Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

The Ordo of Faith

🇮🇩Azay_Official
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4.4k
Views
Synopsis
Ketika kegelapan menjadi cahaya. Ketika benar dipertanyakan. Ketika salah menjadi bahan pertimbangan. Ketika fakta mulai diabaikan. Ketika fiksi mendapat keyakinan. Unsur kehidupan & pola dasar hukum rimba menjadi satu ketika konsep abu-abu mulai memudar.
VIEW MORE

Chapter 1 - Act 01: Sesuatu yang lebih gelap dari malam

Aku masih ingat ketika ayah dan ibu akan pergi berlibur ke pulau pribadi. Pada saat, tragedi enam belas tahun yang lalu.

***

JFK International Airport.

8.43 pm

Bandara masih terlihat sangat ramai. Banyak orang-orang berlalu-lalang menyiapkan beberapa perlengkapan seperti pasport, visa dan yang lainnya sebelum mendengar panggilan siap untuk penerbangan.

Dari luar, sebuah mobil Rolls-Royce Phantom hitam berhenti di depan pintu masuk bandara. Seorang pelayan dengan setelan jas rapi dan sarung tangan putih keluar dari kursi kemudi, pria itu berjalan memutar membuka pintu penumpang. Seorang wanita dewasa keluar sambil menggendong anak laki-laki diikuti pria berwibawa dengan aura yang kuat menyusul mereka.

"Jadwal kali ini sekalian berlibur di pulau pribadi kita. Itu yang tercacat di sini. Jadi, akan memakan waktu yang lama jika kau tidak ikut, Andy," ucap wanita itu dengan setelan long dress hitam. Wajahnya masih terlihat muda dengan rambut gelapnya yang terurai lurus, walaupun keriput di bawah matanya sangat jelas terekspos.

"Sandra, aku dan Frank akan menyiapkan semua keperluan kita. Kau tunggu saja dengan Andy, aku tidak akan lama," ucap pria bersetelan jas lengkap warna hitam dengan dasi kupu-kupu yang menawan sambil mencium pipi istrinya.

"Aku akan tunggu di sana, Henry," ujar Sandra menunjuk kursi tunggu di sudut lobi.

"Andy, jangan jauh-jauh dari ibu." Henry mengecup kening putranya sebelum ia pergi menuju adminstrasi bersama pelayan setianya.

Sandra menurunkan Andy dari gendongannya, ia menuntun anaknya menuju kursi yang mereka tuju. Ia menyadari kebisuan sang putra. "Sayang, ada apa? Katakan sesuatu."

Andy menyilangkan tangannya ke belakang tubuhnya, sikapnya malu-malu. "Sebenarnya, aku ada sesuatu yang ingin kukatakan."

"Apa itu, Sayang?" Sandra berlutut sambil memegang bahu putranya.

"Tapi, aku takut akan menghancurkan perjalanan kalian." Andy tidak berani menatap wajah lembut ibunya.

"Katakanlah, Sayang, apa yang ingin kau katakan?" Sandra mengelus pipi Andy sambil mengangkat wajahnya.

Andy melihat ke dalam bola mata ibunya, di sana ia menemukan kehangatan yang selama ini ia rasakan. "Aku ingin di hari ultahku besok, ibu dan ayah mengosongkan jadwal untuk hari ini. Setidaknya untuk menemaniku tidur sebelum kalian pergi."

"Besok? Maaf, Sayang. Ibu—apa?! Besok adalah ultahmu?!" Andy hanya menggangguk. Ia sebenarnya tidak berani mengatakan ini.

"Oh, kemarilah!" Sandra memeluk putranya sangat erat. Hatinya terenyuh mendengar keinginan anak satu-satunya yang hanya menginginkan mereka agar tetap menemaninya selama ultahnya. Ia juga terkejut, karena lupa bahwa besok adalah hari di mana putranya lahir ke dunia.

"Kenapa kau baru bilang sekarang, Andy? Kami bisa saja membatalkan jadwal hari ini untukmu, Sayang." Sandra mencium hidungnya.

Andy tersenyum, memperlihatkan gigi putihnya yang rapi. "Aku tidak berani. Ibu dan ayah sangat sibuk. Jadi, aku hanya bisa menuruti perkataan kalian. Aku tahu kalian melakukan semuanya untukku, karena itu aku diam. Tapi, aku merasa semakin kesepian jika ibu dan ayah tidak ada di rumah. Maka dari itu, aku memberitahu kalian sekarang agar cepat-cepat pulang ke rumah."

Sandra menarik sudut bibirnya, senyumnya sangat menenangkan hati. "Kau tahu, memilikimu adalah sebuah keajaiban. Ibu teringat bagaimana susahnya hanya untuk mendapatkanmu dalam kehidupan kami. Namun, ketika aku melahirkanmu, ayahmu dan aku menjadi orang tua yang paling bahagia di dunia. Kau adalah bentuk anugerah itu sendiri, Andy. Maaf, ayah dan ibu selama ini kurang memperhatikanmu. Tapi, ibu janji, selepas dari ini semua, kau akan mendapatkan semua yang kau inginkan selama hidupmu. Jadi, jangan hanya diam saja, Anakku."

"Terima kasih, Ibu." Andy menghambur ke pelukan Sandra.

"Tapi, kau yakin tidak mau ikut dengan kami, Andy?" Sandra melepas pelukan mereka.

"Aku akan baik-baik saja. Aku sudah besar, Bu." Ekspresinya yang polos sangat menggemaskan saat Andy menatap lurus ke wajah ibunya.

Sandra mengusap kepala anaknya. "Ya, benar. Kau sudah besar. Besok kau sudah berusia sepuluh tahun. Tidak terasa waktu-waktu telah berlalu. Ibu merasa masih meminangmu dalam dekapanku."

"Cepatlah pulang, Bu." Andy sekali lagi memeluk leher ibunya. Sandra berulang kali menciumi pipi tembam anaknya. Pemandangan itu tertangkap netra Henry, hatinya menghangat melihat keluarga kecilnya sangat harmonis.

"Hei, Jagoan." Henry menggendong anaknya.

"Ayah." Andy melingkarkan tangannya ke leher Henry.

"Apa yang kalian bicarakan?" Henry menatap wajah istrinya.

"Kau akan tahu di dalam pesawat nanti, Sayang."

"Oh, baiklah. Kita berangkat sekarang. Kita memakai pesawat komersial. Tapi, aku memesan ruang VVIP kelas satu agar tidak banyak orang yang berlalu-lalang."

"Bagus, aku memang membutuhkan ketenangan." Sandra meraih tangan suaminya. Mereka berempat—ditambah Frank yang membawa koper—milik Henry yang berisi dokumen penting, menuju pesawat yang siap landas.

"Oh, Frank, kau sudah mempersiapkan semua kebutuhan Andy?" Mereka terhenti di depan anak tangga pesawat. Semua koper—kecuali yang dibawa Frank, dan perlengkapan lain sudah dibawa oleh pelayan maskapai ke dek VVIP Expert.

"Sudah, Nyonya Irving."

"Kau juga—"

"Sandra, Frank sudah tahu semua kebutuhan Andy. Jadi, berhentilah khawatir."

"Aku sudah mempersiapkan segala kebutuhan Tuan Andrew, Nyonya Irving. Dan akan kupastikan Tuan Andrew akan baik-baik saja dalam pantauanku, Nyonya."

Ibu satu anak itu menghela napas. Semenjak percakapan di lobi tadi, ia jadi sensitif dengan segala hal yang berkaitan langsung dengan putranya. Terlebih ia akan memberitahu suaminya perihal ulang tahun anak mereka nanti, sebagai kejutan.

"Aku akan baik-baik saja, Ibu." Andy tersenyum, menatap wanita yang telah melahirkannya.

"Baiklah, dengar, aku tidak ingin Andy diperlakukan seperti seorang pangeran. Aku ingin kau didik dia dengan tegas. Jangan segan-segan menegurnya jika dia berbuat salah. Dan pastikan semuanya tepat pada waktunya. Makan, tidur dan belajarnya." Sandra sangat tegas dalam hal ini.

"Baik, Nyonya."

Henry menyerahkan anaknya ke gendongan Frank. Ia kemudian mengambil koper yang dipegang pelayannya itu.

"Jaga dirimu baik-baik, Anakku. Dengarkan kata Franklin, dia juga orang tua yang baik." Henry mengecup kening putranya sekali lagi.

"Aku akan merindukanmu, Sayang. Jadilah anak yang baik."

"I love you, Mommy."

"I love you to, Andy."

Sandra mengecup lagi hidung anaknya sebelum ia dan suaminya memasuki badan pesawat dan bertatapan untuk yang terakhir kalinya.

"Ayo, Tuan Andrew. Aku sudah membuatkan sup kesukaanmu untuk makan malam dan dessert yang selalu kau pinta." Frank menjauh dari badan pesawat itu dengan anak majikannya yang masih dalam gendongannya.

"Aku mengantuk, Frank. Bisa kau simpan saja itu untuk besok pagi? Aku sedang tidak berselera." Andy mulai memejamkan matanya.

"Sesuai keinginanmu, Tuan."

Frank hampir tiba di lobi sebelum tragedi dimulai.

Duar!

Pesawat yang ditumpangi mereka dan penumpang lainnya meledak. Frank terpental akibat gelombang ledakan tersebut. Andy bahkan terlempar dari dekapannya. Ia tersungkur di antara pecahan kaca. Teriak histeris langsung menggema di malam penuh teror itu. Orang-orang berlarian keluar dari bandara, merasa nyawa mereka terancam.

Suara bising akibat dampak ledakan itu membuat kepalanya pusing, Andy menutup telinganya dengan sebelah tangan, lengan kanannya patah. Andy mencoba bangun dari tempatnya, darah mengalir dari dahi dan membasahi pipi sebelah kanannya. Setelan jas yang sebelumnya rapi, berubah tidak karuan bentuknya. Andy baru bisa membuka mata setelah kesadarannya kembali dan keadaan sudah sangat kacau. Ia melihat pesawat yang ayah dan ibunya tumpangi adalah sumber ledakan. Napasnya tersengal, ia melangkah menuju kebakaran itu, matanya mulai berkaca-kaca. Jalannya pincang, kaki kanannya juga terkilir.

"Tidak! Jangan! Jangan seperti ini! Kumohon, jangan seperti ini! Ibu! Ayah!" Andy mencoba menjangkau area itu sebelum Frank datang dan membawanya menjauh. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan Andy.

Petugas medis langsung berdatangan, mereka dengan sigap menyalamatkan orang-orang yang terkena dampak ledakan tersebut. Andy mengulurkan tangannya ke arah ledakan itu, air matanya mulai mengalir di pipinya yang basah karena darah.

"Kumohon! Jangan seperti ini! Ibu! Kau sudah janji! Kumohon! Kumohon!" Andy membenamkan wajahnya dalam dekapan Franklin. Tangisnya begitu pilu, Frank sampai tidak bisa menahan sedikit tetesan air matanya karena mendengar isakan Andy yang sangat menyayat hati.

***

"Selama tujuh tahun, hanya kehampaan yang kurasa. Rumah menjadi hening, tidak ada energi kehidupan. Setiap pagi, aku selalu datang ke kamar mereka. Berharap ayah dan ibu masih terlelap di sana. Tapi, yang kutemukan adalah kenyataan pahit bahwa mereka telah tiada."

Andrew kini sudah besar, ia meneguk minuman hangatnya. Pandangannya kosong. Meskipun, di depannya membentang hamparan es dan Aurora Borealis yang indah. Ia berada di halaman belakang sebuah pondok yang terletak di kaki pegunungan Himalaya. Kondisi tubuhnya tidak terawat, rambut gondrong, kumis tebal dan brewok yang tumbuh lebat di wajahnya.

"Berhari-hari aku mencoba menekan depresiku. Dengan cara apapun sudah kulakukan. Namun, semakin aku berusaha, semakin aku menyadari bahwa itu sangat menyiksa."

"Kemari." Seseorang bersetelan ninja dengan tudung yang menutupi kepalanya membawa Andy ke dalam ruangan. Pria itu memberikan mantelnya. Keadaan malam sangat dingin.

Pria itu menuntun Andy ke dalam ruangan pondok yang lebih hangat. Interior sederhana khas perguruan beladiri menyambut mereka. Lorong gelap bercahayakan lilin yang menjadi satu-satunya penerang di sana. Banyak orang-orang yang bersetelan sama dengan pria itu tengah melakukan latihan keras.

"Kau sudah menerima kenyataan itu, Tn. Irving?"

"Belum. Selama dua tahun, aku abdikan hidupku untuk mencari petunjuk bahwa tragedi itu bukan kesalahan teknis. Aku mencari bukti yang menguatkan dugaanku di pengadilan agar dalang di balik kejadian itu ditangkap dan diadili. Namun, semuanya bagai ditelan bumi. Tidak ada apa-apa selain pemberitaan tentang kecelakaan itu yang telah diketahui publik bahwa itu adalah aksi teroris."

"Dan kau menyalahkan dirimu atas kematian mereka?"

Andy berhenti melangkah, ia tidak menjawab. Pria ninja itu mengarahkan atensinya ke pemuda di sebelahnya dalam diam.

"Aku tidak memiliki keberanian," ucap Andy serasa berbisik.

"Keberanian apa?"

"Mengatakan kalau aku ingin mereka tetap tinggal untuk sementara waktu."

"Lalu, apa yang kau dapati setelah itu?"

Andrew membisu. Ia kembali tenggelam pada trauma masa kecilnya yang begitu kelam.

Pria ninja itu mengambil gelas yang digenggam Andy, meletakkannya di meja kecil di lorong itu. "Kau begitu rapuh saat kau harus menerima kenyataan itu dengan terpaksa."

Andy mengangkat wajahnya, sebuah sungai kecil mengalir dari mata kanannya, tatapannya kosong. Tidak ada lagi isakan, tidak ada lagi rintihan, tidak ada lagi suara tangis dalam kepedihan hidupnya.

"Kau sudah mengenal apa itu rasa sakit. Penderitaan telah menelanmu begitu dalam. Kau sudah menjelajahi dunia untuk mengungkapkan tabir dalam kabut kebohongan abadi. Namun, yang kau temukan justru membuatmu lebih banyak menelan keputusasaan dibandingkan dengan jawab yang kau cari."

Pria ninja itu menarik tudung dari mantel yang dikenakan Andy dan memakaikannya. "Kau sudah siap untuk melihat kebenaran dan itu adalah hal utama yang harus diperhatikan dalam memilih keputusan yang telah disatukan dengan ideologi dan dasar hukum semesta."

"Akan kubimbing kau mengontrol semua itu. Akan kuajari cara memanipulasi kesalahan menjadi kebenaran. Inilah ideologi kita, Andrew, ideologi The Ordo of Faith."

***