Chereads / Diary of 21st Century / Chapter 2 - Prolog

Chapter 2 - Prolog

4 tahun yang lalu...

Okay! Tinggal maju satu langkah dan, here we go! Jadi, inilah SMA. Tempat dimana segala hal bisa terjadi. Cinta, persahabatan, pesta. Atau bisa kau sebut dimana tempat para remaja pubertas melepaskan diri mereka untuk kebebasan. Well, itulah yang mereka katakan.

Tidak bagiku.

Mungkin kalau dilihat sekilas, segerombolan perempuan berbincang, beberapa cowok yang berkumpul entah sedang membicarakan tubuh seseorang. Oh, maaf itu sangat tidak nyaman. Maksudku, kelihatannya memang tidak ada masalah. Tidak setelah kau nantinya mulai jadi target permainan mereka.

Seperti seseorang di sana. Cowok berkacamata kotak dengan rambut klimis dan pakaian yang kalau harus jujur, cukup norak. Sebaiknya aku tak mendekat. Bukan waktunya untuk jadi pahlawan. Aku juga tidak mau pulang dihari pertamaku ke sekolah dengan tubuh lebam dan, kacamata yang patah. Tidak, itu tidak akan baik.

Aku mau bilang para pengganggu itu tak punya malu

Baiklah, kali ini cari kelas. Aku mendekati papan pengumuman dan mencari dimana letak ruangannya. Seingat ku aku memilih kelas biologi. Dan- ini dia!

"Kelas biologi-" gumam seseorang di sampingku.

Otomatis aku langsung menoleh kesamping. Seorang perempuan berambut panjang yang mengenakan kaus hitam yang di masukkan ke celana jeans panjangnya. Dan tanpa kusadari aku malah menatapnya cukup lama sampai ia menatapku balik.

"O-oh! Maaf!" Sontak aku langsung mengalihkan pandanganku dan dengan sengaja kembali berpura-pura mencari.

Ia terkekeh, "Tidak masalah. Kau tahu, jika seseorang memandang mu seperti itu, mereka akan merasakannya." Ujarnya.

"Maafkan aku!" Isaac, kau memang bodoh.

Untungnya ia kembali sibuk mencari. Aku melihat jariku yang menunjuk tepat di ruang biologi. Dan seingat ku, wanita ini menggumam kan tempat itu. Maka dari itu, dengan segala keberanian, aku kembali menatapnya perlahan.

"Kalau boleh tahu, ruang apa yang sedang kau cari?" Tanyaku. Aku harap ia tak menganggap ku sebagai penganggu.

Perempuan itu kembali menatapku lalu tersenyum, "Biologi. Sekolah ini cukup besar, jadi cukup susah untuk mencari kelasnya."

Aku mengangguk-angguk lalu tersenyum, "Ruangannya,"

Aku menuntun jarinya perlahan dengan tangan kananku, "disini."

Aku kembali tersenyum padanya. Aku mengetuk-ngetuk jari telunjuk kiri ku. Karena merasa ini menjadi cukup canggung, aku menggendong tasku kembali lalu pergi menuju ruangan tujuanku. Aku memberikan senyuman tercanggung ku sebelum akhirnya benar-benar pergi dari hadapannya. Aku tahu aku akan sekelas dengan wanita itu. Tapi, aku takkan mengorbankan diriku dengan mengajaknya ke kelas bersama. Aku sudah cukup memalukan.

Setelah duduk dan bel sekolah berbunyi, seorang guru datang, "Baiklah, kacang-kacang baru! Namaku Daniel Woods. Cukup Woods saja. Dan kita akan memulai hari ini dengan kuis pembuka."

Sorak kecewa murid terdengar, "I know, i know! Kalian bisa marah padaku, tapi percayalah! Hal yang kulakukan ini akan bermanfaat untuk kalian."

"Omong kosong!" Bisik salah seolah.

Ya, pasti ada yang tidak suka dengan tipe guru seperti itu. Mereka mungkin mengira guru itu akan menyebalkan. Atau, bisa kubilang mereka yang mengatakan itu lebih menyebalkan dan tak punya otak. Okay! Panggil aku peliharaan guru. Aku tak peduli.

Ketika kertas dibagikan, aku sekilas bisa melihat perempuan tadi yang kutemui di papan pengumuman itu.

"Baiklah, aku ingin tes salah satu dari kalian. Aku harap kalian masih ingat. Pertanyaannya, sebutkan salah satu tanaman parasit yang kalian tahu. Tahan dulu! Aku ingin menunjuk salah satu dari kalian untuk menjawab."

Kumpulan anak-anak yang pandai sosialisasi sepertinya.

"Hmm...kau!"

Tentu saja ia akan berkumpul dengan anak-anak populer. Wanita seperti dirinya yang pandai bersosialisasi takkan sulit mencari teman.

"Hey?"

Sangat berbeda denganku. Berkata sesuatu saja takut, apalagi ikut berkumpul.

"HEY!"

Dan lamunanku terhenti. Aku kembali sadar dan melihat guru itu sedang menatapku, "U-uh, maaf-"

"Siapa namamu, nak?" Tanya Mister Woods.

"Isaac."

"Baiklah Isaac, sekarang beritahu aku jawabannya!" Ujarnya

"Sir! Aku minta maaf-"

"Tidak, aku tidak butuh maaf. Aku butuh jawaban." Potongnya.

Aku tak mengatakan apa-apa. Kelas menjadi cukup hening. Yang terdengar hanya ketukan jari Mister Woods yang seolah-olah sedang menungguku. Oh, iyalah bodoh! Pria tua itu bertanya padamu.

"Jadi, apa jawabanmu daydreamer?"

"P-pak, bisa ulangi pertanyaannya?"

"Oh, tidak! Tidak ada kesempatan kedua untuk orang yang tidak mendengarkan pelajaran ku. Sekarang jawab!" Gertaknya.

Oh, tentu saja! Keren sekali Isaac. Kesalahan pertama yang kau lakukan. Dasar bodoh!

"Uhm...Mistletoe?" Jawabku dengan asal.

Mister Woods melipat kedua tangannya di depan dada, "Aku tak tahu apakah kau sedang berkhayal tentang natal dimana kau mencium seorang gadis atau pria di bawah pohon mistletoe,"

Mereka semua tertawa, "tapi jawabanmu benar."

"Jangan melamun lagi di kelasku!"

Fokuslah Isaac! Kau tak ingin melakukan kesalahan yang sama. Ketika menoleh ke arah perempuan itu lagi, kami malah melakukan kontak mata tiba-tiba. Gadis itu tersenyum lalu terkekeh padaku sebelum akhirnya kembali memerhatikan Mister Woods.

Ketika di kantin, aku duduk sendiri. Well, aku tahu ini akan terjadi. Aku bukan salah satu anggota grup yang sering berkumpul lalu bergosip. Jauh sekali dari grup Nathan. Dia seniorku dulu. Maksudku ia masih sangat populer dan sangat tidak mungkin ia ataupun temannya melirik ke arahku. Aku tidak berharap, tapi ya sudahlah. Dan Ingrid. Ya, dulu aku cukup dekat dengannya.

Cukup dekat.

Dan, sepertinya dia sudah bertemu dengan orang baru. Itu tak masalah. Hanya saja, akan sangat baik jika ia menyapaku.

Setelah melewati semua itu, akhirnya jam pulang datang. Ketika melewati pintu gerbang, seseorang memanggilku. Ketika menoleh, ternyata perempuan itu lagi.

"Hey! Apa kau akan pulang sekarang?"

Aku turun dari sepeda lalu melepas helm, "Ya. Aku akan langsung pulang."

Aku melihat sekitarku sambil menunggu dirinya mengucapkan sesuatu, "Ada yang bisa aku bantu?"

"Uh, tidak. Hanya saja. Kau tahu, melihatmu sendirian saat di kantin tadi sangat menggangguku." Ucapnya.

Aku mengangkat kedua alisku, "Okay, baiklah aku takkan makan di kantin lagi-"

"Tidak, bukan itu maksudku. Aku mau bilang kalau kau boleh bergabung dengan kami." Potongnya.

Aku terkekeh mendengar ucapannya. Aku menggelengkan kepala dengan ragu, "A-aku rasa keberadaanku-"

"Itu akan baik-baik saja. Mereka juga mungkin tertarik untuk berbicara denganmu." Ujarnya.

Aku menundukkan kepalaku sejenak lalu kembali mengangkatnya sambil tersenyum tipis, "Kalau kau tidak keberatan."

Ia terkekeh, "Tentu saja tidak! Sampai ketemu besok."

Ia melambaikan tangan lalu akhirnya pergi. Well, aku merasa lebih baik setelah seseorang mengatakan hal itu padaku. Aku harus berani bertanya namanya. Ayolah, Isaac! Ini tidaklah sulit. Aku menghela napas panjang sebelum memanggilnya lagi.

"Hey!" Baiklah, baiklah! Kau sudah memanggilnya.

Ia menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang.

"Boleh aku tahu namamu?" Tidak bisa menarik kembali kalimat itu, Isaac!

"It's Faren. And you are?"

"Isaac." Jawabku balik.

"See you at lunch, Isaac!"

Dia lalu pergi sambil melambaikan tangan. Well, itu tidaklah sulit. Mungkin aku memang harus sedikit lebih berani.

.

Ya, dan itu membawaku sampai sekarang. Walau mereka tidak bersamaku, pilihan menanyai namanya dan datang ke kantin dihari selanjutnya adalah pilihan yang terbaik.

Karena sekarang hal itu membawa cerita. Tentang aku dan dia. Serta yang lain.