Deni berusaha semaksimal mungkin agar pijakan kedua kakinya saat ini terasa kuat agar dia tidak terjatuh, sedangkan Joseline juga tidak memberikan Deni banyak kesempatan karena ia langsung menendang telak ke arah perut Deni menggunakan kaki kirinya hingga membuat Deni harus terhempas ke belakang hingga hampir satu meter lebih dan menabrak dinding.
"Bergerak sedikit lagi dan kau kupastikan akan mati!" ancam Joseline sambil menodong Deni dengan pistol yang sedang ia genggam dengan tangan kanannya.
Sedangkan Deni yang melihat dirinya sudah terpojokkan dan sedang ditodong oleh orang asing hanya bisa pasrah saja dan berharap Erka akan menolongnya.
"Tan, kelamaan ngurus dia.." keluh Joseline sambil menembakkan peluru pistolnya ke arah Erka dan Erka langsung jatuh dan tertidur karena memang dua peluru pertama yang akan keluar dari peluru Joseline hanyalah obat bius saja.
"Sialan kau, Erka sudah kau bunuhhh...." amuk Deni yang entah darimana setelah melihat Erka yang sudah tertembak dan dikiranya sudah mati oleh Joseline langsung berdiri dan hampir menerjang Joseline jika saja ia tidak menembakkan peluru biusnya ke arah Deni dan membuat Deni pingsan beberapa detik setelahnya.
"Padahal aku masih pengin main (bisa dalam artian, memukul, menendang, menyayat, menembak, membunuh dll) sama dia" tunjuk Intan ke arah Erka dan dibalik maskernya terlihat sedang cemberut.
"Jangan sekarang, kalau misi kita udah selesai, terserah kamu mau ngapain." balas Joseline mulai kesal.
"Iya dehh iya" timpal Intan yang menurut dengan perkataan kakaknya
Setelah itu mereka berdua terus melanjutkan perkerjaan yang tadi sempat tertunda akibat ulah Deni dan Erka. Dan untungnya sama sekali tidak ada saksi di tempat mereka berempat sempat bertarung tadi karena sebenarnya saat ini bukanlah waktu menjenguk di rumah sakit, jadi sepanjang lorong rumah sakit terasa sepi.
Setelah itu Joseline juga memutuskan untuk mulai tidak bermain aman lagi, karena menurutnya ia juga harus berani mengambil resiko.
Mereka berdua terus menggiring mayat si kepala sekolah hingga menuju lift yang biasanya khusus dipakai untuk menaikkan pasien menuju kamarnya, maka dari itu luas liftnya terasa lebih daripada lift yang biasanya.
Joseline tidak menduga ini, ketika mereka berdua sedang turun menuju ke bassemant, tiba-tiba juga ada yang memencet tombol lift dari lantai dua. Tentu saja mereka berdua langsung menjadi waspada dengan siapapun yang akan mereka temui di bawah.
Intan juga sempat terlihat menyeringai ketika menyadari bunyi lift tanda mereka telah sampai di lantai dua. Dan ketika pintu lift terbuka, terlihat sosok dokter yang berjenis kelamin pria dan sudah berumur terlihat dari rambunya yang lebih banyak warna putihnya ketimbang warna hitam.
Dokter itu memasuki lift tanpa curiga sedikit pun terhadap dua orang petugas yang sedang membawa mayat diatas meja roda, ia pikir, mereka berdua hanyalah petugas yang cuma lagi sial kebagian shift malam.
"Kalian kebagian shift malam ya?" tanya Dokter itu tiba-tiba tanpa melihat kebelakang tanpa memperlihatkan wajahnya yang sudah pucat dingin sedangkan Intan saat ini terlihat sudah siap dengan pisau yang ada di balik badannya saat ini dan berniat ingin memakainya jika saja tangannya tidak ditahan dengan kuat oleh Joseline.
"Iya dok, padahal enak shift pagi aja..." balas Joseline berusaha untuk mencairkan suasana.
"Haha, kalo gitu nikmatin aja malam ini, rumah sakit ini ga serem kok.." dan tepat setelah ia berkata seperti itu, pintu lift sudah terbuka tanda mereka sudah sampai di bassement.
"Iya dok, haha" balas Joseline sambil mendorong meja si mayat Kepala Sekolah keluar dari lift bersama Intan.
Dan ketika mereka berbalik ke arah lift, terlihat tidak siapa-siapa lagi di dalam alias kosong sebelum pintu lift benar-benar tertutup dan mulai naik menuju lantai empat.
"Hah, orang itu kemana?" tanya Intan yang keheranan karena
"Dia bukan manusia." balas Joseline simpel.
"Ohh, Intan paham kak" ucapnya sambil mengangguk-anggukan kepala.
"Kita masih tetap harus bergerak, jangan terlalu lama membuang waktu yang tidak berguna." balas Joseline mendorong meja roda.
Setelah itu mereka berdua mendorong meja roda, melewati bassement yang biasanya juga dijadikan sebagai parkiran mobil meskipun, lorong yang terasa sepi dan ditambah lagi penerangan yang ada disitu hanya ada sedikit melengkapi kesan menakutkan tempat itu.
Tujuan mereka berdua saat ini adalah langsung ke mobil dan jarak mobil mereka dengan lift tempat mereka turun tadi sekitar dua ratus meter. Dan tentu saja tidak membutuhkan waktu lama bagi mereka untuk sampai di mobil.
Mayat si Kepala Sekolah langsung diangkut ke dalam mobil dan ditaruh asal oleh Intan, karena ia tak peduli dengan apapun yang terjadi dengan mayat itu. Sedangkan Joseline, setelah menaruh asal meja roda yang tadinya mereka dorong-dorong diatas, kali ini yang menyetir mobil mereka berdua.
Meskipun yang menyetir adalah Joseline, ia masih tetap menyetir dengan cara biasa layaknya orang biasa ketika sedang berkendara karena Joseline tidak ingin memancing terlalu banyak orang dalam misi kali ini.
Menurutnya akan sangat berbahaya jika aksi mereka berdua disaksikan banyak orang dan akan sangat susah untuk membungkam mereka semua.
Jalanan pun juga masih terlihat jauh dari kata sepi meskipun jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas lebih lima menit. Entah pagi, siang, sore, ataupun malam, kota ini tak pernah lelah untuk beraktivitas.
Dan sudah jelas tujuan mereka berdua kali ini adalah langsung menuju SMA Cakrawala yang bisa mereka tempuh dalam waktu sekitar dua puluh menit ketika sepi dan satu jam ketika jalanan lagi macet-macetnya.
"Karya kita nanti kayaknya bakal tambah heboh ya kak? hahaha" ucap Intan di tengah perjalanan sambil ketawa-ketawa layaknya seorang psikopat.
"Tentu saja, biar semua orang-orang busuk yang ada di dunia ini tau tentang kehebatan kita" balas Joseline yang sangat percaya diri.
"Nanti mau kita apakan mayat si Kepala Sekolah, Kak? gantung? mutilasi? beleh? dipaku?" tanya Intan bertubi-tubi.
"Kau benar-benar adikku hehe.." timpal Joseline merasa bangga dengan adiknya dan sempat mengelus-elus rambutnya sebentar."
#Disisi lain... (1 jam sebelumnya)
Mundur ke satu jam sebelumnya, setelah Deni, Erka, Lea, dan Tari memutuskan untuk membagi tim menjadi dua. Tugas Lea dan Tari adalah mengecek ke kamar Zafran. Mereka berdua juga sempat ketakutan ketika melihat beberapa mayat tergeletak di lantai dengan bersimbah darah, seperti orang-orang yang baru saja dibunuh. Meskipun begitu, mereka berdua tidak bisa melakukan apa-apa, dan hanya bisa melewati mereka berdua saking takutnya.
Mereka berdua juga sama sekali tidak teringat untuk menghubungi nomor kantor polisi.
Dan ketika mereka berdua sudah sampai disitu, terlihat di dalam kamar itu sudah kosong. Tidak ada siapa-siapa lagi di dalam sana, bahkan keluarganya Zafran sendiri.
Yang terjadi sebenarnya adalah, ibu Zafran menganggap Zafran sendiri setelah terbangun dari komanya yang panjang dan melarikan diri dari rumah sakit entah menuju kemana. Karena merasa kamar Zafran di rumah sakit sudah tidak dipakai lagi, jadi mereka semua memutuskan untuk pulang.
Dan hingga sampai saat ini, keluarganya, termasuk ayahnya lah yang paling bekerja keras untuk menemukan anaknya yang sedang kabur saat ini.
"Kamarnya kelihatan udah bersih, apa dia udah pulang kerumah ya?" tanya Tari penasaran sambil mengintip ke dalam kamar sebentar.
"Mungkin sih, nanti kita tanyakan ke bagian resepsionis aja." saran Lea.
"Untuk sekarang, ayo kita cari Deni dan Erka." tambahnya.
"Iya" balas Tari setuju.
"Yang tadi kita liat gimana? kita ga bisa lewat begitu aja..." tambah Tari mulai takut.
"Untuk sekarang kita harus diam dulu, jangan memancing perhatian karena kita mungkin bisa dicurigai sebagai pelakunya." jawab Lea.
"Hmm, ayo kita telpon polisi aja sekarang. Kita harus lapor ke mereka tentang ini." balas Tari.
"Kamu aja yang nelpon" timpal Lea.
Setelah Tari melaporkan tentang mayat-mayat yang tadi sempat mereka berdua lihat di Rumah sakit, dalam perjalanan mereka berdua menuju ke lift, saat itulah mereka juga melihat Deni dan Erka
Tergeletak di lantai.
"T tidak mungkin, Deni dan Erka...." ucap Lea sangat terkejut dan langsung berlari mendekati ke arah mereka berdua.
"Ap apa yang sebenarnya ter terjadi??" tambah Tari yang kebingungan dengan Deni dan Erka tergeletak begitu saja tanpa alasan yang jelas dan juga ia mulai sedikit gemetaran saat ini.
"Deni masih hidup!" balas Lea yang sedang memegang tangan kiri Deni, berusaha untuk mengecek tanda-tanda kehidupan melalui nadinya dan ia juga sempat memeriksa hidung Deni untuk mengecek apakah ia masih bernafas atau tidak. Dan jawabannya adalah Deni masih bernafas.
"Serius??" tanya Tari yang masih tidak percaya dengan yang barusan ia dengar, karena dari sepanjang perjalanan sebelum ia menemukan mereka berdua, yang ia temui adalah mayat yang tergeletak dimana-mana.
"Iya! coba cek si Erka" balas Lea yang masih memegangi tubuhnya Deni.
"Umm" ucapnya sambil mengangguk lalu melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Lea sebelumnya.
"Erka juga masih hidup.." tambah Tari yang masih agak tak percaya.
Tidak lama setelah mereka berdua menemukan Deni dan Erka yang masih tak sadarkan diri karena dibius oleh Joseline dan Intan, para petugas yang berwenang dan medis (karena sebenarnya memang terjadi di rumah sakit :v) mulai berdatangan menuju rumah sakit.
Karena peristiwa ini juga termasuk ke dalam kasus besar, otomatis para media juga mulai berlomba-lomba untuk mencoba mengorek informasi terhadap apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah sakit.
Jumlah petugas yang datang juga tidak sedikit, terlihat dari banyaknya mobil dan sirine yang masih menyala di luar rumah sakit sendiri.
Lea dan Tari juga ditemukan petugas sedang dalam memegangi tubuh Deni dan Erka yang masih tergeletak di lantai.
Karena status mereka berdua juga masih belum jelas, Lea dan Tari diminta juga ikut ke kantor polisi untuk diintrogasi nanti.
Keadaan di dalam rumah sakit yang tadinya masih agak hening sebelum kedatangan para petugas juga langsung berubah menjadi riuh. Bagi mereka yang menemukan puluhan mayat yang tergeletak sepanjang lorong rumah sakit dan bahkan mungkin jumlah korban yang akan ditemukan bisa bertambah lagi nantinya.
Para penyidik yang sedang menginvestigasi malam itu juga sempat dibingungkan karena satu-satunya bukti tentang para pelaku melalui kamera cctv yang berada di dalam rumah sakit juga sudah disabotase oleh Intan.
Tidak ada rekaman kamera, saksi yang melihat, dan sidik jari yang tertinggal menambah pusing para penyidik.
Terlepas dari semua itu, bagian Lea dan Tari langsung diambil alih oleh Joni dan Novanto yang juga ikut menyelidiki di rumah sakit itu, sedangkan Deni dan Erka masih terbaring dan dirawat di rumah sakit yang sama untuk efisiensi waktu. Dan juga karena menurut insting Novanto sendiri, ia seperti pernah melihat wajah mereka berdua, entah dimana.
Maka dari itu, sebelum Novanto membawa mereka berdua, ia meminta bantuan Joni untuk mengecek latar mereka berdua. Dan belum sempat bagi lima menit bagi Joni untuk mengorek latar belakang mereka berdua. Bagian yang langsung membuatnya menarik adalah mereka berdua juga termasuk murid dari SMA Cakrawala.
Saat ini mereka berlima sedang dalam perjalanan menuju kantor untuk investigasi lebih lanjut. Novanto memang sengaja mengajak salah seorang penyidik wanita yang ia kenal untuk juga ikut kembali ke kantor bersama mereka berempat, agar Lea dan Tari tidak berpikir mereka berdua akan berbuat macam-macam nantinya.
Posisi mereka berlima saat ini di dalam mobil adalah Joni dan Novanto, sedangkan yang berada di tengah adalah Lisa, Tari, dan Lea. Tangan Lea dan Tari saat ini memang sengaja tidak diborgol karena status mereka berdua sementara ini hanyalah sebagai saksi saja.
"Kita akan kemana?" tanya Lea yang merasa penasaran akan dibawa kemana mereka berdua sekarang ini.
"Ke Kantor Polisi, kalian ga usah takut sama kami." balas Novanto santai sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
"Orang tua kalian berdua juga bakal dihubungi setelah sampai disana" tambah penyidik wanita yang bernama Lisa.
"Hmm, oke" balas Lea menurut.
"Kok ada banyak mobil dan ambulan lagi ya?" celetuk Tari merasa keheranan karena ia melihat banyak mobil dan ambulan berjalan beriringan seperti sebuah rombongan panjang dan arahnya berlawanan dengan rumah sakit tempat barusan mereka berdua pergi.
"Aneh..." ucap Novanto pelan, di benaknya saat ini sempat terlintaskan ingin mengetahui situasi terkini dengan menggunakan radio polisi, tapi mobil yang sedang mereka pakai saat ini bukanlah mobil dinas tapi mobil pribadi Joni. Jadi ia masih belum tau pasti sekarang situasinya seperti apa.
Sedangkan Joni yang sedang menyetir juga masih menyempatkan untuk melirik ke arah Novanto, ia bisa membaca dari raut wajahnya kalau Novanto terlihat sedang gelisah saat ini.
***
#20 menit kemudian...
Mereka berlima sudah sampai di depan kantor polisi saat ini. Sengaja Joni memberhentikan mobilnya di depan kantor agar mereka berempat turun duluan, lalu Joni mencari tempat yang pas untuk memarkirkannya.
"Kalian turun saja duluan, aku bakal menyusul kedalam nanti." ucap Joni sambil mengetuk-ngetukkan tangannya pelan ke setir kemudi.
"Oke/ya" jawab Lisa dan Novanto mengerti lalu mulai membuka sabuk pengaman masing-masing.
"Ayo" ajak Lisa kepada Tari dan Lea sambil membuka pintu mobil.
"Umm/ iya"
Setelah itu mereka berempat turun dan langsung dipandu oleh Novanto berjalan menuju sebuah ruangan. Novanto tidak membawa mereka berdua langsung menuju ruangan introgasi karena menurutnya itu akan membuat mereka berdua ketakutan nanti, tapi ia membawa mereka semua ke ruangan pribadinya yang disitu ada beberapa sofa yang biasanya dipakai untuk bersantai oleh para koleganya.
Keadaan di dalam kantor sendiri juga sudah terasa agak sepi karena sebenarnya sekarang ini juga sudah sekitar jam satu lebih lima menit. Orang-orang yang berada di kantor saat ini hampir semuanya sudah pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat dan bertemu dengan keluarga mereka masing-masing kecuali bagi mereka yang kebagian untuk shift malam.
"Kalian bisa duduk dulu.." ucap Novanto sambil setelah membuka pintu ruangannya dan menyalakan lampunya. Karena sekarang sudah malam maka Novanto mengurangi suhu pendingin ruangan yang ada disitu.
"Lisa, kamu disini aja dulu buat nemenin mereka sebelum Joni datang kesini." tambah Novanto.
"Iya, pak." timpal Lisa yang mematuhi perintah atasannya ini.
#5 menit kemudian...
"Apa aku terlalu lama?" tanya Joni yang baru datang ke ruangan Novanto saat ini.
"Tidak, kami belum memulai apa-apa dan memang sengaja menunggumu dari tadi." jawab Novanto jujur.
"Ohh oke." balas Joni lalu mencari tempat untuk duduk.
Setelah itu Novanto melirik ke arah Lisa sekarang, dari tatapannya saat ini mengisyaratkan Lisa untuk segera pergi meninggalkan mereka berempat saat ini.
"Saya mau undur diri dulu karena mau menghubungi orangtua mereka berdua pak." pamit Lisa lalu mulai berdiri dan beranjak pergi keluar meninggalkan ruangan.
"Ya, silahkan." balas Novanto mengijinkan.
"Jadi, harus kita mulai darimana?" tanya Joni membuka percakapan setelah pintu ruangan Novanto ditutup oleh Lisa.