Disclaimer.
This fanfictions and characters are fictitious. Certain long-standing institutions, agencies, and public offices are mentioned, but the characters involved are wholly imaginary.
Sejatinya penulis tidak pernah menemukan nama lengkap karakter dalam fiksi ini dipakai dalam karya orang lain. Jadi jika terdapat kesamaan dalam penamaan tokoh, itu murni sebuah kebetulan.
R&R, C%C, vomment
Don't Bash!
🏂Comfort Coldly🏄♀
"Pergilah."
Ruangan itu masih sama kelamnya. Siapapun tahu hati pemilik kamar sehancur apa. Malang tak berbau, semua sudah berjalan sejauh ini. Sungguh menyesakkan, dan betapa menyesalnya gadis itu pada keputusannya dulu.
Seharusnya ia menolak jauh-jauh kehadiran pemuda itu.
Seharusnya ia menepis gemericik perasaan tidak keruan karena pemuda itu.
Seharusnya ia biarkan dirinya hancur satu kali saja.
Seharusnya ia lebih baik memilih untuk pergi sejauh-jauhnya.
Seharusnya kakinya tidak membawa pribadinya kesana.
Seharusnya--
"Maaf."
Nadine Milano, gadis itu menggigit bibir menahan isakan. Tidak. Seharusnya dia tidak usah meminta maaf. Seharusnya dia cukup diam dan pergi saja. Tinggalkan Nadine. Tinggalkan gadis yang pikirannya terguncang hebat itu untuk selamanya.
Jangan meminta maaf. Karena cinta Nadine takkan pernah sanggup menolak maafnya.
Tapi apa yang telah pemuda itu perbuat sudah meremukkan hati retak Nadine. Takkan pernah bisa dimaafkan. Sekalipun pemuda itu adalah kelemahan Nadine. Kelemahan terbesarnya. Retaknya. Cacatnya.
Andai mencintai pemuda itu tidak sesakit ini.
"Nadine, aku menyesal."
Nadine menggeleng. Tidak. Jangan teruskan. Itu menyakitkan. Sangat.
Bahkan Nadine sudah menutup mulut dengan kedua tangan. Dia sudah berusaha agar tangisnya tidak terdengar memilukan.
Dan lagi, apa yang pemuda itu sesali? Pertemuan mereka? Takdir yang mencoba main-main dan menyakiti perasaannya? Fakta bahwa Nadine tidak seberharga itu hingga disakiti seperti ini?
Agaknya pemuda itu tidak ingin menyerah. Semua ini, hingga detik dirinya masih mengembuskan napas, jantungnya berdetak menggila melihat presensi gadis di depannya. Tidak. Tidak. Dirinya tidak mungkin melepaskan seluruh dunianya. Sosok yang berisi semua dunia, hidup, mati, jiwa, dan raga si pemuda.
Dia tidak ingin melewati satu kata: terlambat.
Dan hanya ada satu kesempatan.
"Aku sadar aku berengsek, Nadine."
Pemuda itu, mengambil satu langkah lebar yang menepis jarak mereka. Jaraknya dan sang segalanya.
"Tapi si berengsek ini sudah menukar hidupnya untuk gadis di depannya."
Jarak mereka kian dekat.
Nadine terkesiap saat menyadari deru napas menerpa tengkuknya. Sukses menghantarkan gelenyar alami yang selalu ia dambakan. Ia rindu akan hal itu.
Tatkala pemuda itu mengambil langkah berani, memeluk pundak gadisnya dari belakang dengan lembut namun erat seolah tak ingin kehilangan hidupnya, saat napas pemuda itu menerpa telinga Nadine yang mendadak memerah, dan saat suara madu khas pemuda itu mengecai rungunya, Nadine hancur.
"Nadine Ford Milano, Justin Jun membutuhkanmu."
🏂Comfort Coldly 🏄♀
Tbc.