Hari-hari Sabine semakin bahagia. Sejak memiliki hubungan khusus dengan Akhyar, hampir segala sesuatu yang yang dia inginkan terpenuhi, lahir dan batin. Materi yang dia dapatkan tidak dia sia-siakan demi kebahagiaan dan kesehatan Pakde dan Budenya. Mereka berdualah keluarga yang paling terdekat yang dimiliki Sabine. Tentu ini membuat Sabine senang secara batin. Melihat wajah-wajah tua itu berbinar di tiap-tiap harinya. Ditambah lagi, kepuasan batinnya yang dia dapatkan dari setiap sentuhan maut Akhyar.
"Sabine. Ada yang mau kenalan sama kamu. Calon pilot. Anak Bu Teti," tegur Bude Rita sambil menyendokkan satu sendok besar ke piring kosong Sabine. Mereka berdua sedang menikmati makan siang.
"Namanya Tama," sambung Bude Rita.
Sabine tersenyum simpul. Dia pernah ketemu laki-laki yang tampan itu di ujung gang rumah. Pernah juga melempar senyum ke arahnya. Tapi Sabine tentu bersikap biasa saja.
"Hei..., mau dikenalin, nggak?" Bude Rita mencolek pipi mulus Sabine. Sabine tergelak.
"Kenalan? Kan udah saling kenal nama. Sering nemu di depan gang. Ganteng, Bude," decak Sabine seraya mengangkat lutut kanannya ke atas kursi makan. Dia mulai mengeruk lauk pauk yang terhampar di atas meja. Bude Rita membantunya.
"Yah..., ketemuan. Kalo kamu mau, habis makan siang dia mau ke sini. Mau nunggu katanya."
Sabine memejamkan matanya. Sedikit mendengus. Sebelumnya Tama sebenarnya cuek jika berpapasan dengan dirinya di ujung gang. Entah kenapa akhir-akhir ini, Tama mulai menunjukkan sikap manis.
Sabine mencoba menghilangkan pikiran-pikiran aneh. Menurutnya mungkin keluarga Tama mengira keluarganya sedang ketiban rezeki nomplok, karena kehidupan keluarganya memang lebih baik dari sebelumnya.
Dia menikmati makan siangnya dengan hikmad.
***
"Jadi, rencananya kamu mau kuliah di Melbourne, nyusul Mama kamu?" tanya Tama memastikan.
Setelah makan siang, Tama dipanggil Bude Rita, karena Sabine bersedia bertemu dengannya.
"Iya..., dua kakakku juga di sana. Sudah lama aku nggak ketemu,"
Tama manggut-manggut.
"Emang kamu mampu?" tanyanya hati-hati.
"Iya. Aku akan ikut program beasiswa. Khusus orang yang tidak mampu," ujar Sabine cuek.
"Ya..., kalo nggak lolos, aku ikut seleksi tahun depannya lagi, sampe lolos," lanjut Sabine.
"Oh..., rencana ambil program apa?"
Sabine bingung. Ternyata dia sendiri belum menentukan pilihannya. Dia hanya ingin berkuliah saja dan belum tahu apa yang akan dia pelajari di sana.
"Belum tahu sih...,"
Tama memandang Sabine tidak yakin. Dia seperti menganggap Sabine terlalu mengada-ngada. Seperti orang yang tak punya, tapi memiliki impian yang terlalu tinggi. Wajahnya pun seketika berubah seakan mencemooh.
Tidak sampai lima belas menit, Tama pamit.
Sudah diduga Sabine. Banyak pria muda yang naksir dirinya, tapi selalu mundur begitu tahu keadaan yang sebenarnya.
***
Malam ini Sabine menginap di apartemen Akhyar. Akhyar tampak gelisah. Ada salah satu mantan gadisnya yang berulah. Kim namanya. Kim selalu memaksa dirinya untuk bertemu, padahal gadis itu sudah didepak gadis-gadis Akhyar yang lainnya karena melanggar kode etik. Alasan gelisah Akhyar cukup beralasan, Akhyar yang lelah pernah tidur di apartemen Kim. Hanya tidur. Tidak melakukan apa-apa. Ketika tidur, Kim memotretnya seakan-akan dia mabuk, bahkan seakan-akan 'menyerang'nya. Kim mengancam akan menyebar foto-foto yang masih disimpan di dalam ponselnya itu jika Akhyar tidak memenuhi keinginannya, yaitu membelikannya sebuah mobil sport terbaru, padahal statusnya sudah tidak lagi menjadi sugbab Akhyar.
"Dad..., kalau emang dia berani. Menurut aku biarkan saja dia. Kalau kita merasa tidak melakukannya, kenapa kita gelisah," ujar Sabine memberi pendapat. Dia sedang memijat bagian belakang tubuh Akhyar yang terungkup di atas tempat tidur.
"Sebenarnya Daddy nggak masalah dengan keinginannya. Cuma caranya Daddy nggak suka,"
"Yang lain tau nggak sih ulah dia?,"
"Iya. Sama kayak kamu, mereka bilang biarin aja. Cuma Daddy nggak nyaman. Soalnya baru ini kasus gadis Daddy yang nekat seperti dia. Sebelumnya kalau ada yang berulah, kita selalu selesaikan secara baik-baik. Nyesal juga rekrut dia dulu,"
Sabine terdiam. Tiba-tiba dia memikirkan posisinya. Kalau ketahuan yang lain, apakah Akhyar akan segelisah ini? Kasihan juga. Terus dirinya?
Tiba-tiba ponsel Akhyar berbunyi.
"Udah dulu, Sayang. Tolong ambil ponsel Daddy,"
_______
Sabine sudah siap-siap pulang dari apartemen Akhyar. Kini dia sedang bercermin di kamar mandi memperbaiki make upnya. Masih terdengar suara mesra Akhyar melayani panggilan-panggilan dari para sugar babynya. Suaranya sangat renyah disertai tawa bahagia. Selalu ada nada goda dia selipkan di setiap perkataannya. Meski tidak ada kesan mengarah ke kegiatan seksual, tapi memang suara pria setengah abad itu mampu membuat para gadis-gadis cukup tergoda. Sabine semakin tidak mengerti dengan Akhyar. Apa maksudnya melakukan hal yang sangat aneh ini. Sabine semakin curiga, apa mungkin sebelumnya Akhyar pernah melakukan hal yang sama terhadap dirinya kepada gadis lain? Sabine merasa Akhyar sangat berpengalaman memanjakan dirinya selama ini.
Selanjutnya, Sabine semakin gelisah dengan posisinya. Mungkin posisi dirinya sama dengan Kim. Ingin mendapatkan Akhyar seutuhnya.
***