Cahaya lampu kota Nusantara yang gemerlap membentang sejauh mata memandang, seperti bintang-bintang yang berkilauan di malam hari. Kota yang tak pernah tidur itu dipenuhi dengan impian dan harapan yang terus bersinar, tak mengenal lelah. Di tengah gemerlapnya kota, sebuah mobil mewah melaju dengan tenang melintasi jalan yang sepi, menyusuri malam yang sunyi.
Di dalam mobil tersebut, seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun duduk di kursi belakang, pandangannya kosong menatap keluar jendela. Namanya Aldric Putra Aztono, pewaris keluarga kaya raya yang terkenal di seluruh negeri. Hidupnya dipenuhi dengan kemewahan, kasih sayang, dan perhatian dari kedua orang tuanya—Adhitama Aztono, seorang pebisnis sukses, dan Syarah Utami, seorang filantropis terkenal. Meski keluarganya penuh cinta, malam ini Aldric tenggelam dalam pikirannya sendiri, seperti sedang merangkai kenangan-kenangan dari liburan keluarga mereka yang baru saja berakhir.
"Ada apa, sayang?" Suara lembut ibunya, Syarah, menyadarkannya dari lamunan. Aldric menoleh perlahan, melihat senyum hangat ibunya yang selalu membuat hatinya tenang.
"Enggak, nggak ada apa-apa, Bunda," jawab Aldric dengan senyuman tipis, meski jelas terlihat ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Kamu nggak menikmati liburan kita hari ini?" tanya ibunya lagi, nada suaranya penuh perhatian.
Sebelum Aldric sempat menjawab. ayahnya, Adhitama, menoleh sejenak dari belakang kemudi, melirik ke arah Aldric melalui kaca spion. "Jangan buat Bunda khawatir, Nak. Daripada melamun, kenapa nggak kamu buka kotak yang ada di sebelah kamu?"
Aldric melirik kotak kecil yang tergeletak di kursi di sampingnya. Sebuah kotak kado yang rapi, mengundang rasa penasaran. Namun, sebelum ia sempat meraihnya, ponsel ayahnya berdering. Adhitama, yang sedang fokus mengemudi, menjawab panggilan itu dengan cepat, suaranya berubah serius saat berbicara dengan rekan bisnisnya.
Dengan rasa ingin tahu yang perlahan tumbuh, Aldric membuka kotak tersebut. Di dalamnya, terdapat sebuah konsol game terbaru, model yang bahkan belum dirilis ke publik.
"Wah... ini kan?" Matanya membesar, wajahnya berbinar penuh kegembiraan.
"Benar sekali," jawab ayahnya, masih sibuk dengan panggilan di ponsel. "Itu dari Kakek, hadiah minta maaf karena nggak bisa ikut bersama kita hari ini."
Sekejap, dunia Aldric terasa sempurna. Konsol di tangannya adalah sesuatu yang sudah lama ia inginkan, dan kebaikan kakeknya selalu berhasil membuatnya tersenyum. Ia pun melupakan kegelisahan yang sebelumnya menghantui pikirannya, dan segera memainkan konsol game dengan permainan yang sudah lama dinantikannya. Membuat Aldric tenggelan dan fokus pada permainan tersebut.
Â
Namun, Aldric tidak tahu bahwa hari ini adalah hari dimana kebahagiaan itu ternyata tidak bertahan lama.
Tiba-tiba, suara keras rem yang melengking memecah ketenangan malam. Suara itu diikuti oleh benturan logam yang begitu keras, membuat tubuh Aldric terlempar ke belakang. Jeritan ibunya bergema di telinganya, dan dalam hitungan detik, semuanya berubah.
Dunia Aldric menjadi gelap. Rasa sakit yang luar biasa merasuk ke seluruh tubuhnya, tapi yang paling menyakitkan adalah suara tangisan ibunya yang perlahan memudar, menghilang di tengah kekacauan itu. Dalam kegelapan yang menelannya, Aldric merasakan sesuatu hilang dari dirinya—sebuah kehilangan yang akan mengubah hidupnya untuk selamanya.
Aldric terbangun di ruangan rumah sakit yang putih bersih, suara mesin yang berbunyi pelan memenuhi keheningan. Tak butuh waktu lama bagi para dokter untuk memberitahunya apa yang telah terjadi. Kedua orang tuanya... sudah tiada, tewas dalam kecelakaan tragis yang membuatnya menjadi yatim piatu.
Dunianya runtuh, dan upacara pemakaman hanyalah sebuah kabur dalam ingatannya. Anggota keluarga yang hampir tak dikenal datang mengucapkan kata-kata belasungkawa, tapi tidak ada yang bisa mengisi kekosongan di hatinya. Setelah pemakaman, Aldric dibawa oleh satu-satunya orang yang sangat peduli dan menyayanginya—kakeknya, Drian Den Aztono.
Drian Den Aztono adalah legenda dalam dunia bisnis, pendiri Azton Games, perusahaan game yang telah merevolusi industri hiburan. Bagi dunia, Drian adalah seorang pengusaha yang tangguh dan cerdas. Bagi Aldric, ia menjadi sumber kenyamanan dan stabilitas baru, meskipun hati anak itu masih dipenuhi dengan kesedihan kehilangan orang tuanya.
Selama bertahun-tahun, Aldric hidup di bawah asuhan kakeknya, kembali menikmati kehidupan mewah dan nyaman. Ia dimanjakan, bahkan terlalu dimanjakan, saat Drian berusaha menutupi kekosongan yang dirasakan Aldric. Namun, Aldric menemukan pelarian dalam satu hal: video game.
Drian selalu bercerita tentang ide – idenya dalam pembuatan game, alur cerita permainan dan sebagainya untuk mencoba menghibur Aldric. Sehingga hal tersebut membuat aldric menjadi sangat terobsesi, menghabiskan berjam-jam bermain gim di studio kakeknya, memainkan rilisan terbaru dan mempelajari detail desain gim. Drian, meskipun disiplin terhadap para rekan bisnisnya, tetapi kecintaannya kepada cucunya membuat Drian sangat memanjakannya. Ia bahkan mengizinkan Aldric duduk di rapat-rapat dengan para pengembang, memberikan wawasan tentang dunia pembuatan gim.
Ketika Aldric berusia delapan belas tahun, ia tidak lagi hanya seorang pemain. Dalam dirinya tumbuh keinginan untuk sukses membuat gim kreasi miliknya sendiri. Ia pun mulai bekerja sebagai staf junior di Azton Games, bertekad mengikuti jejak kakeknya. Namun, lagi – lagi kebahagian tidak bertahan lama menemani Aldric.
Drian Azton meninggal dunia hanya beberapa minggu setelah Aldric mulai bekerja di perusahaan. Dalam surat wasiatnya, jelas tertulis bahwa Aldric adalah ahli waris yang sah, baik untuk kekayaan keluarga maupun perusahaan. Namun, segera setelah kakeknya tiada, kerabat jauhnya yang selama ini berada di bayang-bayang mengambil kesempatan. Dengan menggunakan celah hukum dan taktik licik, mereka merebut segala yang menjadi milik Aldric. Bingung dan hancur, ia kehilangan kekayaan keluarga dan posisinya di perusahaan.
Dua Tahun Kemudian
Kini Aldric berusia dua puluh tahun, Aldric berdiri di depan gerbang kantor gim yang dulu ia anggap rumah keduanya. Setelan jas dan pakaiannya yang dulu rapi dan berwibawa kini sudah lusuh, sepatunyapun sudah mulai aus, namun itulah satu-satunya pakaian yang ia miliki dari masa kejayaannya. Ia sudah melamar pekerjaan di berbagai tempat dalam industri gim, berusaha untuk kembali berdiri di dunia yang pernah menjadi miliknya, namun semua pintu tertutup rapat.
"Ditolak… lagi," gumamnya, menatap surat di tangannya sebelum meremasnya dan melemparkannya ke tempat sampah terdekat.
Perutnya berbunyi, mengingatkannya bahwa ia belum makan sejak kemarin. Dengan putus asa, ia berjalan menyusuri jalanan kota, merasa lebih seperti bayangan daripada manusia. Ia menemukan sudut yang sepi di dekat sebuah gedung dan duduk, punggungnya bersandar pada dinding yang dingin dan kasar.
Di dalam hatinya, kesedihan yang mendalam terus menghantuinya. "Andai reinkarnasi itu nyata," bisiknya pada diri sendiri, "lebih baik aku terlahir kembali sebagai biji pohon… sesuatu yang kecil dan tak berarti, setidaknya aku tidak perlu menderita seperti ini."
Baru saja kata-kata itu terucap, suara aneh terdengar—suara "Ding" seperti suara bel terdengar ditelinga Aldric. Terkejut, Aldric menoleh ke sekeliling, namun jalanan sepi. Kemudian, sebuah suara yang jelas dan tenang bergema di dalam pikirannya.
"Permintaan diterima. Kebaikanmu tidak akan pernah dilupakan. Memproses…"
Aldric berdiri, matanya menatap ke segala arah mencari sumber suara itu. Tapi tidak ada siapa pun di sana. "Siapa yang bicara? Tunjukkan dirimu!"
Sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, suara rem mendadak memecah keheningan. Sebuah bus, lepas kendali, melaju dengan cepat menuju seorang anak kecil yang sedang menyeberang jalan. Tanpa berpikir panjang, Aldric berlari secepat mungkin, mendorong anak itu ke tempat aman tepat waktu.
Rasa sakit. Sakit yang menyengat dan membakar menguasai tubuhnya saat bus menyenggolnya, membuatnya terlempar ke tanah. Ia bisa mendengar bisikan dari kerumunan yang mulai berkumpul, penglihatannya mulai kabur. Dadanya terasa berat, dan napasnya semakin sulit.
"Proses selesai. Memulai pemindahan jiwa… Mencari wadah yang sesuai… Wadah ditemukan. Memindahkan jiwa ke dunia Askahan."
Suara itu kembali, kali ini tak hanya di kepalanya, tapi bergema di sekitarnya saat dunianya perlahan memudar.
"Selamat datang, biji pohon Yggdra yang agung, di kehidupan barumu. Keterampilan dan kemampuan telah diberikan. Semoga kamu tumbuh dan berkembang dalam naungan pohon dunia."
Dan begitu saja, Aldric Putra Aztono, anak yang dulu hidup dalam kemewahan, jatuh dalam kegelapan, jiwanya berpindah menuju dunia baru, kehidupan baru… yang akan mengubah takdir Askahan untuk selamanya.
Â