…
Arifa mengaktifkan teleportasi 'tuk kembali tempat sebelumnya dengan Wormhole-nya.
Kembalinya Arifa di ujung jembatan itu, ia langsung bergegas menuju tempat dimana Fafnir berada, yaitu altar perpindahan dunia.
Jaraknya tidaklah jauh, hanya memakan kurang lebih lima hingga tujuh menit jika jalan kaki. Yah, itupun karena jalannya tidaklah rata layaknya dunia permukaan, dunia bawah terdiri dari jalur yang terbuat dari batuan hitam. Batu-batu tersebut jika dilapukkan menjadi tanah kelak akan sangat berguna dalam menumbuhkan tanaman-tanaman dunia bawah.
Bagi Arifa sendiri, tanah di mana ia berpijak merupakan suatu hal yang menguntungkan baginya dan bagi tanah yang ia pijak itu sendiri. Mengapa? Arifa merupakan ahli sihir yang sangat handal di mana sumber kekuatannya berasal dari atma.
Di dunia ini, atma merupakan sumber kekuatan sihir yang selalu digunakan semua penyihir. Bagi penyihir, atma berwujud seperti kupu-kupu yang amat kecil. Atma terbagi atas dua, yaitu atma murni yang putih terang benderang dan atma mati yang hitam dan gelap.
Arifa sendiri mampu dan sangatlah handal dalam mengendalikan keduanya. Keberadaan ia sendiri mampu mengubah atma mati menjadi atma murni setiap kali ia merapal mantera. Hal itu sangatlah bermanfaat bagi permukaan tanah dunia bawah yang akan menguat ketika dialiri atma murni.
. . .
Kedatangan Arifa di altar tersebut disambut oleh tujuh pelayan maid Fafnir, mereka menunduk hormat kepada sang putri, "Selamat datang, wahai Paduka Arifa. Kami telah menyiapkan tempat ini dengan cepat dan efisien bagi anda untuk melangkah."
Arifa melihat dengan tatapan luwes, "Hm... hm. Kerja bagus, kalian."
Pelayan-pelayan tersebut tersenyum ria, mendapatkan pujian dari penguasa sudahlah lebih dari cukup bagi mereka. Arifa sendiri tidak sadar jika pujian yang dilontarkan darinya itu diidam-idamkan oleh semua makhluk dunia bawah, termasuk Azofir sendiri.
"Baiklah. Datanglah ke sisiku, Fafnir." Ia memerintahkan.
Dalam sekejap, ratusan cahaya bergaris biru muda vertikal dan berdempetan muncul di depan pintu altar. Cahaya tersebut bergeser ke atas dan menampilkan sang mantan naga. "Saya datang memenuhi panggilanmu, wahai penguasaku," sebutnya dengan gagah.
"Bagaimana? Sudah siap?" Tanya Arifa dengan singkat.
"Bersih dan rapi, sesuai dengan keinginan Anda," Fafnir meng-oke-kan sambil mengisyaratkan jari jempol dan telunjuk yang bersentuhan.
Arifa langsung melangkah menuju pintu masuk dan membukanya.
Di dalamnya, terdapat banyak permata di atas pilar yang menjulang tinggi. Permata tersebut memancarkan cahaya biru muda yang indah. Di tengah ruangan yang cukup besar itu, terdapat lingkaran sihir raksasa yang berwarna putih menyala-nyala.
"Paduka, tampaknya Anda telah mengaktifkan kembali katalis tersebut," Fafnir menebak.
"Ho...? Kau tahu?" Arifa menoleh kearahnya.
"Bagaimana saya tidak menyadari keberadaan mantera penguasa dunia bawah? Tentunya saya tahu. Semuanya di sini tahu."
"Wah... kalian benar-benar hebat dalam mendeteksi sihir dan atma ya...?" Arifa sedikit kagum.
"Yah, sebenarnya lingkaran tersebut muncul entah dari mana ketika kami sedang membersihkan ruang ini, ahahaha..."
"Oh," Rasa kagumnya seketika hilang.
"Langsung saja, sebaiknya kalian menyingkir,"
"Baik, Yang Mulia." Ketujuh pelayan Fafnir keluar ruangan dengan cepat.
"Hei, Fafnir..."
Fafnir mendengar suara lembut sang Putri Merah Tua di depannya. Ia melihatnya dengan penuh hormat.
"Menurutmu... apakah tidak masalah jika ku hubungkan kembali dunia bawah ini dengan dunia permukaan?" Tanyanya pelan.
"Saya tidak akan meragukan itu. Saya yakin Anda punya rencana hebat ketika kedua dunia telah dihubungkan kembali. Benarkah begitu?" Fafnir menghembuskan nafas dingin, sisiknya yang keras nampak berkilau di bawah terpaan sinar permata.
"Uh... benar." Jawab Arifa singkat.
"Maka daripada itu, kami semua makhluk dunia bawah akan mendukungmu dengan sepenuh hati, jangan kau kuatir, kami ada untukmu!" Jelasnya dengan gagah perkasa.
"Hm... kalau begit—
—kukira sedang ada hal besar terjadi. Ternyata engkau, Paduka Arifa." Suara besar seperti gemuruh memotong pembicaraan mereka berdua. Dari balik celah yang ada di ruangan itu, tampak tiga mata besar yang melihat ke dalam. Siapa lagi, jika bukan Azofir.
"Saya merasakan energi atma yang luar biasa, makanya saya bergerak ke sini dengan cepat."
"Jadi Anda benar-benar INGIN pergi ke permukaan, ya?" Tanya sang raksasa berwujud kalajengking itu.
"Selain itu, bagaimana engkau datang ke sini tanpa mengeluarkan suara hentakan kaki mu yang tajam itu?" Arifa balas bertanya.
"Anda lupa? Baiklah saya ingatkan kembali. Saya memiliki kemampuan yang dapat meniadakan suara hentakan kaki-kaki saya yang berwujud seperti tangkai jarum."
"O-Oh, b-benar juga. Kemampuan pasif, hm! hm! benar sekali," Arifa mengangguk-anggukan kepalanya. "Eits, tapi tunggu… ekormu itu kan panjang, besar, dan keras. Bukan hanya itu, ujung ekormu mirip ujung ekor kalajengking bukan? Lantas mengapa tidak mengeluarkan suara saat kau seret-seret?"
"Ya." Jawab Azofir singkat. "Tentu aku bisa mengangkat ekorku," lanjutnya. "Ingat kejadian sepuluh tahun yang lalu? Aku bisa mengibaskan ekorku dan menggerakkannya seperti seekor ular."
"Kembali ke topik, engkau benar-benar ingin ke permukaan?"
"Ya, benar sekali. Aku hendak menemui minotaurus yang ada di permukaan... serta yang telah engkau dengar sebelumnya, mereka yang telah gugur di atas sana."
Beberapa waktu lalu, seekor minotaurus datang menemui sang Putri dengan harapan beliau bersedia menjemput kawannya yang 'mati'. Permintaan itu diterima oleh Arifa dan juga Azofir. Namun si iblis raksasa tidak begitu yakin pimpinannya ini akan mau begitu saja. Ia tahu betul sifatnya yang masih tampak kekanak-kanakan dan egois, walau Arifa telah hidup ratusan tahun lamanya.
"Yah... mau bagaimana lagi," pikir sang raksasa. Gadis kecil berambut merah tua ini belum pernah menemui manusia sekalipun dalam hidupnya. Tidak hanya itu, ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan Azofir di kastilnya sehingga Arifa tidak begitu banyak memahami sifat-sifat makhluk lain. Walaupun begitu, ia tetap memerintah dan menguasai dunia bawah dengan penuh kasih sayang.
"Paduka Arifa," panggil Fafnir. Pupil mata merah darah Arifa seketika melirik sang naga.
"Mohon maaf sebelumnya, tetapi saya ingin Anda menuju permukaan di kawal oleh prajurit terbaik Anda." pintanya.
"Hm... benar juga," suara Azofir menggema keras. "Kecilkan suaramu." perintah Arifa.
"O-Oh, maaf." Azofir menundukkan kepalanya sedikit. Ketiga matanya melihat ke tanah. Beberapa detik kemudian ia mengangkat kepalanya kembali, "Hm... saya setuju dengan apa yang dikatakan Tuan Fafnir. Anda perlu pengawal untuk pergi ke atas sana."
"Ya... sebaiknya saya yang pergi—
"—tidak, sebaiknya saya yang pergi."
Arifa berdiri mematung di antara dua pilar kristal. Kedua bawahannya berdebat tentang siapa yang akan mengawalnya.
"Mohon maaf, Master Azofir, akulah yang paling berpengalaman di dunia permukaan."
"Memang benar, aku hanya beberapa kali saja naik ke permukaan. Namun, setidaknya aku dapat mengontrol diriku ketika di atas sana. Anda mengatakan hal ini sebelumnya: 'aku membenci manusia'. Maka daripada engkau merusak kenyamanan Paduka, lebih baik AKU yang pergi." tegas Azofir dengan suaranya yang sedikit tertahan.
"Tubuh anda terlalu besar, Master. Bagaimana jika manusia ketakutan dan lari terbirit-birit ketika melihat sosok besar sepertimu? Bukankah itu akan menyulitkan beliau untuk berinteraksi dengan manusia dan alhasil membuatnya terbebani?"
Arifa memerhatikan ocehan kedua bawahan terkuatnya itu saling berdebat satu sama lain. "Huuh... kapan selesainya mereka ini? Aku ingin segera pergi…"
Ia berpikir sejenak, semerbak getaran mengguncang tanah akibat suara yang cukup keras dari Azofir. "M-Mohon maaf mengganggu, tuan putri." salah satu pelayan Fafnir meminta izin, Arifa langsung refleks melihatnya lalu maid tersebut berkata, "S-Saya ingin melanjutkan pembersihan, tuan putri—
"—PAS SEKALI. Mantira, engkau saja yang menjadi pengawalku."
"Eh?" Mantira, si pelayan mematung tak berkutik setelah ditunjuk Arifa.
Perdebatan Fafnir dan Azofir berhenti seketika dan menjadi hening. Mereka berdua langsung beralih menatap si pelayan yang sedang membawa sapu merah.
"B-B-B-Bu-bubububu-bukankah ada y-yang lebih pantas d-d-dariku, Yang Mulia?" si pelayan gemetaran, suaranya pun ikutan. Siapa sangka jika seekor makhluk yang hanyalah pelayan dari bawahan makhluk agung dipilih untuk menjadi pengawalnya?
Mantira Mantodea, seekor monster berwujud seperti belalang sembah yang berwarna perak, namun tubuhnya telah dimodifikasi menyerupai lekuk tubuh manusia. Sepasang antena belalang perak menghiasi rambut bob pendek hitamnya. Ia mengenakan kimono hitam dengan garis merah tua menutupi tubuhnya yang keras seperti baja. Ia adalah salah satu pelayan Fafnir yang hobinya bersih-bersih.
"Hoho? Engkau tidak bersedia?" tanya sang putri.
"B-B-Bukan begitu, P-Paduka. Saya sangat senang Anda memilih saya, tetapi... bukankah ada yang lebih kuat dan pantas untuk menjaga Anda?" tanyanya gemetaran.
Arifa menepuk bahunya, "Siapapun makhluk dunia bawah, mereka adalah prajuritku yang kuat serta bawahanku yang manis. Maka daripada itu, semuanya pantas melayaniku."
Mantira terkagum-kagum mendengar ucapan itu, ia langsung menunduk di hadapan beliau dan bersumpah, "Benar-benar kata seorang penguasa dunia bawah! Saya bersumpah akan melayani Anda hingga akhir hayat saya!"
"Baiklah, kalau begitu... wasuh?!?" Arifa terkejut melihat Fafnir dan Azofir ikutan tunduk di hadapannya. Walau tubuh mereka mengkilap, tetap saja air mata yang mengalir itu tampak di wajah mereka. Namun, Azofir bisa menahan diri, karena ia tahu dan mengenal betul sifat sang Putri Merah Tua tersebut. Malahan, terasa seperti lelucon bagi dirinya.
"Kami juga..." mereka berdua bersahut bersamaan, "Kami juga akan melayani Anda hingga akhir hayat kami. Hidup sang Putri!" seru sang naga. Azo hanya menganggukkan kepalanya karena jika ia ikutan, nanti akan terjadi gempa.
Ketiga makhluk tersebut menyebut nama Arifa dengan hormat. Kecuali Azofir, sih.
Pada akhirnya, sahlah Mantira menjadi pengawal yang akan menemani sang Putri. Tidak ada yang membantahnya, bukan karena tidak berani atau takut, namun karena menghormati keputusannya.
Mantira berpamitan dengan kedua bawahan Arifa yang dikenal sebagai Panglima dan Jenderal Dunia Bawah oleh semua makhluk dunia bawah.
"Apakah engkau siap, Mantira?"
Mantira menunduk, "Siap, Yang Mulia. Kapanpun Anda mau berangkat, saya akan selalu siap."
"Bagus. Mari kita mulai."
Mereka berdua berdiri di atas lingkaran sihir yang telah diaktifkan sebelumnya oleh Arifa. Beliau langsung mengulurkan tangannya dan merapal sihir, "Terbukalah, gerbang dunia lain!"
Sinar memancar dari bawah, dalam sekejap, mereka berdua langsung raib dari pandangan.
Dalam beberapa saat lagi, sang Putri Merah Tua akan menginjakkan kakinya di dunia permukaan!