"Gimana?,"
"Apanya yang gimana?,"
Terdengar tawa renyah dari laptop yang ada di hadapan Niko. Dia sedang menerima video call dari kekasihnya, Evi.
"Yaaa…, baru aja selesai beres-beres kamar nih,"
"Kamarnya mewah banget, Niko. Jauh banget dari kamar kosanmu yang dulu. Jorok…,"
"Namanya juga orang kaya. Doain kerjaan aku lancar ya, Sayang,"
"Iya. Anaknya mana?,"
"Masih di kamar. Ntar jam 7 mulai kerja. Belajar. Aku belum susun jadwal. Belum ngerti juga gimana. Paling nanti didiskusikan sama Sabine,"
"Yang aku liatin di facebook, betul kan? Edith Sabine Mahfouz? Itu ya, Niko? Wajahnya yang itu kan?,"
"Iyaaa…,"
"Ih. Aku hanya mastiin, takutnya bukan yang itu anaknya. Maklum, banyak penipuan, Niko. Apalagi gaji yang ditawarkan belasan juta. Takut-takutnya malah lain yang dikerjain…,"
"Ya nggaklah. Kalo macem-macem kan tinggal kabur…,"
Niko senang dihubungi pacarnya. Pacar yang sangat pengertian, juga baik hati. Hubungan Niko dan Evi sudah berjalan lima tahun. Tidak ada lika liku. Mulus, tanpa pertengkaran. Cinta mereka sangat kuat, begitu ada yang ganggu, mereka cepat mengatasinya. Misal, ada yang naksir Niko nih, Niko dengan mantap bersikap elegan dengan tidak menanggapi. Begitu juga dengan Evi. Saling terus terang dan jujur adalah kunci sukses hubungan mereka yang lumayan membuat iri teman-teman di kampus.
Tak lama terdengar bunyi pintu kamar Niko diketuk pelan.
"Eh, ada yang nyamperin aku, Evi. Ntar malam aku kenalin kamu si Sabine… Bye, Sayang. Mmuach,"
Niko beranjak menuju pintu kamarnya.
"Mas Niko…, makan malam udah siap…," ujar Erni sopan. Dia tampak kikuk berhadapan dengan Niko.
"Ini masih pukul 5.30, Erni. Belum malam, masih sore," tanggap Niko tersenyum.
"Iya. Kalo di sini makan malamnya jam segitu…, kan nanti jam 7 Mas kerja."
Niko berpikir sejenak. Sebenarnya dia belum lapar.
"Nggak papa, Mas Niko. Kalo belum lapar. Ini saya cuma ngasih tau kalo jam segini makan malam udah siap,"
Pintu kamar Sabine terbuka. Tampak Sabine dengan santai ke luar dari kamarnya.
"Eh, Sabine. Mau makan kan?," tanya Erni.
"Iya…, Om Niko nggak sekalian makan? Yuk? Sama aku,"
Erni melirik Niko.
Niko sedikit kaget mendengar ajakan Sabine.
"Ok," ucapnya akhirnya.
______
Erni langsung sibuk melayani Sabine dan Niko yang sudah duduk rapi di depan meja makan. Dia sangat cekatan sekali. Sepertinya dia sudah lama bekerja di rumah keluarga Sabine. Terlihat dari sikapnya dengan Sabine yang sangat akrab, juga tatapan Erni yang hangat ke Sabine.
"Malam ini mau belajar apa, Bin?," tanya Niko mencoba mengakrabkan diri, sambil mengambil lauk pauk yang terhidang.
"Bin? Emang aku tong sampah?,"
Duh, perasaan Niko langsung anyep. Diliriknya wajah Sabine sekilas. Sabine sedikit cemberut.
"Maaf…, Sabine,"
"Jangan sampe Om manggil aku Sabun kayak teman-teman aku di sekolah,"
Niko tertawa lepas kali ini. Baru kali ini dia merasa terhibur oleh celoteh anak perempuan.
"Atau Om panggil kamu Edith?,"
"Nggak. Kayak nama cowok,"
"Itu nama cewek,"
Sabine mencibir.
"Panggil aku Sabine, Om,"
"Sabine…, belajar apa ntar malam?," ulang Niko bertanya.
"Hmmm…, Bahasa Inggris, sama sains. Ntar aku tunjukkan buku-bukunya,"
Niko mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Enak, Mas Niko?," tanya Erni yang sedang melap-lap piring-piring yang baru dia ambil dari mesin cuci piring.
"Iya, Erni. Mantap. Sayur asemnya apalagi…,"
"Alhamdulillah. Betah kayaknya nih,"
Tiba-tiba Niko seperti mengingat sesuatu.
"Mama kamu nggak ikut makan?," tanyanya ke Sabine. Sabine dan Erni tampak saling pandang. Lalu Sabine menggeleng sambil memandang wajah Niko dengan raut murung.
"Mama punya acara sendiri," jawabnya datar.
"Hm…, Papa kamu?," tanya Niko lagi.
"Di Melbourne,"
"Oh…,"
Sepertinya Sabine tidak begitu nyaman dengan pertanyaan seputar keluarganya. Dan Niko memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Lebih baik menikmati makan malamnya yang enak ini. Apalagi melihat sikap Erni yang tampak memandang Sabine dengan wajah gundahnya. Sepertinya ada yang tidak beres dalam keluarga ini, batin Niko.
_____
Sabine dengan serius mendengarkan penjelasan dari Niko yang mengajarinya malam pukul tujuh.
"What exercise you should do?,"
"Hm…, Exercise number forty one, it is about how we greet someone we don't know,"
"You didn't follow the instructions written in this book when you greeted me this evening,"
"Well, we are in Jakarta, not in Melbourne,"
Niko tertawa.
"At least, you practised,"
Sabine mengerlingkan matanya sambil terus menulis.
"Di sekolah ngomong Inggris dong?,"
Sabine mengangguk.
"School is so boring. Guru-guru suka pilih kasih. Lebih meratiin yang mereka suka aja,"
"Well, try to attract them,"
"What for?,"
"To be liked,"
"Then? You changed? Like a doll?,"
Niko tertawa lagi. Sabine tampaknya anak yang cuek dan blak-blakan.
"Grown people are sometimes full of deception,"
Niko terdiam. Wajahnya langsung berubah. Ada nada sinis di ucapan Sabine.
"Seperti Tante Ika…, manis di depan Mama, sadis di depan aku. Mama juga, manis di depan Papa, di belakang berkhianat,"
Niko menghela napas panjang.
"Yuk. Terusin PR kamu, Sabine," ujarnya. Perasaannya mulai kikuk.
"Hope you're not like them,"
"Ok…,"
Setelah PR Bahasa Inggris selesai, Niko lalu membantu Sabine mengerjakan PR Sains. Dan kali ini suasana kembali hangat, tidak seperti saat mengerjakan PR Bahasa Inggris tadi. Karena yang dibahas mengenai tubuh anatomi hewan. Ada banyak istilah-istilah yang baru diketahui Sabine. Dia senang diajar Niko yang mengajarinya dengan sabar.
"Sabine. Ada yang mau kenalan. Boleh? Abaikan saja peraturan yang diajarkan tadi. Hehe," pinta Niko setelah mereka mengerjakan PR-PR sekolah Sabine.
Sabine memandang heran Niko.
"Pacar Om. Namanya Evi. Katanya dia udah sent request pertemanan fb kamu. Tapi belum kamu confirm,"
Tatapan Sabine serius kali ini.
"Ok…," katanya sambil menyusun buku-buku. Niko membantunya.
Dan Niko menghubungi Evi.
"Halooo… Oh hai…, Sabine ya?," seru Evi yang terperangah melihat wajah Sabine dan Niko sudah ada di layar laptopnya.
"Aku Evi, pacar Kak Niko,"
"Om Niko, Eviii…," ralat Niko.
"Aaaa. Oke…,"
Sabine tersenyum ke arah laptop sambil melambaikan tangannya.
"Kok lebih cakep dari foto di FB…," puji Evi yang mengamati wajah Sabine dengan seksama.
"Kamu buleee habisss," seru Evi. Dia heboh sekali. "Kapan-kapan kita jalan-jalan yuk?,"
Sabine mengangguk senang.
"Cantiiik…, gede banyak yang naksir nih," Evi tak henti-hentinya memuji Sabine.
"Hush. Kamu ngajarin nggak bener. Masih bocah, Viii," sela Niko.
Evi dan Sabine lalu saling memperkenalkan diri masing-masing. Sabine yang duduk di bangku SD kelas 4, dan Evi yang bekerja di sebuah perusahaan asuransi jiwa. Sabine senang diperkenalkan Niko ke Evi yang hangat dan sangat ramah. Dia merasa ditemani banyak orang.
"Ok, Sabine. Udah hampir jam 9. Oiya, mana jadwal kamu yang kamu janjikan tadi sore?,"
Sabine merenggangkan otot-ototnya. "Besok aja, Om. Udah ngantuk banget. Soalnya nanti aku musti jelasin lagi, takut Om Niko ada pertanyaan,"
Niko setuju.
Malam pertama yang indah dilewati Niko dan Sabine. Niko senang, karena Sabine ternyata anak yang penurut dan pintar. Sabine juga sangat hangat dan cepat akrab. Namun tetap saja jati diri Sabine meninggalkan banyak pertanyaan di benak Niko. Terutama mengenai keduaorangtuanya.
***
"Jadi Papa Sabine itu diplomat?,"
Erni mengangguk.
"Iya, Mas. Sebentar ke Eropa, trus ke Afrika. Kadang di Arab. Sekarang di Asutralia,"
"Hush, Australia…,"
"Eh, Mama Sabine bilangnya Asutralia kok, Mas,"
Niko terkekeh.
Pagi-pagi sebelum mengantar Sabine ke sekolah, Niko menyempatkan diri ngobrol dengan Erni. Sekadar bertanya-tanya mengenai keluarga Sabine.
"Bu Carmen itu istri kedua,"
Niko sedikit kaget.
"Tapi Sabine itu anak dari istri pertama. Anak bungsu,"
Niko kaget lagi.
"Bu Carmen nggak punya anak sama Pak Mahfouz. Jadi untuk menemaninya di sini, Sabine yang diajak Pak Mahfouz ke sini,"
Duh. Pagi-pagi Niko mendapat cerita sedikit aneh mengenai keluarga Sabine. Pantas saja Sabine terlihat tidak begitu semangat jika ditanya perihal kegiatan 'mama'nya.
Tapi Niko senang. Sikap hangat Erni mampu membuatnya betah berada di rumah mewah itu.
***