━━━━━━━━━━━━
♱ ⋱ ✡︎ ✡︎ ✡︎ ⋰ ♱
"Yoongi mendengar sisa-sisa napas Jungkook yang samar, seolah-olah dia masih belajar bagaimana menggunakan paru-parunya, seolah-olah dia juga tenggelam."
⧫
⦅ N O T E: #1 ⦆
.
.
.
Air yang keruh, ombak yang mengamuk dari arah angin barat, gelap. Rasa asin dan tenggorokan Yoongi sakit, membuatnya ingin muntah, dan rasanya dinginnya seperti kematian. Yoongi mencoba untuk membuka matanya, tetapi hanya ada air, dan terasa berat di kelopak matanya —berat, berminyak, dan tidak nyata. Oksigen gagal masuk dan paru-parunya penuh dengan lumpur, atau garam, atau pasir.
Kemudian datang tarikan, tangan di sisi tubuhnya, dan ombak, suara, udara, sampai akhirnya, akhirnya, akhirnya, pasir di bawah sikunya, di bawah tubuhnya, dan Yoongi terbatuk, membuang sisa-sisa air. Ada sesuatu yang masih memegangnya. "—sial," ia mendapati dirinya mampu mengatakan umpatan itu setelah beberapa menit, tenggorokannya masih terasa sakit seperti ada jarun yang menusuk. Suaranya pecah, serak.
Muncul suara yang berbicara, penuh dengan rasa cemas. "Kau berutang padaku sekarang."
Yoongi mendorong tubuhnya untuk bangun, air menetes dari rambutnya hingga jatuh ke wajahnya. Kaus yang dipakainya menempel dengan lekat karena basah berlapis pasir, tubuhnya dibalut pasir. Lalu Yoongi memusatkan perhatiannya ketika wajah yang ia lihat adalah wajah yang cantik, basah, matanya besar dan menarik. Pemuda itu dekat, terlalu dekat, kedua lengannya berada di sisi tubuh yoongi, kakinya di antara Yoongi.
"Aku tidak berutang budi padamu," Yoongi terbatuk untuk kesekian kalinya, merasakan pipinya sedikit terbakar. Kedekatannya menakutkan. Matanya membelalak terkejut, sedikit saja, sedikit saja jika Yoongi menurunkan arah pandangnya ia akan melihat kulit pemuda itu,hingga area privasi pemuda itu juga —uhum "Sebaiknya kau harus pergi dariku sekarang."
Tetapi jari-jari menyentuh wajah yoongi, sebaliknya, dingin, sangat dingin, sedingin air yang baru saja keluar dimuntahkan Yoongi. Jemari itu menelusuri alisnya, dan lekuk hidungnya. Yoongi tidak bisa bergerak, membeku di tempat, menatap wajah pemuda itu. Sudah terlambat, sudah terlambat, dan pantai hanya diterangi oleh lampu-lampu jalanan yang memantulkan cahayanya ke lautan. Angin sepoi-sepoi menari-mari di kulitnya, atau mungkin hanya sentuhannya. "Wajahmu," kata pemuda itu, menggigit bibirnya, menelan kata-kata itu. "—kenapa kau ingin mati?"
"Aku tidak—" yoongi tersentak, memalingkan muka, akhirnya merangkak mundur, menjauh dari pemuda aneh didepannya. Pemuda itu duduk kembali, pasir di pahanya, di kakinya, Yoongi mencoba untuk tidak melihat paha polosnya. "Ok sebaiknya aku pergi."
Yoongi berdiri, anehnya, tubuh masih lemah karena berusaha untuk tetap bertahan, dan arus gelombang membasahi pergelangan kakinya, seolah ingin mengklaimnya lagi. Yoongi mendengus kesal, matanya terasa panas seperti tenggorokannya. Di sekelilingnya, lautan bernyanyi, mengajaknya untuk kembali ke lautan biru itu. Beberapa langkah, kemudian muncul suara, berbeda, seperti perubahan yang tidak diinginkan dalam sebuah lagu. "Tunggu."
"—Apa?" Yoongi berbalik untuk melihat dari balik bahunya.
"Kau berutang padaku."
"Aku tidak meminta bantuan," gerakan Yoongi di sekelilingnya samar-samar, ke pantai, ke langkah-langkah yang dia ambil, seberapa kosong tempat itu, mungkin. Pemuda itu berdiri dengan canggung, telanjang, dan Yoongi berusaha fokus memandangi matanya, wajahnya masih panas. "Maaf aku tidak mengenalmu."
"Aku melihatmu di dalam air," Pemuda itu melangkah mendekat, dan Yoongi melangkah mundur, tanpa sadar.
"Apa?"
"Kau masih berutang padaku."
"Baiklah—," rasa aneh muncul ketika Yoongi bertemu dengan mata pemuda itu, seperti ada arus ombak biru di iris matanya. Tubuh Yoongi terasa sakit, bahkan untuk mengucapkan kata-kata. "Beri aku nomor teleponmu, aku akan menghubungimu. Kau bisa menyebutkan angka yang kau inginkan."
"Aku hanya butuh ciuman."
Hanya ada jeda beberapa saat sebelum Yoongi tertawa canggung, tiba-tiba benar-benar bingung. Suara yang digunakan pemuda itu berubah setiap saat, dan itu membuatnya merasakan sesuatu, anehnya. "Apakah kau bercanda?"
"Tidak," pemuda itu menggelengkan kepalanya, rambut basah menetes. "hanya satu."
"Kau telanjang—" itu bahkan bukan intinya, tapi itu menambah situasi konyol yang ia lihat sendiri. Pemuda itu melihat ke bawah pada tubuhnya, seolah-olah ia belum menyadarinya sebelumnya. Entah bagaimana, Yoongi menatap bagaimana tangan pemuda itu menyentuh sisi pahanya, dengan hati-hati, dan kemudian bagaimana ia menggulung jari-jari kakinya di atas pasir. Pemuda itu mendongak pada Yoongi.
"Maaf," katanya lemah. "—Aku tidak akan mengganggumu lagi jika kau menciumku."
"Aku tidak akan menciummu, kau—"
"Telanjang."
"Tidak —maksudku, ya," desah Yoongi dengan gelisah, membalikkan punggung. "Aku akan pergi. Begitu pula dengan kau."
"Aku mohon, hanya satu kecupan saja." Pemuda itu bersuara lagi, suaranya seperti menarik-narik lembut jiwanya Yoongi. Yoongi berhenti berjalan, kakinya tenggelam di pasir, dan ia mencium bau garam dan rumput laut. Yoongi bertarung mencoba bertarung melawan itu, tetapi ia tetap terpanggil untuk berbalik, hampir tanpa sadar, dan pemuda itu berjalan lebih dekat, terlalu dekat, lagi. "Aku mohon."
"—umm namamu?"
Pemuda itu berpikir sejenak, berkedip. "Jungkook."
Yoongi mengangkat tangannya sampai ia bisa menekan jari ke dada Jungkook, merasakan tulang di bawah kulitnya. "Fuck off."
Kali ini tidak ada panggilan ketika Yoongi hilang sadar, tidak ada suara aneh di kepalanya, tidak ada yang mengaduk-aduk jiwanya. Hanya ada laut dan bagaimana ia menyentuh pasir pantai, dan sisa-sisa napas Jungkook yang samar, kasar seolah-olah dia masih belajar bagaimana menggunakan paru-parunya, seolah-olah dia juga tenggelam bersamanya.
.
.
.
ini republish dari akun wattpad-ku. i hope y'all enjoy this one!