Tidak ada narasi tentang langit lagi sebagai pembuka chapter ini. Tidak ada yang sempat memperhatikan kondisi langit saat di sekelilingnya adalah lingkungan gelap nan suram. Sebuah danau kecil di bawah tebing setinggi 20 meter adalah kabar buruk bagi seseorang yang terjebak di antara keduanya.
Suara kerindangan hutan lebat yang terdiri dari suara serangga pohon, katak, jangkrik, dan terkadang tawon, seharusnya bisa menenangkan hati dan fikiran. Tetapi tidak jika seseorang sedang dalam keadaan terancam.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara langkah dan ringkikan kuda, suara itu semakin lama semakin mendekat membuat hati Abdul merasakan ketakutan. Tubuhnya gemetaran, jantungnya berdegup kencang, matanya sengaja dipejamkan tidak ingin melihat apapun.
Dia menghadapkan badannya ke arah yang berlawanan dari sumber suara. Dengan pakaiannya yang masih basah kuyup itu, dia menyilangkan kedua tangannya ke dada untuk menahan dingin. Semakin dekat dan dekat hingga pada akhirnya suara langkah kuda itu terhenti.
"Hei, siapa kamu?" bentak seseorang yang masih tak di ketahui itu.
Abdul pun membuka matanya dan mendapati seorang pria gagah, berpakaian gaya klasik seperti yang sering dia lihat pada acara karnaval 17 Agustus di kampungnya. Pria itu terlihat seperti seumuran dengannya.
Ternyata sedari tadi kuda itu ada yang menungganginya, Abdul diam tertegun tak berkata apapun. Pria itu mencabut pedang dari sarungnya lalu ditodongkan ke arah Abdul.
"Aku tanya sekali lagi, siapa kamu?" lanjut bentak seorang penunggang kuda tersebut.
"Sa sa saya Abdul," jawab Abdul terbata-bata
"Darimana kamu berasal? dan apa yang kamu lakukan disini?" tanya penunggang kuda tersebut dengan kembali membentak.
"Saya baru saja mengalami kecelakaan bus, dan bus yang saya tumpangi masuk ke danau itu," jawab Abdul.
"Bus? apa itu Bus?" tanya orang itu curiga.
Abdul semakin bingung dan merasa benar-benar gawat, Alam apa ini? Siapa makhluk ini? sampai-sampai bus saja tidak tahu.
Kebingungan itu semakin menambah keheningan, karena baik keduanya tidak ada yang bersuara. Yang bertanya diam karena menunggu jawaban, dan yang diberi pertanyaan pun diam karena kebingungan.
Dalam diam itu terdengar kembali suara langkah kuda, kali ini jumlahnya terdengar lebih banyak. Sesekali terdengar suara peluit yang dibunyikan setiap lima detik. Kecemasan Abdul semakin tidak karuan, pemuda penunggang kuda itu semakin maju untuk mendekatkan pedangnya ke leher Abdul.
"Kamu pasti salah satu mata-mata dari pasukan patroli kerajaan yang sedang mencariku," tanya pemuda itu curiga sambil menodongkan pedangnya.
"Kerajaan apa? Saya sungguh tidak mengerti. Tolong ampuni saya, saya hanya masyarakat biasa yang terdampar di tempat ini saat sedang melakukan perjalanan, saya tidak bermaksud mengganggu alam kalian" jawab Abdul ketakutan sekaligus kebingungan.
"Aku bisa saja langsung membunuhmu saat ini juga, tapi aku perlu alasan lebih lagi untuk membiarkanmu hidup," tegas si penunggang kuda.
"Saya akan membantumu jika kamu membiarkan saya hidup." Abdul menekuk lututnya dan bersimpuh dengan keterpaksaan.
"Baiklah, kau akan jadi pelayanku mulai sekarang. Lagipula dari pakaianmu yang aneh itu pastinya sangat mencolok, sepertinya memang tidak mungkin seorang mata-mata memakai pakaian yang mencolok seperti itu," ucap si penunggang kuda sambil kemudian menyarungkan pedangnya.
Abdul semakin bingung. Pelayan? apa-apaan ini, sungguh dia tidak ingin melakukannya, tetapi demi keselamatan nyawanya, mengiyakan terlebih dahulu sepertinya tidak masalah. Baginya nyawa lebih penting daripada harga diri.
"Baiklah waktuku tidak banyak. Kalau aku biarkan kamu disini, mereka akan mendekatimu dan menanyaimu tentang keberadaanku. Di saat itu pasti kamu akan sangat tergiur untuk menjawab," kata pemuda itu yang sudah mulai kepanikan.
"Tidak, saya tidak akan mengatakannya" ucap Abdul berjanji meyakinkan.
"Aku jamin kamu pasti akan menjawabnya, ayo cepat naik! ikutlah bersamaku," perintah pemuda itu kepada Abdul.
Abdul pun langsung ikut membonceng ke punggung kuda bersama si pria. Mereka melajukan kudanya dengan kecepatan tinggi. Menyusuri jalan setapak di antara pepohonan raksaksa yang seoleh memagari jalan. Mereka berusaha sejauh mungkin untuk jangan sampai keberadaannya diketahui.
Semakin jauh berlari, semakin tidak terdengar pula suara peluit tanda keberadaan pasukan patroli kerajaan.
Sepertinya mereka berpatroli ke arah lain karena tidak sempat melihat keberadaan pria itu.
Abdul yang tidak pernah sekalipun naik kuda merasakan mual yang sangat parah hingga menyebabkannya muntah di punggung kuda. Melihat hal itu, Pemuda penunggang kuda yang semula melajukan kudanya begitu kencang pun seketika menghentikan lajunya.
"Sial, kenapa kamu memuntahi punggung kudaku?" tanya pemuda itu dengan kemarahannya.
"Maaf, Tuan, saya tidak sengaja. Ini pertama kalinya saya naik kuda," jawab Abdul menjelaskan.
"Baiklah jika kamu kelelahan, kita berhenti di sini untuk beristirahat. Tetapi setelah selesai, kamu harus membersihkan muntahanmu yang mengotori punggung kudaku," perintah pemuda itu.
"Baik, tuan," Abdul mengiyakan.
Mereka menuruni kudanya dan beristirahat di bawah pohon besar. Pakaian Abdul yang semula basah kuyup karena tenggelam di danau, kini sudah semakin mengering.
Disela waktu istirahatnya, pemuda itu mengeluarkan sesuatu dari buntalan kantong yang menggantung terikat di kudanya. Yaitu sebuah kendi tertutup yang berisi air minum.
"Ini, minumlah," pemuda itu memberikan kendinya kepada Abdul.
Abdul menerimanya dan langsung meminumnya.
"Sebenarnya dari mana kamu berasal?" tanya pemuda tersebut membuka pembicaraan.
"Aku dari daerah kecil yang bernama Bumiayu. Itu nama daerah distrik, Tuan," Abdul menjelaskan.
"Distrik? pengetahuanku yang kurang atau kamu yang mengada-ngada?" tanya pemuda itu yang masih ragu.
"Sungguh, Tuan, letak daerah itu di bagian barat kaki Gunung Slamet, dan di tengahnya mengalir Sungai bernama Pemali, masuk dalam wilayah Kabupaten Brebes." Abdul menjelaskan.
"Cukup, kamu tidak perlu panggil aku Tuan. Panggil saja aku Saga. Meskipun kamu pelayanku, tapi aku tidak mau memposisikanmu lebih rendah, aku hanya membutuhkanmu untuk membantu beberapa hal yang tidak bisa aku lakukan sendiri," Jawab pemuda itu yang sekarang sudah memperkenalkan namanya.
"Baiklah, Saga. Kamu kelihatannya orang yang baik, tapi apa yang membuatmu dikejar-kejar oleh pasukan patroli kerajaan yang kamu katakan tadi?"
Tanya Abdul penasaran.
"Kamu tidak mengenalku, jangan ambil kesimpulan baik atau buruknya aku," bantah Saga.
"Mereka adalah pasukan patroli dari Kerajaan Galuh, mereka benar-benar mencariku, karena aku dianggap sangat berbahaya bagi mereka. Mereka berani memberi hadiah besar kepada siapapun yang bisa memberi tahu keberadaanku, atau yang bisa menangkapku hidup-hidup. Itulah alasan kenapa tadi aku yakin sekali kamu akan tergiur jika saja mereka menanyai kamu tentang keberadaanku," lanjut Saga menjelaskan.
Abdul terkejut mendengarnya, Kerajaan Galuh? itu adalah kerajaan yang sudah runtuh ratusan tahun lalu, dia ingat pernah mengetahuinya dari mata pelajaran sejarah saat sekolah dulu.
"Kenapa kamu terlihat sangat terkejut? bukankah Barebes juga masuk ke wilayah kerajaan Galuh? tadi kamu bilang berasal dari Kabupaten Barebes, yang aku tahu tempat itu bukanlah kabupaten, melainkan hanya pemukiman kecil yang kebanyakan berisi pendatang dari Daha," Celoteh Saga yang semakin membuat Abdul kebingungan.
Abdul semakin tidak mengerti, tadinya dia mengira dia sedang terjebak di alam dedemit atau semacamnya semenjak kecelakaan bus itu. Tetapi mendengar penjelasan dari Saga, ini benar-benar seperti sedang mendengarkan pelajaran sejarah. Apakah lompatan waktu ke masa lalu bisa benar-benar terjadi? atau orang ini hanya sedang berpura-pura?
Abdul mulai berfikir sebaiknya sekarang mengikuti alurnya saja, lagipula pasti akan ada lebih banyak hal lagi kedepan untuk semakin menjelaskan semua ini. Entah orang ini pura-pura atau apa, belum saatnya untuk mengambil kesimpulan.
"Tunggu dulu, namanya bukan Barebes, tapi Brebes. dan mengenai pendatang dari Daha, itu di mana?" Abdul membetulkan sambil kemudian bertanya.
"Daha itu Ibukota dari Kerajaan Kediri. Dua tahun yang lalu Kediri diruntuhkan oleh sebuah pemerintahan baru yang bernama Majapahit di bagian timur jawa sana. Beberapa penduduk yang tidak senang dengan perpindahan kekuasaan itu berbondong-bondong melakukan perjalanan ke barat untuk mencari pemukiman baru, diantaranya ke Barebes, Wanasaba, dan sekitaran Banyumas," dengan sabarnya Saga menjelaskan.
"Sial sekali, kenapa aku harus bertemu dengan orang sepertimu, pakaianmu yang aneh itu sebenarnya terlihat bagus, aku pikir hanya orang kaya yang memiliki pakaian seperti itu, dan biasanya orang kaya selalu punya pengetahuan yang luas. Tetapi kamu tidak tahu suatu peristiwa besar yang terjadi di daerahmu sendiri. Kamu bahkan tidak pernah menunggang kuda. Kutukan apa yang menimpa orangtuamu hingga mempunyai anak sebodoh ini?" lanjut saga mengeluh.
Mendengar kalimat terakhir Saga yang menyebut orangtuanya, Abdul kembali teringat dengan kesalahannya itu. Ingin rasanya dia marah dan protes kepada Saga terhadap perkataannya yang sembarangan, tetapi sepertinya perkataan Saga ada benarnya juga. Bahwa dirinya memang benar-benar orang yang bodoh.
"Sudah cukup istirahatnya. Sekarang tunaikan tugasmu untuk membersihkan kudaku dari kotoran yang kamu buat. Di dekat sini ada sungai, kamu bisa membersihkannya di sana," perintah saga untuk menagih tanggung jawab Abdul.
***