…
Satu menit telah berlalu...
Arifa mengulurkan tangannya ke atas seraya mengucapkan mantra. Seketika ribuan atma putih dan hitam beterbangan ke telapak tangan gadis berambut merah tua itu.
Dua detik.
Arifa menghempaskan semua atma yang berkumpul ke atas sehingga terbentuklah lingkaran sihir raksasa. Mantira tidak dapat berkata apapun setelah melihat keajaiban hebat di depannya, ia hanya bisa menatap dengan kagum akan kemampuan tuannya.
Kemudian ruang dan waktu seketika tampak mempercepat hingga hanya tampak bias-bias cahaya yang melewati mereka dari atas ke bawah dengan luar biasa cepat.
"Bersiaplah, kita akan menembus dinding sihirku." perintah Arifa dengan tenangnya.
"S-Siap, Yang Mulia." Mantira langsung mengambil posisi bersiap sambil menatap langit. Rambut dan antenanya tertiup kencang oleh tekanan dari atas. Mereka sedang naik dengan kecepatan super. Walau begitu, Arifa tetap tampak berdiri tak bergeming.
"Terbukalah, gerbang antar dua dunia! Tuanmu telah kembali dari dasar kegelapan!" sahut Arifa kuat seraya mengulurkan tangannya ke atas. Seketika terbuka gerbang berbentuk oval yang memancarkan sinar yang luar biasa terang.
Itulah cahaya sang mentari.
. . . . . . . . . . . .
Hutan Agung Mawara, Dunia Permukaan. Di antara hutan yang dihiasi oleh bunga merah tua, terdapat lapangan rumput yang luas. Tepat di atas situ, muncullah lingkaran sihir sang putri dengan megah dan bersinar. Makhluk hidup yang berada di udara pasti akan mampu melihat pancaran cahaya tersebut saking terangnya.
Setelah cahaya meredup, timbullah merkuri sihir yang membentuk lingkaran dan mewujudkan permukaan bunga lonceng merah tua yang merupakan simbol khas sang putri. Di atasnya, muncul sang Putri Merah Tua dan pengawalnya.
Mereka telah tiba di dunia permukaan.
Sinar matahari menyirami mereka berdua. "Ho... inikah dunia permukaan...? Tidak ada dinding kristal di langit-langit sana. Tampak sangat... biru dan indah di atas sana, bukankah begitu, Mantira?" ucap sang putri sambil meneduhkan matanya dari sinar matahari. Ia pun tak luput dari sensitivitas tinggi terhadap matahari.
"Benar sekali, Tuan Putri." sahut Mantira, ia memerhatikan salah satu awan yang berbentuk seperti kapas raksasa.
Langit yang cerah dihiasi oleh beberapa gumpalan awan kecil membuat Arifa terkesima. Tidak pernah ia rasakan sensasi hangat oleh matahari dan terangnya dunia permukaan.
Arifa terbenam dalam pikirannya, "Azofir pernah bercerita kepadaku. Dunia permukaan, Terra, adalah tempat yang sangat terang. Namun hal tersebut dikarenakan sensitivitas kami para penduduk Irkalla terhadap sinar matahari. Fyuuh, untungnya aku bukan dari ras vampir, yang akan binasa jika sinar matahari menerpa."
…
"Tuan putri… jika berkenan, saya ingin bertanya. Di manakah kita akan menemui minotaur yang sudah mati itu?" tanyanya dengan hati-hati. Mantira tahu betul Arifa pasti akan menemukannya, namun ia sendiri tak tahu apakah ia mampu mencari 'bangkai' monster yang telah ditinggal jiwanya setelah beberapa hari lamanya. Kemungkinan sudah membusuk, pikirnya.
"Oh, itu? mudah saja, kok," Arifa mengulurkan tangannya ke pengawalnya itu. "Eh…?" sahut Mantira kebingungan, "T-Tuan putri, a-apa yang…"
"Pegang tanganku sejenak," perintah Arifa sambil tersenyum percaya diri. Mantira agak enggan melakukan hal tersebut, ia hanya sebatas pengawal, pikirnya. Namun karena perintah, ia pun melakukannya, walau agak gemetaran.
"Oke, sekarang…"
--Satellite Senses!
Cahaya redup menyala dari tangan sang putri dan kemudian mengalir ke pengawalnya. Arifa telah mengucapkan mantra penguat indra perasa. Mantra tersebut dapat meningkatkan kemampuan deteksi monster yang memiliki antena seperti Mantira sebesar sepuluh kali lipat.
"Bagaimana? Apa yang kau rasakan?" tanyanya pelan.
"W-Wah…!!! A-Aku… aku bisa merasakan kehadiran berbagai makhluk hidup… wah banyak sekali… aku… aku tidak pernah bisa melakukan deteksi sejauh ini!" ucap sang pengawal dengan mata terkagum-kagum.
"Sekarang aku yakin kau dapat melihat di mana jasad minotaur itu berada, bukan?"
"T-Tapi…"
"Aku yakin kau ingin menyebutkan bahwa makhluk yang sudah mati tidak dapat terdeteksi. Tetapi bagiku dan sihirku, itu tidaklah mustahil," ujar sang putri dengan gagah.
"B-Baiklah… aku akan mencobanya," Mantira segera menutup matanya dan memfokuskan diri. Dalam pikirannya, ia dapat melihat secara buram lokasi-lokasi disekitarnya. Namun setelah mencari selama satu menit, ia akhirnya menemukan sesuatu.
"T-Tuan putri…! Aku, aku, aku… menemukannya!" Mantira lalu membuka matanya. Betapa terkejutnya ia melihat ekspresi Arifa yang datar. Ia merasakan amarah yang amat besar bercucuran dari dalam tubuh sang putri. Karena ia kebingungan, ia lanjut menutup matanya dan melihat kembali jasad tersebut…
Seiring memerhatikan sekitar tempat tersebut, Mantira menyadari keberadaan sekelompok makhluk hidup, "Manusia…? Hah?! Itu… t-tidak mungkin!" pekiknya pelan. Setelah memfokuskan kembali, ia tidak hanya berhasil melihat jasad minotaur yang dicari, namun ia juga melihat sekumpulan manusia dan kamp mereka.
"Jadi mereka itu manusia yang lemah, ya…?" kata Arifa. Matanya tampak begitu tajam melihat sekumpulan manusia tersebut yang berjarak 500 meter dari tempat ia berada. Arifa mengedipkan matanya sekali, ia merasa begitu geram terhadap perilaku manusia-manusia itu. Ia tak berkata apa-apa dalam suara, namun hati dan pikiran beliau mengatakan:
"Beraninya mereka membantai penduduk Irkalla. Beraninya mereka…"
Mereka berdua berhenti melihat mereka. "Tak termaafkan!" pekik Mantira kesal, "Perbuatan yang parah!"
"Yah… Ini sih namanya udah bukan sekedar parah lagi. Mereka melakukan genosida," Arifa menyimpulkan bahwa sejak awal ia datang ia sudah merasakan keganjilan. Tidak ada satupun atma minotaurus yang muncul dalam jangkauannya, hanya kumpulan atma milik makhluk lain yang bukan monster.
"Mantira, aku ingin memastikannya lagi. Benarkah mereka itu manusia?" tanya sang putri.
"Be-benar, Tuan Putri," jawabnya singkat. "Tetapi—
"—Jika benar begitu, maka…" Arifa mengepalkan tangannya dengan rasa kesal. Bagaimana tidak, di pandangannya terdapat puluhan tubuh minotaurus yang telah dibunuh oleh manusia-manusia tersebut. Tujuan awal Arifa adalah mengembalikan SATU jasad minotaurus dan ia hendak mengembalikan energi kehidupan untuknya. Tidak disangka bahwa manusia telah memburu mereka semua, hal ini tentu menyakitkan hati sang penguasa dunia bawah yang menyayangi setiap makhluk yang ada di dunia bawah.
"Berikan perintah Anda, Tuan Putri," Mantira langsung menunduk dihadapannya.
"Ambil semua jasad minotaurus itu, tak satupun boleh kau tinggalkan. Letakkan mereka di lingkaran sihir menuju dunia bawah. Hancurkan mereka yang mencegahmu melakukan perintahku. Kau sanggup?"
"Siap, Tuan Putri. Hal tersebut masih kecil bagi diriku. Tetapi… Izinkan saya bertanya, apa yang akan Anda lakukan kepada mereka?"
Arifa menyeringai dengan ekspresi menyeramkan, "Tentu saja. Hancurkan hingga tak bersisa,"
…
…
Para manusia yang berpakaian zirah besi lengkap dengan perisai dan pedang telah bertempur dengan ras minotaurus di wilayah ini. Mereka bertempur melawan 66 ekor minotaurus sedangkan mereka berjumlah 34 orang. Sehingga, 15 orang terluka parah dan harus kembali ke kota untuk dirawat ke rumah sakit. Walau begitu, mereka berhasil menumpas seluruh minotaurus yang ada di wilayah ini.
"Woooi… dah kelar belum di situ?" tanya salah satu tentara manusia.
"Udah, neh. Tinggal angkut ke kereta kuda dan pergi dari sini," ucap salah satu kawannya.
"Yang terluka akan duluan dibawa kembali ke kota, sisanya yang masih sehat-sehat tetap disini," ucap seorang tentara dengan lencana cangkok tiganya.
"Siap, pak!" ucap seorang tentara dengan zirah besi dan jubah merah kepada kaptennya. Ialah Henry Agincourt, seorang tentara dengan pangkat sersan.
"Anda tidak, Tuan Henry," ujar sang kapten. "Kau akan pergi bersama mereka," lanjutnya.
"Tidak disini pak?" tanya Henry. "Tidak. Kau tahu jika tidak ada yang melindungi mereka di jalan kemungkinan ada yang menyerang mereka bukan?"
"Siap, benar, pak!" ujarnya. "Maka dari itu, pergilah bersama mereka," lanjut sang kapten.
"Baiklah kalau begitu. Saya permisi dulu," Henry berpamitan dan bergabung dengan tim evakuasi.
"Wah, senangnya Anda ikut bersama kami," sebut si kusir. "Dengan Anda bersama kami, kami yakin perjalanan ini akan menjadi aman," lanjutnya.
"Senang mendengarnya, tuan. Saya bersumpah akan melakukan yang terbaik untuk melindungi kalian semua," Henry menjanjikan dengan gagah. Si kusir tersenyum lega mendengar hal tersebut. "Baiklah, kita akan berangkat. Hiya!" Si kusir segera menggerakkan kuda-kudanya menarik kereta menuju kota mereka, Elmora.
"Benar-benar pertempuran hebat ya, Tuan Henry."
"Iya, benar sekali. Kami hampir kewalahan melawan monster-monster jahat itu."
"Apakah mereka sangat kuat?"
"Dibilang kuat tidak juga. Mereka benar-benar mengejutkan kami karena mereka mampu mengorganisir serangan dengan sangat baik," Henry menjelaskan.
"Oh… tapi itu bukannya aneh ya? Makhluk jahanam seperti mereka dapat melakukan hal tersebut…"
"Itulah dia. Saya saja sampai terpaksa menggunakan Pedang Hailfrost untuk menghentikan pergerakan mereka," keluh Henry sambil menunjukkan pedang esnya. "Monster seperti mereka itu harusnya tidak punya akal pikiran, mereka bertindak berdasarkan insting dan tidak mampu bekerja sama. Tetapi anehnya, mereka mampu melakukan hal tersebut,"
"Benar-benar mengerikan ya, Tuan Henry?" tanya si kusir. Henry hanya mengangguk pelan. Mereka pun keluar dari wilayah hutan agung Mawara dan masuk ke jalan utama ke kota.
…
…
"Hihihihi, kita akan menjadi kaya. Lihatlah tumpukan minotaurus bodoh itu, jika kita mengambil tanduk-tanduknya lalu kita jual, kita akan menjadi kaya!" ucap salah seorang tentara.
"Weh, tidakkah hasil penjualan akan masuk kas kota?" tanya kawannya.
"Owalah, iya juga ya… kampret lah," tentara tadi cemberut kecewa.
Tiba-tiba, ia mendengar gemerisik dari semak belukar tak jauh dari tempat ia berdiri. Lantas, ia menengoknya. Setelah sejenak, tak ada apa-apa. "Hmf… mungkin halusinasiku saja…"
Ia tak memalingkan matanya dari semak belukar tersebut. Entah mengapa pandangannya terpaku pada tumpukan dedaunan itu. Tak lama kemudian, ia menyadari adanya pergerakan mendadak. Ia langsung refleks memegang belatinya.
"Umpf!! Situ! Siapa itu?!" teriaknya. "KAPTEN! Ada penyusup datang!"
"Hah?!" sang kapten refleks keluar tenda untuk melihat situasi. Ia melihat ada seorang gadis berkimono dan mempunyai antena di kepalanya membawa satu per satu jasad minotaurus yang telah dibunuh secepat kilat.
"Hei, berhenti kau!" ia berteriak kencang. Namun gadis tersebut tidak menghiraukannya dan melompat pergi lebih cepat dari kedipan mata.
"Apa-apaan dia itu… cepat sekali!" kata salah seorang tentara. "Semuanya, jangan biarkan ia membawa pergi barang-barang yang akan kita jual! Tangkap dia!" sang kapten memerintahkan seluruh jajarannya.
"Siap, pak!" semuanya langsung menarik pedang mereka dan mengejar gadis berkimono tersebut.
"Hadeh, baru juga kelar ngurusin monster-monster rese, sekarang apalagi? Hadeh, nasib… nasib," keluh sang kapten cemberut.
"Kapten, gadis itu… kembali lagi! Anjir, hilang lagi! Cepat sekali dia!" pasukan pengejar berusaha mengikuti gerakan gadis tersebut.
Berulang kali gadis tersebut datang lalu pergi dalam waktu singkat. Tanpa mereka sadari, semua jasad minotaur yang mereka bunuh telah raib dibawa gadis itu.
"G-Gawat… makhluk macam apa dia…?" gumam sang kapten. Beberapa saat kemudian, gadis kencang itu berhenti sejenak karena ada potongan tubuh yang terjatuh dari pikulannya.
"Hah?!" sang kapten tersentak kaget melihat antena perak yang menjulang dari si gadis itu. "Heheheh… candaan macam apalagi ini… siluman serangga bukanlah hal baru, tetapi siluman dengan pakaian maid? Itu sudah di luar nalarku." Sang kapten mengamati gerak-gerik siluman itu. Ia nyaris tak bisa mengikuti pergerakannya. "Kecepatannya tak mungkin dapat diraih anak buahku apalagi melampauinya. Baiklah kalau sudah begini…!"
--Supreme Agility!
Sang kapten mengaktifkan kemampuannya. Ia mengeluarkan pedang panjang dari sarungnya dan meluncur mengejar gadis tersebut dengan kecepatan yang hampir sama dengannya. Dalam pengejarannya, ia berusaha menebas si gadis itu namun meleset terus-terusan. "Cih, makhluk apa kau sebenarnya?" tanyanya dalam hati.
Gadis tersebut berhenti di kamp tadi bersamaan dengan sang kapten di depannya. "Akhirnya kau berhenti juga ya, gadis kecil? Beraninya kau mencuri barang-barang kami, sekarang kau akan menerima akibatnya!" sang kapten berkuda-kuda lalu menghujamkan pedangnya ke gadis tersebut dalam kecepatan tinggi.
*PTANG!
"Uwah?!" sang kapten terkejut bahwa pedangnya ditangkis dengan pedang katana yang tiba-tiba ada di tangan gadis itu. "Sejak kapan…?!"
Dengan muka datar dan tatapan membunuh, gadis tersebut membalas serangannya dengan satu tebasan mengalahkan kecepatan kilat yang mengenai bagian perut hingga dada sang kapten. Darah pun bertumpahan dari sang kapten.
"UHAKKK!!!" ia pun tumbang seketika.
Pertempuran itu pun usai seketika.
"Siapa k-kau… siapakah kau sebenarnya…?" sang kapten bertanya dengan kondisinya yang kritis.
"Bukan siapa-siapa. Aku hanyalah pelayan dari makhluk agung." Jawabnya singkat.
"Kau akan… menerima balasan dari kami, eheheh… tunggu saja. Kau mencuri barang-barang dari kami, kau akan menerima akibatnya suatu saat nanti!"
"Oh, begitu." Jawabnya datar. Gadis itu langsung melompat dengan kecepatan tinggi meninggalkan kapten tersebut. Seketika, pasukan pengejar tadi kembali dari pengejaran dan kaget ketika melihat kapten mereka yang bersimbah darah.
"KAPTEN!!!"
"Kalian kembalilah, uhuk! Kembali… ke kota… panggil sang kesatria… untuk mengalahkan siluman itu…" sang kapten berusaha berbicara walau dengan nada lirih.
"K-Kapten…"
"Siluman serangga itu… telah mengambil barang-barang kita… jangan biarkan itu terjadi!"
Dan tiba-tiba ada suara seorang gadis membalas perkataan sang kapten.
"…dan tentunya aku tak akan biarkan kalian menghentikan gadis siluman itu."
Semua tentara di tempat tersebut kaget bukan kepalang, karena entah dari mana, tiba-tiba muncul seorang gadis berkulit putih pucat berambut merah tua dengan mata merah rubi menyeramkan. Gadis itu mengambang di udara.
"….Beraninya kau sebut minotaurus-ku sebagai barang jualan. Sangat-sangat tidak dapat dimaafkan. Kalian juga menyebut jika kami mengganggu kalian maka kami akan mendapat balasan? Heheh, jangan membuatku tertawa…"
Gadis itu menunjuk ke arah pasukan kapten, "Kalianlah yang akan menerima balasannya…" ucapnya dalam dan bernada bengis.
"S-Siapa kau?!" teriak seorang tentara.
"Siapa aku? Hmm… Aku rasa kau tak perlu tahu. Kau lebih baik memikirkan kesalahan yang kau buat karena telah membantai makhluk-makhluk yang kusayangi," ucapnya sadis. Ia lalu mengangkat tangannya ke langit dan mengaktifkan salah satu sihir tingkat tingginya.
--Supernova!
Terciptalah bola cahaya raksasa dari tangan kanannya. Ia lalu mengayunkan tangannya ke arah pasukan manusia tersebut. Bola cahaya itu meluncur ke arah mereka bagaikan meteor yang jatuh dari langit!
"T-Tidak mungkin… tidak… TIDAAAAAAKKK!!!"
__AAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRGGGHHHHHHHHHH!!!!!!
Dalam seketika, ledakan hebat terjadi. Ledakan tersebut membungihanguskan semuanya yang masuk jangkauannya.
Tidak satupun dari mereka yang tersisa. Tulang-belulang sekalipun. Semua yang terkena sihirnya telah dihabisi oleh sang penguasa dunia bawah. Yang tersisa hanyalah kawah raksasa yang cukup dalam.