Chereads / Balada Tetangga Duda / Chapter 1 - Bab 1. Tetangga Baru

Balada Tetangga Duda

DaoistrNCmOa
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 8.5k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bab 1. Tetangga Baru

Maryam POV

Sudah seminggu ini komplek Perumahan Jaya Abadi tempatku tinggal tiba tiba dihebohkan dengan kedatangan seorang tetangga baru, namanya Bang Harsya Canan. Seorang Duda keren yang kabarnya menjadi Duda karena ditinggal istrinya berselingkuh, padahal mereka baru menikah sebulan.

Sebulan? Iya, sebulan.

Ibu-ibu komplek langsung heboh, mereka sampai mengadakan persekutuan lambe nyinyir untuk sekedar menggosipkan keberadaan Bang Harsya di komplek. Hal ini berbeda banget sama kondisi sewaktu Engkong Reymond pindah ke sini, pokoknya tidak seheboh itu tanggapan mereka.

Namun, kali ini hampir semua warga Komplek membicarakan Bang Harsya. Entah itu karena status Duda yang disandang Bang Harsya atau karena nikah kilatnya yang berumur sebulan tapi yang kutahu semua orang sukses menambah dosa.

Di tengah santernya gosip si tetangga baru. Diam-diam aku bersyukur, karena akibat gosip yang beredar itu mereka lupa tentang menggosipkan aku si gadis perawan tua yang kesepian. Maryam si perawan tua, anak satu-satunya dari Emak Hindun, wanita paling norak sekampung ini.

Biasanya sebelum kabar Bang Harsya mencuat. Aku selalu menjadi bahan bulan bulanan Mpok Ramonah cs. 

Ada aja yang mereka tanyakan setiap aku lewat di depan markas mereka, aku merasa terlatih menerima sindiran mereka.

"Kapan lo kawin? Bosen gue liat lo bengong kaya ayam!"

"Alah! Truck aja gandengan elo masih aja sendirian?"

"Elo sih pilih pilih! Si Atun aja baru 20 tahun udah bunting lagi, jangan sampai anak gue kawin, elo baru kawin juga!"

"Elo sih gak pilih Pak Mamat, jadi jomblo kan?"

Tuh, coba! Kalau diingat-ingat kurang pedas apa ucapan mereka Munaroh? Sampai gara gara aku enggak nyoblos pilihan mereka aja, disambungkan dengan status kejombloan akut seorang Maryam, apes banget aku punya tetangga kaya mereka.

Heum...!

Tapi terlepas dari itu semua, sebenarnya belakangan ini semenjak Duda itu jadi tetangga.

Kok, aku jadi memikirkan Bang Harsya terus, ya? Bisa jadi, Bang Harsya sengaja Allah datangkan untuk melipur lara perawan tua sepertiku, sekaligus menjadi jawaban doa.

Hah! Ada-ada saja.

Aku berjalan menyusuri jalanan komplekku dengan lemah. Perjalanan sore ini terasa lebih berat, karena pulang nanti aku tahu Emak akan menagih janjiku lagi untuk memberinya menantu. Katanya, kalau aku enggak menikah akhir tahun ini, aku akan dijodohkan dengan Babe Rojali.

"Tuh kan bener! Apa Cici bilang dia emang kaya sebenarnya!"

Lamunan panjangku tiba tiba harus ambyar saat suara Cici Marica mulai terdengar. Sudah bisa dipastikan, ini pasti kumpulan lambe nyinyir komplek Jaya, agh!

Aku lupa jika hari menjelang sore seperti sekarang, biasanya ibu-ibu komplek sudah pada heboh melingkar di depan rumah Mpok Ramonah. Sialnya, karena rumahku terletak paling ujung membuatku harus melintasi dulu kawasan lambe nyinyir.

"Mar! Maryam! Sinih loh pakeh nutup mukah segalah, sinih ikutans gosips!" Tiba tiba Fifi Surefi memanggil dengan gaya centilnya. 

Mendengar suara desahan yang amit-amit milik Fifi, akhirnya aku menghentikan langkah. Sebenarnya aku heran kenapa pandangan Fifi begitu tajam?

Seingatku, wajah ini sudah kututup dengan buku agenda sebesar gaban yang kubawa sejak tadi. Mungkin dulunya emak Fifi ngidam kunang-kunang kali, ya? Soalnya mata Fifi terang banget semacam senter perternakan ayam.

"Apa sih Fi? Gue baru pulang, eni habis kerja, entar aja ngapa?" sahutku malas.

"Ayoh ah! Buruans, bentars doangs koh!" ajaknya memaksa dengan gaya bicara khas desahan yang membuat mulas.

Melihatnya yang bersikeras, tak ayal kakiku belok juga ke markas lambe nyinyir karena takut nanti dibilang anti-sosial sama empat orang pecinta gosip itu.

"Sini bentar Mar, lo duduk sini! Ini nih kenapa elo belum punya laki, lo jarang bergaul sih!" semprot Cici, si istri kesepian yang ditinggal dinas lakinya sudah seminggu.

Heran banget deh, lakinya sering banget dinas, masa iya petugas kelurahan aja dinasnya udah kaya si Bos yang keluar kota?

Heum ...  jujur pada awalnya aku kasian sama si Cici tapi setelah menilai dari ucapannya yang pedas enggak ketulungan, aku jadi paham kenapa lakinya sering banget dinas. Lah, bininya begitu!

"Ya udah, gue duduk sini aja deh!" 

Akhirnya, dengan sangat pasrah dan perut yang meronta, aku duduk di samping Mpok Ramonah yang masih kosong.

"Udah, ah, lanjutin gosipnya, lo pada tahu kagak? Katanya mantan istri tetangga baru kite itu bandel banget, masa iya baru dikawinin sebulan dia udah punya laki lain?" seloroh Mpok Ramonah nyinyirun bin hasadun.

Enggak aneh, sudah kuduga. Bang Harsya lagi yang dibahas.

"Masa iya sih Mpok? Orang keren gitu bisa diselingkuhin? Mana ganteng banget dah!" Dwi yang baru punya anak satu nimbrung.

Sesekali matanya mencuri pandang ke sebrang di mana rumah Bang Harsya berdiri kokoh, padahal yang punya rumahnya belum balik dari kantor. 

"Iya, nih menurut info yang gue terima, itu si Harsya beuh! Setia banget sama bininya, dasar ya kalau gue jadi bininya gak akan gue lepas tuh si Harsya!" jelas Mpok Ramonah lagi berapi-api. Sedang tiga orang di depannya  menganggukkan kepala, kecuali aku yang melongo masih mencoba mengikuti jalan cerita gosip.

"Emangnya Mpok Monah tahuh darih siapah sih? Bisah bener dapat infonyah?" tanya si Fifi sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang panjang ke arah kami.

Aku jadi heran apa pentingnya dia mengibaskan rambut di depan kita yang notabene perempuan? Orang kita mah enggak akan tertarik sama rambutnya yang kutuan. 

"Hey, hey, hey! Jangan salah gini gini gue gaul, gak kaya lo pada! Nih, infonya dari si Wati Warta keponakan gue yang merupakan pembantu tetangganya Harsya sebelum pindah kemari, kurang valid apa coba gue? Iya bener kagak Mar?" tanya Mpok Ramonah sambil menyenggol lenganku.

Aku cuman bisa manggut manggut belaga paham. Soalnya kalau enggak gitu, Mpok Ramonah bisa jadi  tersinggung yang akan mengakibatkan aku bisa terkena hipertensi mendadak.

Bukannya apa apa, masalahnya aku tuh malas berdebat sama emak-emak yang doyannya minta gula itu, biarkanlah mereka merasa paling benar sebelum janur kuning melengkung, tuh kan! Kesana lagi aku ingetnya, nasib belum nikah. 

"Hey, hey, hey juga! Ituch Bang Harsya pulangs ngantors!" Tiba tiba si Fifi berteriak paling ganjen. Maklumin aja soalnya dia udah setahun menjanda, mungkin ngeliat duda matanya udah kaya liat durian nomplok. 

Melihat tanda tanda kedatangan si duda keren kami langsung merapikan diri, pura-pura sibuk membahas hal yang penting padahal dusta.

Sebagai perawan satu satunya aku pun harus semangat berjuang, bukan? Toh, Mpok Ramonah saja yang umurnya setengah abad langsung memakai bedak unggulannya.

Masa iya aku yang jomlo enggak beraksi? Kan kita tidak tahu jodoh kita dimana? Itu kata kamus Tatang Sutarman. 

Motor Ninja keluaran terbaru berhenti tepat di depan kami yang lagi baris kaya anak TK. Bang Harsya si duda ganteng melemparkan senyum semar mesem pada kami yang masih takjub sama aura kegantengannya.

"Sore, Ibu-Ibu!" sapa Bang Harsya langsung membuka helm bikin aku tiba tiba panas dingin. Padahal bukan aku saja yang ditanya, mungkin ini efek kelamaan jomlo. 

"Halooww Mas ganteng! Syudach pulangss yacch?" 

Wadaw! Si Fifi kok suara desahannya jadi mirip orang bengek gitu, sih? Syahrini juga bukan! Gue bergidik ngeri, serem juga cara si Fifi.

Bang Harsya hanya menjawab dengan senyumannya yang manis semanis gula jawa bikin suasana sore hari di Komplek yang semula bermuram durja menjadi cerah ceria.

"Iya sudah Bu," jawabnya ramah.

Matanya beralih kepada semua orang yang berdiri di depannya, tak terkecuali aku yang dari tadi perasaan susah ngedip soalnya takut kalau ngedip malah Bang Harsya hilang. Eaaak.

"Jangan panggil Ibuh dongs, Mbak Fifi gituch, kitah kayaknyaaah gaks bedaks jauhh deh umurnyah!" ucap Syahrifi alias Syahrini ala Fifi semakin menjadi. 

"Ish! Elo nih Fi, biasa aja kali kasian kan Bang Harsya kena muncratan nantinya ya kan, Bang?"

Lah! Si Cici kenapa jadi ikutan genit sih? Inget Ci, lakimu tuh di kelurahan!

Tentu saja omongan pada Cici hanya bisa ku pendam dalam hati, karena emang kekurangan aku tuh salah satunya pasif dan gak percaya diri. 

"Iya gak apa apa Mbak, saya kan, baru seminggu di sini jadi saya harus banyak sosialisasi," jawab Harsya tetap sopan dan tenang meski Fifi dan Cici udah kaya cacing kepanasan.

Aku memandang kesal sama Cici dan Fifi bergantian, rasanya tiba tiba panas banget dada aku, harusnya mereka mengalah sama aku si perawan yang belum pernah merasakan malam pertama ini? Sungguh teganya, teganya oh ... pada diriku!

"Lo pade berisik aja diem ngapa? Oh iya, Bang Harsya udah punya gas ama galon belum? Jangan lupa nanti order sama Mpok ya? Mpok Ramonah oke? Jangan ke siapa siapa!" kata Mpok Ramonah setengah promosi.

Mungkin pas dengar kalau Bang Harsya ingin banyak sosialisasi, ide jualannya langsung terbit, maklum Mpok emang orang Betawi asli kerjaannya berdagang dan mengaji. 

"Udahlah! Lo pada kagak kasian sama perawan tingting satu ini? Nih Bang, namanya Maryam Azalia, anak ceweknya Emak Hindun tuh yang rumahnya seberang Abang! Dia masih belum nikah Bang! Kasian dia!"

Astaghfirullah Dwi! Aku melotot pada Dwi yang malah mendorong aku sampai ke depan Bang Harsya persis di depannya. Mata Bang Harsya pada awalnya terlihat kaget, tapi tak berapa lama senyumnya kembali merekah.

Aduh Emak! Aku belum kuat kalau harus berdiri sedekat ini sama Bang Harsya beneran sumpah! Mendingan aku disuruh menimba 100 ember juga boleh asal enggak kaya gini. 

"Halo Mbak, tadi siapa namanya? Maaf saya belum kenal semua," ujarnya sambil menyodorkan tangan, matanya lurus menatapku. 

Aku hanya bisa melongo sambil menelan ludah, sehabis itu langsung keki bertingkah bingung goyang kanan kiri kayak Ondel-Ondel.

Jujur aja mungkin  sikap kayak gini bisa jadi salah satu alasan kenapa aku belum menikah, aku gampang gugup dan enggak bisa ngomong lancar depan cowok, apalagi yang gantengnya paripurna kaya Bang Harsya. 

"Mar! Malah bingung itu diajak kenalan, noh! Kalau enggak gue lagi nih!" ancam Cici dengan tampang Preman menyenggol lengan gue yang masih bingung. 

Aku menangkupkan tangan di dada. "Saya Maryam, sa-saya ting-tinggal ...." 

"Di depan rumah saya kan? Mbak Maryam, karena kayaknya kamu lebih muda saya panggil Maryam aja gimana boleh ya?" potong Bang Harsya sambil tersenyum memamerkan lesung pipinya yang sangat indah. 

"I-iya boleh," jawabku sambil mengangguk belo'on.

Bang Harsya hanya membalasnya dengan tersenyum santai lalu dia meminta ijin pada kami untuk masuk ke dalam rumahnya. Sementara, kami ber-empat masih menyaksikan tubuh Bang Harsya berlalu sampai dia tiba di depan pintu lalu tersenyum pada kami lagi sebelum masuk ke dalam rumah.

Alamak! Senyumnya itu Mak, astaghfirullah kenikmatan haqiqi banget deh bisa lihat Bang Harsya senyum. 

"Gila! Gue jadi berasa pingin single lagi lah kalau liat begini!" gumam Cici tanpa sensor yang langsung disambut mata jutek yang lainnya. 

"Cicih! Itukan haknya Fifih yang jandah! Kamuh gak boleh ya Cih? Setiah dongs!" semprot Fifi gak terima masih dalam mode bengeknya.

Terjadilah perdebatan sengit antara Cici dan Fifi, sementara aku masih mematung tak percaya bisa berkenalan dengan Bang Harsya dan menyaksikan senyumnya.

Diam-diam di dalam hati, aku jadi merasa kasihan, kenapa bisa orang ganteng gitu diselingkuhi oleh istrinya? Apa kekurangan Bang Harsya?

Heum ... zaman sekarang memang udah serba aneh, pernikahan mungkin bagi sebagian orang udah kaya pesantren kilat, pesta gede- gedean terus cerai udah gitu sibuk harta gono gini, bangkrut dikit? Pulang kandang.

Aku jadi miris melihat kenyataan dunia seperti ini, tentu aku berharap calon suami aku nanti harus baik lahir batin, harus! Pokoknya titik.

(***)

Cklek!

Baru aja buka pintu, hidungku langsung mengendus bau makanan. Duileh! Baunya masakan Emak udah  kagak ada yang bisa nyamain lah, meski emak itu bawelnya gak ketulungan tapi apapun yang dipasak sama Emak bisa jadi lezat mengalahkan makanan termahal sekalipun.

Maklum kerjaannya Emak kan emang buka catering selama ini Emaklah yang menjadi tulang punggung aku dan adikku si Ridwan yang lagi pesantren. Namun, semenjak aku bekerja jadi karyawan tetap, alhamdullilah udah enggak merepotkan Emak lagi.

"Elo udah pulang Mar?" tanya Emak yang baru datang dari arah dapur.

Aku menyimpan tas kerjaku kemudian duduk di bangku meja makan.

"Banyak bener Mak masaknya, emang ada yang pesen lagi, ya?" tanyaku takjub melihat berbagai jenis menu ada di hadapan.

"Bukan. Elo kasih noh sama Bang Harsya! Bilangin ini buat dia, terus elo dandan yang cantik pastiin si Harsya terpesona sama elo cem liat bidadari gitu, cepetan sono!" cerocosan Emak sontak membuat aku tersedak tulang ikan karena pas Emak ngomong, pas aku menyomot ikan bandeng.

Aku langsung melotot ke arah Emak kaget. "Kagak ah, Mak! Mak aja, ah!"

"Udah lo sono! Bau kuda badan lo!"

Emak tiba tiba memaksa tubuhku berdiri dan mendorong aku ke kamar mandi.

"Eh Mak, kagak mau ah Maryam kaya gitu kaya gak punya harga diri aja! Kagak, kagak!" Aku menolak heboh saat Emak mulai menyeret aku ke dalam permainannya.

Enggak maulah aku digiring- giring buat mendekati Bang Harsya, enak aja! Gini gini aku masih punya harga diri. Emang aku cewek apaan?

"Mau ke sebrang atau emak hubungin Bang Rojali sekarang? Bilang kalau elo siap jadi bini kedua hah? Pilih mana?"

Buset! Ancamannya mengalahkan ancaman Iran mau menyerang Amerika, terlalu kejam Nyisanak. Aku menatap Emak yang tampaknya serius dengan ancamannya, itu terlihat dari tahi lalatnya yang naik sebelah. Eh, Apa hubungannya?

"Yaudah Maryam ganti baju dulu!" ujarku akhirnya lemas dan menyerah.

Timbang ke depan doang kan? Gampang lah serahkan dalam waktu dua menit lalu kabur begitu gampang! Aku pasti bisa.

Tak perlu waktu lama untukku berganti baju, dengan sedikit make up sederhana akhirnya aku keluar dari kamar.

Emak udah berdiri tegak di depan pintu kamar.

"Nih! Jangan lupa pastikan rantang ini berisi buku nikah!"

Pret! Apaan sih si Emak? Ada ada aja khayalannya. Aku mengambil susunan rantang dari tangan Emak dengan malas. Lalu setelah membaca berbagai doa aku siap menuju rumah Bang Harsya.

(***)

Rumah Bang Harsya emang beneran gede banget. Diliat dari segi manapun,  itu rumah lebih tepat dikatakan istana vampir. Eh?

Habisan dari luar rumahnya sepi banget kaya kuburan baru. Hening penuh misteri, seandainya bukan karena Emak malas kali aku ini mengetuk rumah Bang Harsya. Biasa takut meriang mendadak, maklum masih perawan ting-ting.

"Assalammu'alaikum. Anybody home?"

Ceileh! Gayanya si aku ini udah sok sok-an Bahasa Inggris padahal di sekolah tiap ujian remedial mulu.

"Bang Harsya! Bang!"

Udah berulang kali, masih belum ada tanda tanda kehidupan dari dalam rumah. Kayaknya aku mau balik lagi aja deh, daripada disangka maling, udah make up kayak gini entar disangka nyolong, kan, berabe. Iya, gak?

Belum sempat kaki melangkah terdengar tiba tiba teriakan dari dalam.

"Saya mau bunuh diri aja! Saya tak sanggup hidup seperti ini!"

Astaghfirullah! Itu suara Bang Harsya kan? Apa iya dia saking frustasinya ditinggal istri mau bunuh diri? Kagak bener ini!

"Pisau ini akan menjadi saksi bahwa kematian akan membawa cinta kita!"

Bujukbuneng! Astaghfirullah!

"Bang Harsya! Kenapa Bang? Nyebut Bang!"

Aku ketuk ketuk tapi lagi-lagi tidak ada yang nyahut.

Aku bingung mau panggil Pak RT, kejauhan rumahnya. Mana lambe nyinyir udah pada balik ke kandang, kali ini tidak ada cara lain selain membuka pintu dan menyelamatkan Bang Harsya, bagaimanapun bisa jadi dia jadi calon suami seorang Maryam.

Aku pegang kenop pintu kuat kuat, ternyata sedari tadi gak dikunci.

BRAK!

"Bang Harsya! Jangan mati Bang, cewek gak cuman satu Bang, contohnya aku, tolong Bang Harsya!" terriakku sambil membuka pintu dengan panik dan masuk mencari Bang Harsya. Akhirnya  aku menemukan Bang Harsya di sebuah ruangan dekat kolam renang.

Benar ternyata Bang Harsya lagi berdiri depan pisau sementara di depannya ada seorang cowok yang tampangnya masih muda kira kira seumuran Ridwan.

"Maryam! Ngapain kamu?" tanya Bang Harsya setengah kaget termasuk cowok muda di sampingnya.

"Bang nyebut Bang! Kita gak boleh putus asa Bang! Inget Bang, wanita tidak cuman satu Bang,  jangan bikin perkara ngapa? Sini sini pisaunya aku amanin! Takut khilaf!"

Aku langsung mengambil pisau dari tangan Bang Harsya dan menyembunyikannya di belakang punggung.

"Maryam itu pisau bukan..."

"Gak bisa gini Bang, pisau ini mau aku simpen! Aku takut ini jadi bahaya, gini deh Bang, coba Abang istighfar, banyak yang suka sama ama Abang termasuk aku, jadi udah jangan bunuh diri ya?" bujukku sambil menatap khawatir pada Harsya yang masih memandangku dengan mata bingung.

Pantas dia bingung, pasti dia kaget seorang tetangga cewek telah menyelamatkannya dari bunuh diri yang sia sia bukan?

"Mbak, itu pisau..."

"Kamu juga masih kecil ajarin Abangnya yang bener, masa orang bunuh diri kamu gak larang!" semprotku marah sama anak cowok yang kini menatapku heran.

"Lah! Siapa yang mau bunuh diri Mbak, saya lagi latihan drama buat besok minta tolong Om saya buat jadi lawan main saya, pisaunya juga itu boongan coba aja cek!" tunjuknya pada pisau di tanganku.

Aku mengerutkan kening. Eh? Apa maksudnya drama? Aku meraba bilah pisau ditanganku, eh kok lembek? Tapi kok kaya asli!

"Iya Maryam, saya hanya bantu Wildan buat pementasan bukan buat bunuh diri," ujar Bang Harsya sambil menahan senyum.

Hancur sudah! Ternyata kelamaan jomblo bukan hanya berimbas pada hati tapi juga otakku ini, Emak tolong anakmu!