' Pikirku kalut.
Aku lalu berpaling dan suasana menjadi hening beberapa saat. "Jadi itu sebabnya tante Diana mengenali lo dan bukan gue?" Tanyaku.
"David mengenalkan aku kepada kedua orang tuanya saat kami mulai akrab. Dan aku sering main ke rumahnya..." Wulan lugas memberitahukan detailnya. Ia tampaknya tak ragu untuk menyakiti hatiku!
"Apa David juga tahu ini?" Inilah hal yang paling ingin kutahu.
"Ya." Jawab Wulan singkat.
Perlahan air mataku mulai mengalir tak terbendung. Mereka sepertinya menganggap ku orang bodoh! Bagaimana bisa mereka baru memberitahukan hal itu sekarang?
Mendengar jawabannya, banyak kata yang hendak mau kutanyakan. Tapi handphone Wulan berdering! Ibu David meneleponnya.
Wulan tahu jika ia harus segera pergi masuk ke dalam butik, tapi ia tidak bisa membiarkan aku begitu saja. Bagaimana pun juga aku adalah sahabat karibnya.
"An maaf, tapi itulah yang terjadi... Kau bisa pulang sendiri kan?" Tanya Wulan seakan bersimpati.
Nada bicaranya membuat aku ingin menghajarnya, tapi tetap saja aku tak bisa melakukannya. Aku hanya diam terpaku dan dia segera beranjak pergi masuk ke dalam butik, menggantikan ku fitting baju pernikahan.
Aku kalut, tapi aku tidak kehilangan kesadaran ku. Ini buka sebuah cerita dari film-film Bollywood atau Hollywood yang lagi ngetrend. Aku juga tidak sedang syuting drama Indosiar!
Berakhir happy ending? Ngak ini dunia nyata. Sesuatu bisa berakhir diluar dugaan bahkan diluar nalar manusia.
Aku tidak habis pikir ada apa dengan calon suami dan sahabatku itu. Seharusnya mereka memberitahukan ku dengan cepat, tapi mereka menundanya. Membuat aku sangat sakit hati.
3 hari sebelum wedding yang seharusnya aku adalah mempelai wanitanya, David menghubungi ku. Mereka tahu aku pantas untuk mendapatkan penjelasan. Aku tidak menghindar, sebab aku ingin mengerti mengapa hal itu bisa terjadi.
Aku mendatangi mereka yang terlihat tegang menantikan kedatangan ku. Mereka tampaknya telah memesan meja khusus di pojok ruangan cafe dengan meja berbentuk kubus, dilengkapi 4 kursi.
Aku berjalan mengeluarkan satu kursi dan mendorong kursi lainya ke tengah, duduk di seberang sisi berhadapan tepat diantara mereka berdua.
Walaupun canggung, aku memulai pembicaraan. "Kalian berhutang kata maaf padaku." Ujarku dengan pandangan mata yang tajam.
"An..." David membuka suaranya, tapi aku ingin menyela.
"Tidak apa-apa... Gue baik-baik saja." Sela aku tanpa mau mendengarkan kata-kata David lebih lanjut.
"Tapi gue masih sakit hati." Tambahku lagi meyakinkan. Aku melirik ke arah Wulan yang diam saja, lalu aku bersandar pada kursi itu dan menyilangkan tanganku di atas dada.
David diam dan hanya tertunduk melihat ke arah coffe yang tampaknya mulai dingin. Mereka menunggu ku selama 1 jam lebih! Yah aku hanya menguji kesetiaan mereka untuk itu. Itu saja!
"Aku tidak bisa memaksa kalian untuk bersikap biasa saja. Karena kalian pantas untuk sedikit merasa bersalah. Hah..." Aku menghela nafas.
"Ini sungguh konyol... Hei, apa kalian pikir aku adalah wanita yang berpikir sempit? Hilangkan wajah yang melihat ku dengan belas kasihan itu! Jelas-jelas kalian menyakitiku tanpa pikir panjang." Aku cemberut. Sebenarnya buka mimik wajah seperti itu yang aku harapkan untuk dilihat dari wajah mereka.
"Lan, jika kau menyukai David seharusnya kau bilang padaku. Dan kau juga... seharusnya kau bisa bersikap bijaksana donk." Lagi-lagi hanya aku yang mengisi pembicaraan.
Kedua mata mereka terbuka lebar, "An, terimakasih." Ujar David.
Tanpa perlu penjelasan, aku tahu perasaan tak bisa dipaksakan. Tapi entah mengapa rasanya sakit juga mendengar David berterimakasih padaku. Yah, aku mengalah tanpa harus mencari perkara lebih. Sebab aku tidak ingin membuang tenaga untuk hal yang tidak bisa aku dapatkan kembali.
"Selamat untuk hari pernikahan kalian nantinya. Maaf aku tidak bisa datang..." Kataku.
"An, tapi..." Akhirnya Wulan mengeluarkan sepatah kata. Namun ia berhenti saat menatap kedua bola mataku.
"Kalian tidak sekejam itu, kan? Ku mohon jangan paksa aku untuk hadir. Dan rasanya aku tidak ingin bertemu dengan kalian lagi. Aku harap ini yang terakhir..." Tutur ku. Jujur.
Aku tahu dengan pasti, saat kau mengambil keputusan, kau juga harus terima dengan konsekuensi yang akan datang bersamaan dengan pilihan yang kau ambil. Dan Wulan harus bisa menerima bahwa hubungan kami tidak akan sebaik dulu.
Aku bukan seorang wanita yang berhati malaikat, aku juga punya hati yang bisa merasa sakit dan senang di saat yang berbeda. Seperti aliran air yang tenang, aku memilih untuk bersikap bijaksana.
Aku lalu berdiri meninggalkan mereka berdua setelah ku selesaikan apa yang ingin aku sampaikan. Rasanya benar-benar sangat ringan dan senyuman tak pudar dari bibirku. Aku tahu, aku akan bahagia dengan membiarkan mereka menjadi sepasang suami-istri tanpa aku harus mempermasalahkan perasaan ku lebih lanjut.
Seperti pelangi yang hanya timbul sebentar memperlihatkan keindahannya, aku tahu cinta akan pudar seiring waktu. Tapi kesetiaan seorang pria, lebih bernilai dari cintanya.
-The End-