Waktunya bekerja telah usai, ia bergegas pulang ke rumah. Seperti berangkat pagi tadi, ia pun juga harus pulang dengan jalan kaki. Tempo hari, motor yang biasanya ia tunggangi telah di tabrak pengendara mobil hingga rusak parah. Untungnya si pengendara mau bertanggung jawab menanggung semua biaya perbaikan motornya itu.
Hadi, adalah seorang dosen Bimbingan dan Konseling di salah satu Universitas ternama di Sumatra Barat; Universitas Negeri Padang tepatnya.
Hadi berjalan dengan langkah kaki yang cepat, telah nampak di pikirannya bagaimana Welna menyambutnya di rumah nanti. Wanita yang selalu menunjukkan sikap sebagai seorang yang bertanggung jawab atas suaminya selalu membuat Hadi merasa bahwa pulang ke rumah adalah sebuah kenyamanan. Kepada angin angin yang bertiup mengisi hiruk pikuk kehidupan di Kota ia tebarkan senyum pertanda ia tidak terlibat dengan kasus apapun yang merugikan banyak orang, seperti yang para pejabat lakukan.
Hampir di pertigaan jalan langkahnya terhenti, seorang pria paruh baya sedang duduk di trotoar jalan dengan sebuah sepeda motor tua di hadapannya; Hal yang membuat Hadi untuk tidak melanjutkan perjalanannya.
"Pak..." sapanya sambil memegang bahu bapak tadi. "Kok bapak duduk disini? Panas loh pak."
"Iya nak, bapak sedang istirahat. Barusan habis dorong motor" jawab si bapak.
Tampaknya memang ban motor bapak itu sedang kempes, entah karena bocor atau apa lah itu.
"Mari pak saya bantu dorong motornya" tawar Hadi. Si bapak pun tidak menolak atas bantuan pria yang baru saja ia kenal barusan.
"Ayo pak, sepertinya di depan sana ada tempat untuk tambal ban" ...
.
.
.
Habis setengah jam Hadi menemani bapak tersebut di bengkel, selama itu mereka berbincang banyak hal sehingga ia ketahui bapak tersebut bernama pak Oman. Pak Oman adalah bapak dari dua orang anaknya, tinggal di lorong sempit, tidak jauh dari rel kereta api, Tunggul Hitam. Kerjanya tidak menentu, kadang kuli bangunan, dan tak jarang ketika tidak ada panggilan ia menjadi tukang antar jemput galon.
Setelah dirasa motor pak Oman sudah baik-baik saja, Hadi pamit untuk segera pulang ke rumah. Namun lagi-lagi di pertengahan jalan langkahnya kembali terhenti. Kali ini bukan karena ada orang yang ingin dia bantu, tetapi Hadi merasa sakit maag nya kambuh sekaligus memaksanya untuk singgah dulu di warung nasi dekat dari hadapannya itu.
Setelah memesan makanan, sengaja ia duduk di bangku paling pojok rumah makan itu sehingga terlihatlah jalanan dari posisinya itu melalui jendela.
Sedang menyantap makanan, pandanganya menangkap seorang wanita dengan langkah gontainya menapaki trotoar jalan. Semakin langkahnya mendekat semakin pula ia mengingat sesuatu. Semacam ada yang dikenalinya dari cara orang itu berjalan. Hitungan detik wanita itu tepat berjalan melintas di depan rumah makan tempat ia berada. Entah karena terkejut atau apa, wanita itu berhasil membuat Hadi lupa mengunyah makanan di dalam mulutnya. "Dia?", gebu batinnya.
Ia basuh tangannya, berdiri, lalu menuju kasir untuk membayar makanan yang ia makan. Hadi benar-benar memutuskan untuk menyusul wanita itu yang berhenti tepat di Halte tidak jauh dari tempat ia makan barusan.
Siang itu begitu terik, lalu lalang kendaraan kian memadati kota Padang. Wanita itu menatap satu persatu kendaraan yang melintas dihadapannya hingga tak menyadari Hadi yang sudah berada di Halte yang sama dengannya.
Hadi tampak tidak menghiraukan apapun selain wanita itu. Ia hanya mencoba mendekat lalu menyapanya, "hai". Belum ada wanita itu merespon, Hadi kembali menyapa untuk menegaskan bahwa dia sedang berbicara dengan wanita itu. "Nona...", katanya lagi. Wanita itu segera menyadarinya kemudian menolehkan pandangannya pada Hadi. Benar saja wanita itu membuat Hadi gemetar bukan kepalang, ia tiba-tiba menjadi kaku. Untuk beberapa saat matanya tidak berkedip, nafasnya tertahan, kendaraan yang berlalu lalang seolah telah hilang ditelan bumi ketika menyadari siapa wanita yang berdiri di hadapannya itu.
Terasa sulit, namun ia memaksakan mulutnya untuk bicara. "Ainul? Kau... ".