"Momo... Apa yang baru saja aku lihat?" tanyanya tanpa mengalihkan perhatiannya pada gadis yang sedang kesakitan.
"Apakah penglihatanku yang bermasalah?" tambahnya.
"Sstt... Pelankan suaramu," tegur Bai Mo sembari menempelkan telunjuk pada bibirnya. Setelah berkata demikian, ia menarik Bai Xue menjauh dan meninggalkan tempat itu.
"Kita akan mencari tahu nanti, apa yang kamu saksikan tadi sebaiknya kamu simpan dulu setidaknya sampai tugas ini selesai,"
***
Kediaman Tetua Chen
Waktu sudah memasuki siang hari, entah mengapa Fu Xie Lan merasa sangat bersemangat hari ini. Langkahnya mengikuti Wan Lie yang berjalan hampir beriringan dengannya menuju suatu ruangan, dan disinilah ia berada. Sebuah ruangan pribadi yang tidak begitu luas dengan nuansa coklat milik tetua Chen.
"Beberapa buku ini mungkin akan menjawab pertanyaanmu mengenai dunia ini," ucap tetua Chen memilah buku untuk diberikan kepada Fu Xie Lan. Wan Lie yang melihat buku itu disodorkan kepada Fu Xie Lan segera mengambil alih.
"Biar aku saja, buku-buku ini sangat berat," yang hanya mendapat anggukan dari Fu Xie Lan.
"Mungkin kamu butuh beberapa hari atau bahkan minggu untuk menyelesaikan semuanya, apa kamu tidak akan bosan?" tanya tetua Chen melirik sekilas buku-buku yang sudah berada pada Wan Lie. Setiap buku menjelaskan satu bangsa. Vampire, Werewolf, Neptunus, Fairy, Wizard, Lucifer, Manusia, sedangkan Demon? Tidak ada banyak informasi tentangnya. Yang mereka ketahui hanya satu, bangsa Demon adalah yang terkuat dari semuanya.
Jika itu dirinya, mungkin ia perlu waktu satu minggu hanya untuk menamatkan satu buku saja.
"Terima kasih paman, tapi boleh aku meminta sesuatu lagi?"
Sudut salah satu alis tetua Chen terangkat, bingung. Melirik sekilas Wan Lie dan mendapat anggukan yang berarti bahwa turuti semua permintaannya. Ia kembali berkata "katakan, apa itu?"
"Paman Bao berkata sebelumnya padaku bahwa ia akan memberiku pekerjaan, sambil memperlajari tentang dunia ini, aku ingin menghasilkan uang," ucap Fu Xie Lan seramah mungkin.
"Memberimu pekerjaan?"
Wan Lie yang mendengar perkataan ibunya memasang raut wajah tidak suka. Ia benar-benar tidak rela jika ibunya melakukan pekerjaan kasar. Tetua Chen yang memperhatikan perubahan raut wajah Wan Lie menjadi panik. Ia masih ingin hidup, ia tak mungkin berani melakukan hal-hal yang tidak disukai putra Lord itu.
Tok...tok...tok...
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu, pria tua yang namanya baru saja disebut Fu Xie Lan berjalan memasuki ruangan.
"Ah...ternyata kalian di sini," ucapnya santai sembari meraih sebuah kursi yang berada tak jauh darinya.
"Ada apa? Mengapa kau menatapku seperti itu?" tanya tetua Bao karena tatapan tajam tetua Chen yang tertuju padanya.
"Little Xie Lan mengatakan bahwa kamu sebelumnya berjanji akan memberinya pekerjaan?" ungkap tetua Chen perlahan sambil memperhatikan sekilas raut wajah Wan Lie, takut jika apa yang ia katakan adalah sesuatu yang salah.
"Ah iyya, benar. Aku belum memikirkannya, bagaimana kala..."
"Tidak, jangan!" Potong tetua Chen.
"Little Xie Lan, mengapa kamu ingin bekerja? Jika membutuhkan sesuatu, kami akan memberikannnya padamu secara cuma-cuma," tambahnya lagi.
"Tidak, paman. Aku tidak ingin merepotkanmu terlalu jauh, memberiku tempat tinggal saja sudah membuatku sangat bersyukur,"
"Jangan berkata seperti itu, dan lagi aku tak menerima penolakan," ucap tetua Chen memaksa.
"Katakan, apa yang kamu butuhkan?" Tanyanya lagi.
Sementara tetua Bao seketika bungkam. Tiba-tiba ia menyadari kesalahannya. Putra Lord itu sangat memperhatikan gadis ini dan ia bahkan hampir saja membuat kesalahan. Meskipun Wan Lie tidak mengatakannya langsung, namun sikapnya pada Fu Xie Lan sudah cukup menjelaskan bahwa ia tidak suka jika gadis itu melakukan sesuatu yang berat.
"Terima kasih sebelumnya paman," meskipun ia tidak terbiasa mengucapkan kata terima kasih, namun ia harus belajar membiasakan diri. Kondisinya di dunia ini sangat berbeda dengan kehidupannya sebelumnya.
"Aku butuh beberapa pakaian baru dan beberapa tanaman herbal, paman bisakah aku mendapatkannya?"
"Oh tentu, aku akan segera mengganti pakaian yang ada di lemarimu dengan yang baru,"
"Tidak, bukan pakaian seperti itu paman,"
"Lalu?" tanya tetua Chen bingung.
"Aku ingin pakaian yang nyaman di tubuhku saat kupakai, memakai dress seperti ini membuatku sedikit risih karena mengganggu pergerakanku," jawab Fu Xie Lan sambil mengibas-ngibaskan dressnya.
"Emm baiklah, mengenai tanaman herbal yang kamu inginkan, mungkin tetua Bao bisa membantumu," ucapnya kemudian memandang Huang Bao.
"Oh te..tentu, kebetulan minggu depan aku ingin mengunjungi kota Kanca. Kamu tulis daftar herbal yang kamu inginkan lalu berikan padaku, kebetulan aku juga butuh beberapa,"
Huang Bao sebenarnya penasaran dengan gadis ini yang tiba-tiba menginginkan tanaman herbal, namun ia memilih tidak bertanya lebih jauh. Mungkin ia memiliki tujuan sendiri, pikirnya.
"Kota Kanca? dimana itu? Apakah jauh dari sini paman?"
"Tidak terlalu jauh, hanya butuh setengah hari perjalanan, tapi jika aku menggunakan kertas teleportasi maka jarak tidak akan menjadi penghalang. Kota Kanca adalah kota yang tidak termasuk dalam wilayah teritorial bangsa manapun, bisa dibilang kota ini bebas, semua makhluk ada disana dan bebas berinteraksi dengan bangsa lain dengan tujuannya masing-masing. Kota ini tak memiliki aturan ketat. Di kota ini kita juga bisa menemukan barang-barang yang berasal dari setiap bangsa yang dijual." jelas Huang Bao panjang lebar.
"Boleh aku ikut, paman? Sesekali aku ingin melihat seperti apa tempat itu, siapa tau hal itu bisa membantuku nemulihkan ingatanku," ucap Fu Xie Lan seolah-olah telah kehilangan ingatannya.
Seketika tetua Chen dan tetua Bao saling melempar pandangan dan secara bersamaan melirik Wan Lie. Wan Lie yang mengerti arti tatapan itu segera mengangguk mengiyakan.
"Baiklah, kamu boleh ikut denganku. Tapi sebelum pergi jangan lupa minum pil ini," ucap tetua Bao kemudian merogoh saku celananya, mengeluarkan botol porselen kecil dan menyodorkannya pada Fu Xie Lan.
"Itu adalah pil aroma, pil itu akan menyamarkan aroma manusia dalam tubuhmu," tambahnya lagi.
"terima kasih, paman."
.
.
.
Setelah selesai, Fu Xie Lan meninggalkan ruangan dan kembali menuju kamarnya dengan perasaan yang sangat puas, Wan Lie mengikutinya dari belakang sambil membawa beberapa buku yang diberikan tetua Chen. Langkah Xie Lan sangat santai dan begitu riang, ia menjadi tidak sabar untuk segera membaca semuanya.
"Em boleh aku bertanya sesuatu ibu?" ucap Wan Lie tiba-tiba membuat Fu Xie Lan menoleh padanya.
"Hmmm?"
"Untuk apa ibu menginginkan tanaman herbal?"
"Untuk diriku," jawab Fu Xie Lan mantap.
"..." Memiringkan kepalanya, Wan Lie menatap bingung.
"Err... Coba lihat wajahku, kulitku. Semua ini benar-benar buruk, aku butuh tanaman itu karena aku ingin merawat diriku," ucapnya menunjuk wajah dan kulit di pergelangan tangannya.
"Tapi menurutku, ibu sudah sangat cantik," ucap Wan Lie sedikit menggoda ibunya.
"Aku tidak ingin terlihat cantik, aku hanya tidak suka jika kulitku seperti ini, tak terawat, ah terserah kau saja."
"Oh iyya, Wan Lie. Boleh aku meminjam sesuatu darimu?" tambah Fu Xie Lan dan kembali menoleh pada Wan Lie.
"Apa itu ibu? Katakan."
"Aku ingin beberapa lembar pakaianmu, setidaknya sampai aku benar-benar memiliki pakaian yang aku inginkan sendiri."
"Eh, tapi ibu, seseorang wanita yang mengenakan pakaian pria akan terlihat aneh, pakaian yang ibu kenakan sekarang sudah pas dan membuat ibu sangat cantik,"
"Bilang saja, kamu tidak ingin meminjamkannya kan?"
"Tidak, bukan begitu ibu. Hanya saja itu akan terlihat aneh, apa ibu yakin?"
"Yakin? Hahaha sejak di organi... Eh maksudku untuk apa aku memakai pakaian yang hanya akan terlihat cantik di mata orang lain jika itu tidak membuatku nyaman? Aku hidup untuk diriku bukan untuk orang lain. Jadi untuk apa aku memikirkan mereka? Selama mereka tidak menggangguku maka itu tidak apa-apa," ucap Fu Xie Lan kemudian mempercepat langkahnya karena ia baru saja hampir keceplosan.
"Baiklah, jika ibu menginginkannya kenapa tidak?" Teriak Wan Lie menyusul ibunya yang sudah berada agak jauh darinya.
Fu Xie Lan yang mendengar itu hanya tersenyum kecil.
Benar-benar anak yang berbakti
Namun senyum itu hanya berlangsung beberapa detik ketika ia kembali menyadari bahwa sejak kapan ia menjadi begitu ramah dengan orang lain?