Malam itu, Seruni sedang duduk di tepi pantai diterpa lembut angin sepoi-sepoi, segala lelahnya terbawa ke tengah lautan. Angin telah benar-benar paham
bagaimana melepaskan penat setelah
ombak juga begitu mengerti
tentang perasaan yang mungkin ada di hati. Seruni bersyukur atas keindahan yang benar-benar sedang dirasakannya. Duduk di pantai pesisir Pangandaran sambil menyaksikan rembulan emas ditemani pria yang dikasihinya, Jayendra.
Mereka duduk berdua saling merapatkan tubuhnya masing-masing. Jayendra menggenggam tangan lembut seruni dengan sesekali jemarinya mengelus-elus punggung telapak tangan kekasihnya itu. Mereka menyaksikan cahaya rembulan keemasan di angkasa selatan. Riak buih-buih ombak yang menggulung pasir putih seolah saling bergantian bersorak merayakan kehangatan suasana. Terkadang mereka saling tatap dan tersenyum.
Ada sebuah batu karang besar yang tetap kokoh bertengger meski diterpa gulungan ombak secara beruntun. Karang itu terpaku tak jauh di depan mereka. letaknya sekitar 30 meter dari bibir pantai. Jayendra melepaskan tangan Seruni dan bangkit dari duduknya. Langkah kaki menuntun dirinya ke arah lautan melawan arus ombak. Seruni masih terdiam duduk di atas pasir putih sambil tersenyum memperhatikan Jayendra. Dia tahu bahwa kekasihnya itu hendak menaklukan karang besar di sana.
Langkah kaki Jayendra telah memijak di atas batu karang yang dituju. Dia berdiri berhadapan dengan sang rembulan bermandikan cahaya emasnya. Seruni berdiri dan merasakan takjub yang amat sangat. Tubuh Jayendra seolah memantulkan cahaya terang dari sang rembulan. Kemudian Jayendra membalikan badannya, kini dia menghadap ke arah Seruni dari kejauhan.
"Kita masing-masing punya kapal untuk dilayarkan. dan masing-masing mempunyai ombak yang harus di terjang. Begitu juga dengan gelombang yang tak mungkin kita hindari. Mungkin saja sebagian kita mampu. atau sebagian sengaja menenggelamkan dalam lautan Nestapa. Dan jika kita mampu melewatinya, maka bahagia sudah menanti disana." Syair itu seketika keluar dari bibir Jayendra. Kedua tangannya dia rentangkan seolah sedang menikmati guyuran cahaya rembulan keemasan malam itu.
"Wahai Tuhan semesta alam, janji-Mu teguh seperti bebatuan. Belas kasih-Mu tak terhitung bagaikan pasir. Anugerah-Mu laksana samudra yang sangat luas. Rahmat-Mu bak ombak pasang yang terus mengalir. Pada setiap mahkluk ciptaan-Mu di sini, aku melihat sesuatu, hatiku, yang menunjuk kepadanya. Keras seperti bebatuan yang mengikat untaian." Syair-syair tersebut terlontar begitu saja dari bibir Jayendra. Seruni sangat menikmati kalimat-kalimat indah itu. Sebagai seorang perempuan yang merasa dikasihi, tentu saja hatinya sangat bahagia. Belum pernah dia merasakan kebahagiaan seperti ini seumur hidupnya.
"Seruni...."
"Seruni...."
"Seruni...."
Suara itu menggema dari atas cakrawala. Seruni menatap ke langit masih dengan senyuman bahagianya.
"Seruni..."
"Bangunlah..."
"Bangunlah, Seruni...," Jayendra mengusap-usap rambut Seruni yang masih lemah terbaring di ranjang. Dia masih dalam kondisi pingsan meskipun wajahnya menampakkan sebuah senyuman.
Perlahan Seruni membuka matanya, samar terlihat Jayendra yang sedang menatapnya dengan harap-harap cemas. Seruni menanggalkan senyumannya tatkala melihat keberadaan seorang pria setengah tua berpakaian serba putih sedang menatapnya juga. Pria itu berdiri di belakang Jayendra.
Kini Jayendra sedikit lega karena wanita yang sangat dia kagumi itu sudah siuman. "Akhirnya kamu bangun juga Seruni..., Aku ketakutan setengah mati menunggu kamu membuka mata."
"Siapa orang itu Kakang?" tanya Seruni dengan nada bicaranya yang lemah.
"Dia Paman Sunda Manda. Dia lah yang mengobati kamu. Dia juga pemilik rumah ini."
"Kenapa aku di sini? Apa yang terjadi?"
"Kamu pingsan karena kepala mu terbentur batu. Maka aku bawa kamu ke sini untuk diobati."
Seruni tersenyum kembali ketika secara sadar melihat Jayendra yang sedang menggenggam tangannya.
"Eh... Jayendra, Kalau begitu aku ke luar sebentar. Nanti setelah ini ajak dia makan supaya tenaganya cepat pulih. Kemudian olesi lukanya dengan tumbukan daun yang sudah diberi sedikit minyak lintah, supaya lukanya cepat kering," ujar Sunda Manda sebelum meninggalkan bilik yang mereka singgahi.
"Baik, Paman...!"
Sunda Manda ke luar menuju ruang tengah dimana Utkarsa dan Utpala berada. Mereka sedang asyik menikmati sajian teh hangat racikan dari Margasari.
"Di mana Nirmala dan Margasari?" tanya Sunda Manda.
"Margasari sedang mengantarkan Nirmala pulang," terang Utkarsa. "Oh iya, bagaimana keadaan gadis itu, Manda?"
"Akhirnya dia membuka mata," ujar Sunda Manda yang turut duduk berdekatan dengan Utkarsa dan Utpala. "Sengaja aku tinggalkan mereka berdua, anak muda selalu saja membuat orang tua merasa risih."
"Syukurlah kalau begitu. Aku tak habis pikir, ternyata kamu juga pandai dalam ilmu pengobatan. Ku kira kamu hanya pintar dalam bermain cat air," celoteh Utkarsa.
Sementara itu di dalam bilik, Seruni menceritakan apa yang dia lihat dalam mimpinya. "Pakaian yang Kakang gunakan begitu gagah, seperti pakaian pemimpin perang. Cahaya rembulan emas melumuri seluruh tubuhmu. Aku yakin kalau mimpi itu pertanda baik untukmu, Kang."
"Semoga saja itu pertanda kalau tujuan dan harapan ku akan terwujud."
"Apa yang Kakang harapkan?" tanya Seruni sambil matanya menatap dalam.
"Ketenangan jiwa," pungkas Jayendra. "Dan untuk saat ini hal yang membuatku tenang adalah ketika kamu dalam keadaan baik-baik saja, Seruni."
"Kenapa Kakang begitu mencemaskanku? Tidak kah Kakang membenciku atas sikapku yang menyebalkan dan cenderung menyusahkan mu, Kang?"
Jayendra terdiam merasa bingung dan ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. Tetapi kali ini adalah kesempatan yang bagus untuk bicara. Kesempatan untuk menyatakan perasaan yang bergejolak di dalam hatinya.
"Jika aku yang di dalam mimpimu telah berkata seperti itu, bahkan membalut tiap kalimatnya dengan syari indah, maka mungkin di dalam dasar jiwaku pun mengatakan itu. Kamu tahu maksudku, Seruni."
"Aku tidak mengerti apa yang Kakang bicarakan."
"Beberapa malam aku susah tidur karena merasa cemas akan keberadaanmu. Aku tahu kamu pendekar pilih tanding, tetapi tetap saja sebagai perempuan kamu memiliki segudang bahaya yang mengincarmu di luaran sana. Sejujurnya rasa cemas itu bukan tanpa alasan...,"
"Lalu...?"
"Aku mencintaimu, Seruni."
Seruni sangat bahagia mendengar kalimat yang sebenarnya sudah dia tunggu Jayendra melontarkannya. "Sini, Kang, mendekatlah...!
Tiba-tiba seruni meraih kepala Jayendra dan mengarahkan wajah Jayendra berdekatan dengan wajahnya yang masih terbaring. Seruni mencium bibir Jayendra dengan penuh rasa cinta. Rasa yang tak pernah dia alami seumur hidup, pada kesempatan itu lah dia manfaatkan untuk melepas segala hasrat hatinya.
***
Nirmala telah sampai di depan pagar rumahnya. Margasari mengantarnya pulang sambil menceritakan hal-hal yang telah terlewat dari sepengetahuan Nirmala.
Mereka berhenti sebelum Nirmala membuka pintu pagar bambu di depan rumahnya itu.
"Terus terang, aku agak tidak percaya. Tetapi kali ini sahabat ku sendiri yang mengatakannya. Aku bingung...," ujar Nirmala
"Kamu harus bisa menerima segala kenyataan terpahit, Mala," ujar Margasari. "Cinta terkadang bisa membunuh siapapun yang terlalu larut dalam rasa."
"Aku sulit menerima kenyataan jika Kangmas Sukmaraga yang menjadi kekasihku selama ini adalah seorang kepala rampok. Entahlah..., aku perlu waktu yang tidak sebentar untuk mencernanya."
"Pikirkan itu baik-baik, Mala. Jauhi dia demi keselamatan mu. Selama ini ibu mu selalu melarang, kan? Mungkin itu sebuah firasat dari naluri seorang ibu dalam menjaga anak gadisnya."
"Apapun itu, terima kasih untuk segala nasehatnya, Sahabatku," ucap Nirmala.
Margasari memeluk Nirmala sejenak sebelum kemudian berlalu pergi untuk kembali pulang ke rumahnya. "Aku pamit, besok aku akan ke Caruban lagi, Jaga dirimu baik-baik selama aku tidak di sini."
Margasari kemudian berlalu pergi. Nirmala masih belum membuka pintu pagar rumahnya. Dia masih memperhatikan Margasari yang telah berlalu pergi meninggalkannya. Dia akan terus memperhatikan hingga sahabatnya itu melewati tikungan jalan yang berarti sosoknya sudah tak lagi terlihat, menghilang dari pandangan.
Nirmala berbalik badan hendak membuka pintu pagar. Tiba-tiba seorang pria gagah sudah bertengger di hadapannya. Nirmala terkejut bukan main sehingga refleks mengeluarkan teriakan. Teriakan itu membuat ibu nya yang berada di dalam rumah bergegas keluar. Namun ketika ibunya keluar, Nirmala sudah tidak ada.
Pria itu adalah Sukmaraga alias Saga Winata. Dia melesat menggunakan kekuatan meringankan tubuh sambil menggendong Nirmala menjauh dari pemukiman. Tubuhnya diturunkan ketika mereka telah sampai di pelataran candi yang sepi. Jauh dari pemukiman.
Sebelum Nirmala sempat berkata, Sukmaraga langsung mencium bibirnya dengan lembut. Nirmala menikmatinya sejenak, namun dalam pergumulan bibirnya itu, dia teringat dengan ucapan sahabatnya. Nirmala mendorong tubuh Sukmaraga jauh-jauh.
"Nirmala? Kenapa kamu kasar sekali?"
"Maaf, Kangmas. Aku tak bisa menyembunyikan rasa lelah sehabis bertempur."
"Bertempur? Dengan siapa?"
"Aku bertempur dengan batinku sendiri," ucap Nirmala yang mulai meneteskan air mata.
"Hei... Siapa yang sudah berani membuat air matamu menetes, Sayang...?" Sukmaraga mendekat kembali hendak membersihkan air mata yang mengalir pada pipi kekasihnya itu.
"Jangan mendekat...! " seru Nirmala. "Tanganmu hanya akan semakin mengotori pipi ku, aku tidak sudi wajahku ternodai oleh tangan bekas darah pembantaian dan harta rampasan."
Sukmaraga dibikin terkejut bukan main, selama ini tidak ada satu orang pun yang mengetahui bahwa dirinya adalah Saga Winata seorang kepala perampok.
"Kamu pasti telah termakan fitnah, Sayang...!" bantah Sukmaraga.
"Tidak, Kangmas bahkan ingin membunuhku, kan? Dengan menulis surat mengajakku bertemu, padahal hanya menjebakku dan berniat mencelakakanku. Selama ini kamu bukan benar-benar mencintai seorang gadis desa, kamu hanya merayu untuk menjadikanku sebagai wanita pemuas hasratmu. Kenapa harus gadis desa sepertiku yang kau jadikan korban?"
"Surat? Surat apa?"
"Jangan berpura-pura tidak tahu, aku kenal jenis tulisanmu. Tidak mungkin surat itu dipalsukan...!"
Mendengar pernyataan Nirmala, Sukmaraga mulai menaruh curiga pada seseorang. Selama ini dia tidak pernah menuliskan surat dengan tangannya sendiri, karena memang dia seorang buta aksara. Hanya ada satu orang yang selalu membantunya menuliskan surat untuk Nirmala. Dia adalah adik kandungnya sendiri, Asmaraga.
Tetapi tidak mungkin adik kandung yang selama ini dekat dan akrab dengannya malah berniat mencelakakan kekasih dari kakaknya sendiri. Apakah ada orang lain yang memfitnahnya? Ataukah memang kenyataannya seperti itu? Sukmaraga pun dilanda kebingungan. Selain soal surat, dia pun kini mulai menyadari bahwa penyamaran namanya sebagai Saga Winata kemungkinan sudah diketahui banyak orang.
Sukmaraga langsung meraih tubuh Nirmala dan membawanya kembali ke rumah. Ketika Nirmala telah sampai di rumahnya, Sukmaraga bergegas pergi dan lenyap. Jurus meringankan tubuh yang dia miliki memang terkadang membuat lesatannya sangat cepat sehingga seolah-olah menghilang begitu saja.
***