Sabine termenung di kamarnya. Pikirannya mencerna apa yang dituturkan dari mulut dua sahabatnya di café sore tadi. Ternyata Akhyar tidak melakukan hal yang seperti disangka kebanyakan orang. Dia tidak menyentuh gadis-gadisnya. Dia hanya senang memanjakan mereka.
Sabine memejamkan matanya mengingat setiap momen bersama Akhyar. Kadang mereka menghabiskan waktu bersama di apartemen mewah milik Akhyar. Kadang Sabine juga melayaninya di kediamannya, yaitu sebuah apartemen sederhana yang Akhyar belikan untuknya. Bahkan, jika bosan, Akhyar tak segan-segan menyewa hotel mewah hanya untuk berduaan dengan dirinya. Dan di saat-saat romantis itu, Akhyar memang tampak berusaha menjaga agar dirinya tetap 'utuh'. Pria itu tak pernah menginginkan hubungan badan yang 'sesungguhnya'. Berulang kali dia mengatakan bahwa Sabine sangat berharga, dan dia akan tetap menjaganya. Sabine sangat nyaman berada di sisi Akhyar, dia tahu dirinya dan Akhyar saling membutuhkan.
Kini dilemma sudah mulai mendera pikirannya. Satu sisi, dia memang ingin selalu berdekatan dengan Akhyar, karena Sabine menyayanginya. Tapi, apa mesti terus-terusan sembunyi dari mata-mata gadis-gadisnya? Kalau ketahuan? Posisinya bakal terancam.
Di sisi lain dia juga ingin lepas dari tatapan lembut Akhyar. Tapi apa sanggup? Sementara dirinya sangat membutuhkan asupan dari Akhyar, demi dirinya, juga Pakde dan Budenya.
Sabine benar-benar berada di dalam kebingungan.
***
Niko memandang nanar wajah Evi.
"Anak siapa?" tanya Niko serak. Berulang kali dia membersihkan kaca matanya dengan kaos putih tipisnya.
Evi menunduk dalam-dalam.
"Aku sudah bilang. Kita bisa pisah baik-baik. Aku sudah bilang, lepaskan aku. Kalau begini, kamu juga nanti yang malu."
Evi bersimpuh di kaki Niko.
"Maafkan aku , Niko...," isaknya seraya mendongakkan kepalanya memandang wajah Niko yang pasrah.
Niko tidak sanggup memandang wajah istri yang sangat dia cinta. Dia sama sekali tidak menyangka apa yang telah diperbuat Evi. Berselingkuh dengan pria yang tidak lain adalah sahabat terdekatnya, Cakrabirawa.
Namun Niko tetap tampak berusaha tegar, meski sakit hati tidak dapat dia hindar.
"Kenapa sekarang, Sayang. Kenapa nggak dari dulu...," desah Niko lirih.
Evi memburu Niko.
"Maaf, Niko...,"
Niko menarik tubuh Evi yang bersimpuh di hadapannya. Lalu memeluknya.
"Kita cerai...," desahnya sambil memejamkan matanya kuat-kuat.
***
Sebelumnya...,
Evi kini menjabat sebagai salah satu pejabat tinggi di kantornya. Sibuk tidak dapat dia elak. Hampir setiap minggu dia harus pergi dinas ke luar kota. Kadang bahkan ke luar negeri, menggantikan posisi atasannya. Karir Evi memang sangat gemilang. Hasil kerjanya yang sangat mengagumkan mengantarkan dia menuju puncak kesuksesan.
Niko pun demikian. Tidak saja jabatan yang dia dapatkan sebagai kepala komisaris bagian keuangan di perusahaan, dia bahkan menjadi orang terdekat atasannya, Akhyar Sirojuddin. Kejujuran, kepatuhan dan ketelitiannya mengurus perusahaan yang bergerak di bidang keuangan tersebut, juga membawanya menjadi orang yang cukup disegani baik di kalangan staff senior maupun junior. Niko juga tidak segan membantu pekerjaan rekannya jika mereka berada dalam kesulitan. Hal ini tentu saja membuatnya sangat sibuk, bahkan terkadang lupa akan urusan rumah tangganya.
Ini mungkin karena keadaan mereka yang sudah dipastikan tidak akan bisa memiliki keturunan, membuat mereka berpikiran lebih baik sibuk dengan kerjaan di kantor. Mereka tidak ingin terus larut dalam kesedihan. Lebih baik memanfaatkan diri untuk orang lain saja.
Namun, Evi goyah.
Niko curiga. Karena Evi kerap muntah-muntah di pagi hari menjelang bersiap-siap ke kantor. Evi yang pada awalnya ingin terus menutupi skandalnya, akhirnya mengaku. Sudah hampir enam bulan dia menjalin hubungan terlarangnya dengan Bira, sahabat dekat Niko.
Evi yang kerap curhat dengan Bira karena selama menikah tidak mendapatkan kepuasan batin dari Niko, akhirnya luluh juga dengan rayuan maut Bira. Rayuan yang membuatnya terbuai dan lupa akan status dirinya sebagai istri sah Niko. Dia mengira awalnya hubungannya aman-aman saja dengan Bira, karena selama berbulan-bulan dia pun tak kunjung hamil. Evi juga sangat bahagia saat mendapatkan kepuasan batin yang sesungguhnya lewat Bira. Hingga akhirnya, dia hamil. Dan pasti bukan benih Niko.
***
"Kamu yang gugat, Evi. Biar nama kamu tetap terjaga. Biar anak ini segera bisa didaftarkan di catatan sipil. Kamu bisa menikah dengan Bira secepatnya. Aku akan percepat urusan kamu,"
"Aku ragu apakah Bira...,"
"Aku akan paksa dia. Kita urus perceraian kita dulu. Biar anak ini jelas statusnya. Aku nggak mau nama kamu tercoreng, Sayang...,"
"Niko..., apa masih ada harapan kita balikan?"
Niko menggeleng.
"Evi...,"
"Aku cinta kamu, Niko,"
"Aku juga cinta kamu, Evi. Tapi cinta yang beda,"
"Nikooo...,"
"It's okay...,"
Evi menangis sejadi-jadinya. Tiba-tiba dia merasa sangat menyesal. Dipukul-pukulnya perutnya kuat-kuat, Niko dengan cepat mencegahnya.
"Stop, Evi! Apa yang kamu lakukan?"
"Aku menyesal, Niko!"
"Niko memeluknya kuat-kuat.
"Sudah..., kamu bawa tenang. Anggap ini kesalahan kita berdua. Jangan merasa kamu yang bersalah. Jalankan saja prosesnya, ikuti arusnya. Jika kita sudah melakukan sesuatu yang salah, kita harus bertanggung jawab. Kamu akan menyesal nanti, Evi. Seandainya kita bersatu, aku tidak akan menjamin aku masih seperti dulu. Dan kamu yang akan tersiksa...,"
Evi menggigit bibirnya getir. Dia tidak menyangka pernikahannya akan segera berakhir. Pernikahan dengan seseorang yang sangat dia cinta. Tapi apa boleh buat. Dirinya sudah berkhianat. Niko tidak bisa lagi bertahan. Pun jika dipertahankan, pasti akan berbeda keadaannya; Evi yang akan terus merasa bersalah, dan Niko yang akan terus merasa dikhianati. Tidak ada gunanya lagi.
***
Niko benar-benar menjalankan proses perceraiannya dengan seksama. Tidak sedikitpun raut kecewa terlihat dari wajahnya. Niko sangat tenang. Sikap ini justru membuat Evi semakin menyesal. Baru menyadari bahwa Niko memang sosok yang sangat baik dan sabar. Sosok yang tidak bisa lagi dia miliki, dan bahkan mungkin tidak akan dia temui di diri laki-laki lain. Apalagi Niko selalu menggenggam tangannya selama proses persidangan. Juga tidak lupa mencium keningnya.
Niko benar-benar tegar. Dia sampai-sampai mengakui bahwa dirinya memang tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan batin istrinya, demi nama Evi Kumala Anjani, dan demi anak yang dikandung Evi.
Setelah proses perceraian benar-benar selesai, Niko tetap memantau Evi. Hingga masa iddah selesai, tugas Niko kini beralih menikahkan Evi dengan Bira. Untungnya, Bira koperatif, meski awalnya dia tampak enggan bertanggung jawab. Ancaman Niko tidak main-main, kartu truf Bira sudah berada di tangannya. Meski sebelumnya Biralah yang berjasa atas karir Niko di kantor, dan dirinya memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat dengan Akhyar, tetapi Niko tidak gentar, Bira harus menikah dengan Evi. Bahkan dirinya menjadi saksi pernikahan. Pernikahan yang amat sederhana yang hanya diketahui kalangan tertentu saja.
Evi? Akhirnya dia pun tenang.
Ini juga berkat Niko yang tenang dan selalu mempermudah segala proses yang mesti dia jalankan, demi kebahagiaan Evi dan anak yang dikandungnya.
***