Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Baby Sitter Satu Semester

DaoistrNCmOa
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.6k
Views
Synopsis
Haya merupakan mahasiswi yang sedang menjalani skripsi. Dia berusaha sekuat mungkin untuk lulus tepat waktu, akan tetapi sesuatu tak terduga tiba-tiba terjadi. Dosen pembimbingnya tiba-tiba mengundurkan diri dan digantikan oleh Mahen. Sebuah keanehan terjadi, di pertemuan pertama Haya dan Mahen. Acha anak Mahen menyebut Haya sebagai Bunda dan ternyata selidik punya selidik Haya mirip dengan almarhumah istri Mahen. Melihat itu, Mahen memberikan penawaran yaitu menawarkan Haya menjadi baby sitter bagi gadis itu jika Haya mau lulus selama satu semester. Dapatkah Haya menerima tawaran Mahen? Lalu, apakah yang terjadi selanjutnya? kuy, ikutin kisahnya.

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Mahendra Pratama

Kamu tahu arti mahasiswa abadi? Jika kamu tahu, baguslah karena aku tak perlu menjelaskannya. Yang pasti, aku adalah bagian dari calon mahasiswa abadi dan alhamdullilah hampir frustasi.

Aku menghembuskan napas panjang. Sudah hampir satu tahun aku berkutat dengan skripsi dan sudah dua kali ganti Dosen pembimbing, aku masih belum lulus juga.

Banyak yang bilang kalau aku ini kebanyakan makan micin, makanya di nilai KHS (Kartu Hasil Studi) kebanyakan nilai C dan E, paling banter B. Ada sih A, tapi itu karena dosenku kasian.

Mengherankan. Apa aku sebodoh itu? Ah, sial!

Begini nih, kalau aku kebanyakan jadi juru pejuang organisasi. Berlagak aktivis tapi nilai miris, semuanya ketinggalan karena aku sibuk bekerja di organisasi dan jadi freelancer.

Bahkan nahas, pagi tadi, aku menerima kabar buruk dari Bu Popi Pembimbing Akademik, katanya Pak Arya mendadak harus ke Jepang dan digantikan oleh dosen baru yang bernama Pak Mahendra Pratama.

Pak Mahen, berumur 31 tahun dan mengajar di kelas mahasiswa tingkat satu jadi sudah dipastikan kami tak pernah bertemu, wong aku ini sudah tingkat lima toh. Masih mending dianggap mahasiwa juga.

Anyway, untuk itulah aku ada di sini di depan rumah Pak Mahen. Demi mengejar kelulusan dalam tempo sesingkat-singkatnya sebab Pak Mahen bilang kalau dia hari ini tidak bisa ke kampus.

Tok. Tok. Tok. Aku mengetuk pintu bercat warna coklat kayu tersebut.

"Sepeda, eh, spada, Assalammu'alaikum ...," teriakku.

Hening. Tidak ada sahutan.

Sebenarnya aku ragu. Apa benar ini rumah Pak Mahen? Tapi, kalau dilihat dari hasil chatingan kami sih ... iya.

Aku mengetuk lagi. "Assalammu'alaikum ...!"

Cklek.

"Bunda!" Baru saja pintu terbuka gadis kecil yang membuka pintu, menatapku kaget.

Aku juga kaget. Siapa yang enggak kaget coba? Belum apa-apa sudah dibilang Bunda?

"Eh, Bunda? Bukan Sayang aku ke sini mau ket--"

Buk!

"Bunda! Bunda, datang!"

Dia tiba-tiba saja menghambur ke arahku lalu memeluk erat, perasaan aku baru tiba ke rumah ini.

Bagaimana bisa aku menjadi Bunda?

Mendapati perlakuan gadis kecil yang mendadak itu, aku terdiam bingung.

"Ma-maaf, Dek, maaf, Kakak bukan Bundamu. Kakak ke sini mau bimbingan" jelasku gagap.

"Bunda! Huaaaa! Jangan kabur lagi Bunda!" teriaknya seraya menangis. Sepertinya dia tidak mendengarku.

Aku yang kebingungan langsung berjongkok, menyamakan tinggiku dengan gadis itu. Meski tak mengerti kenapa dia menangis? Tak ayal aku merasa iba juga.

"Hai ... kenapa kamu menangis, Dek?" tanyaku ramah seraya melonggarkan pelukanku.

"A-aku takut Bunda hilang lagi," jawabnya sembari sesegrukan.

"Hilang?"

Dia menganggukkan kepala, sebelum memelukku lagi.

Aku memandang anak yang menggemaskan itu dengan perasaan campur aduk, antara iba dan menggemaskan.

Bagaimana tidak, gadis kecil di depanku ini cantik banget, matanya bulat dan pipinya gembul kemerahan, persis anak-anak di iklan yang sering kulihat di TV.

Mungkinkah, dia salah terka dan mengira aku ibunya? Lalu, siapa anak ini? Keponakan Pak Mahen, kah? Atau anaknya? Masa semuda itu Pak Mahen sudah punya anak? Tapi, kalau diingat-ingat wajahnya mirip Pak Mahen versi cantik.

"Acha!" Sebuah suara tiba-tiba muncul dari dalam rumah, dialah Pak Mahen. Si pemilik suara seksi.

"Papa! Ini ada Bunda!" Gadis kecil bernama Acha itu bersorak dan menuju ke arah Pak Mahen, sementara Pak Mahen menatapku terkejut begitu pun aku.

Oh, ternyata Pak Mahen ganteng juta tapi sayang udah nikah.

"Ka-kamu ...?" tanya Pak Mahen dengan wajah keheranan. Dia menautkan alisnya bingung, seakan tak bisa berkata-kata.

"Ah, iya, Pak, saya lupa mengenalkan diri. Selamat pagi Pak, saya Adilatul Haya panggil saja Haya, mahasiswa bimbingan Bapak," jelasku sembari langsung berdiri sopan. Sementara dia masih menatapku, seolah melihat hantu.

Apa mungkin ini kali pertama kami bertemu? Sampai dia sekaget itu? Aneh.

Beberapa menit kami terjebak situasi yang tak kumengerti. Sampai akhirnya Acha menarik baju Pak Mahen seperti minta digendong.

"Papa, Kakak itu benar Bunda,  kan?" tanya Acha terlihat sedih.

Gadis itu sekarang sudah digendong Pak Mahen, mata bulatnya memandangku dan papanya bergantian.

Pak Mahen menatapku sebentar, sepertinya dia sadar kalau aku masih bingung dengan kondisi yang tiba-tiba ini.

"Bu-bukan Cha, dia mahasiwa Papa, bukan Bunda, nanti Acha ke rumah Nenek dulu, ya? Mau, kan?" bujuk Pak Mahen.

Acha merengek, gadis kecil itu menarik-narik kaus Pak Mahen. "Gak mau! Acha mau sama Kakak yang mirip Bunda itu!"

"Dia bukan Bunda, Cha!"

"Enggak mau! Pokoknya Acha mau main sama Kak Bunda!" Lagi-lagi Acha merengek keras sampai nyaris menangis lagi.

Menyaksikan itu, aku hanya bisa berdiri bingung. Sumpah demi apa pun, aku tak mengerti apa yang sedang terjadi.

Pak Mahen terlihat tak enak denganku, dia lalu berjalan menghampiriku sampai jarak kami cukup dekat.

"Haya, apa kamu keberatan tunggu di sini? Saya harus mengantarkan Acha ke Neneknya, gak apa-apa, kan? Sebentar kok, rumahnya di sebelah," tanyanya ragu.

Aku menggelengkan kepala. "Enggak apa Pak, saya tunggu di sini, dadah Acha!" jawabku sambil melambai ke arah Acha yang masih menangis dalam gendongan Pak Mahen.

"Acha gak mau ke Nenek, Papa! Gak mau!" rengek Acha lagi seraya berontak. Tangannya hampir saja mengulur kepadaku tapi Pak Mahen menariknya lebih dulu.

"Acha! Tolong dengar Papa, ayo, kita ke Nenek, ya? Sudah, sudah kamu main di sana ya, dadah Kakak! Ayo!"

Tanpa basa-basi, Pak Mahen langsung mengajak Acha pergi meninggalkanku di rumahnya yang kosong tak berpenghuni.

Baiklah, apa perlu aku merasa di rumah sendiri? Kan, katanya aku mirip Bundanya. Tapi, masa, sih?

Bercanda.

(***)

"Gila! Sumpah! Ini sih mirip banget!" seruku kaget. Setelah menerima foto berukuran 6R dari Pak Mahen, sekarang kami sedang duduk saling berhadapan di ruang tamu.

Di foto itu terdapat gambar Pak Mahen, Acha dan seorang wanita yang mirip sekali denganku.

Matanya, hidungnya, sampai rambutnya semua mirip. Tapi yang membedakan hanya satu yaitu dagunya. Istri Pak Mahen berdagu belah dua, sementara aku agak lancip.

Kok bisa? Apa mungkin ibu panti dan Bu Farah menyembunyikan sesuatu? Karena dari dulu, aku memang besar di panti asuhan sampai akhirnya Bu Farah mengadopsiku. Sayangnya, setelah Bu Farah meninggal aku kembali hidup sebatang kara termasuk aku harus membayar uang kuliahku sendiri.

"Benar, kan? Saya gak modus bilang kamu mirip istri saya?" tanya Pak Mahen. Lelaki itu menyandarkan bahunya ke arah belakang, untuk menunjukkan kesan lebih rileks.

Aku terpaksa menganggukkan kepala. "Lalu, kenapa Acha bilang ibunya 'hilang', Pak?"

"Mungkin karena dia merasa kehilangan Ya, namanya juga anak kecil," jawab Pak Mahen dengan nada berat.

Aku menelan ludah kaget. "Me-meninggal?"

"Iya, dua tahun lalu, saat Acha berumur tiga tahun. Mungkin Acha belum menerimanya, bahkan saya pun sampai sekarang masih belum bisa melupakannya," papar Pak Mahen.

Wajah tegasnya berubah mendung. Melihatnya siang ini, meruntuhkan rumor yang kudengar selama ini. Ternyata Pak Mahen tidak sejutek yang kukira.

"Astaghfirullah! Maaf ya Pak, saya tidak termasuk membuka kembali kenangan lama. Tapi, saya hanya penasaran."

"Tidak apa, lagi pula, lebih baik saya memberitahu kamu, karena saya mau memberikan penawaran," ujarnya tiba-tiba. Wajah Pak Mahen berubah serius, dia mencondongkan tubuhnya ke arahku.

"Pe-penawaran apa, Pak?" tanyaku gugup.

"Begini Haya, saya tahu kamu sedang butuh usaha untuk cepat lulus karena kamu mebiayai kuliahmu sendiri dan saya juga tahu kamu enggak terlalu bagus dalam akademik, tapi saya salut sama kamu," jelasnya tenang.

Tanpa dia tahu di dalam hatiku sudah mengumpat, aku kesal karena perkataannya antara menghina atau memuji enggak jelas.

"Jadi, maksud Bapak?" tanyaku curiga. Aku menaik-turunkan alis, mencoba mencerna.

"Saya akan membantumu lulus dengan secepatnya, tapi dengan satu syarat. Tergantung kamu menerima atau tidak," ujarnya seraya menyeringai. Namun, entah kenapa mendengar tawarannya aku mendadak bahagia.

"Syarat apa itu, Pak? Saya akan melakukannya apa pun yang penting saya bisa lulus tahun ini."

"Yakin? Kamu tidak akan menuduh saya memanfaatkan keadaan?" kata Pak Mahen, menatap lurus ke arahku.

Aku menggelengkan kepala. "Tentu saja tidak, Pak, apa itu?"

"Jadilah, baby sitter bagi Acha selama satu semester ini, sampai kamu wisuda dan Acha bisa melupakan Bundanya, kamu sanggup?"

Deg. Aku membeku. Penawaran itu benar-benar di luar dugaanku.

Aku tidak tahu, apakah ini harus aku terima atau tidak. Lama aku terdiam, menimbang-nimbang semua resiko.

"Tapi, hanya jadi baby sitter saja kan, Pak?"

"Iya, hanya menjaga Acha kalau saya kerja dan bantu saya membuat Acha lupa pada Bundanya, itu saja. Tenang, saya akan membayar kamu ...."

"Membayar?"

"Iya, selain saya akan bantu kamu lulus di matkul yang nilainya E, saya juga akan bayar kamu tiga kali lipat dari gaji pegawai mini market. Setuju?"

Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung menyanggupi. Bagiku, sekarang yang penting lulus, bekerja dan berusaha. Aku yakin Pak Mahen orang baik dan komitmen.

"Baik, saya setuju. Kapan saya harus mulai?"

"Malam ini. Jadilah baby sitter satu semester bagi Acha, maka saya bantu kamu wisuda," ujarnya lirih tapi mampu membuat punggungku sontak menegak.

Sial. Ternyata orang ini berbahaya.