Aku mengingat Thanksgiving ketika umurku 15. Keluarga selalu ramai dengan perayaan ucapan terimakasih itu. Hari besar yang merupakan perayaan meriah kedua setelah Natal yang selalu di warnai oleh kebahagiaan. Semua orang berbahagia, termasuk mungkin aku. Bahagia yang bukan sebuah rencana. Aku terbawa oleh rasa senang itu karena di dalam hunian sederhana bertingkat dua itu akan selalu ada banyak makanan. Ya, tentu saja-makanan adalah salah satu komponen yang membekali kebahagiaan itu bisa berjalan dengan semestinya. Katakan saja, aku memang sedikit rakus-jika tdia.
Mom mencandaiku terlalu sering mengenai makanan, tapi dia suka jika putranya yang tampan ini makan banyak. "Sering-seringlah makan, karena jika perutmu penuh, maka kau akan berpikir dengan baik."
Makan banyak dan mengisi tubuHmu dengan gizi, membuat kerja jantungmu baik, karena produksi darah berjalan dengan baik. Jika jantung berdetak baik, maka seluruh sistem dalam tubuHmu akan bersosialisasi dengan baik juga. Dengan kondisi seperti itu, maka hatimu menjadi tenang, dan otakmu bisa berpikir maksimal. Mungkin kira-kira seperti itu yang diasumsikan manusia cantik berpangkat My Mom itu
Di mana ada perayaan, di situ ada kesibukan, Mom selalu menyuruhku untuk membantunya di dapur. Ia memasak ayam kalkun yang besar. Tidak hanya satu, tapi dua. Saat itu, ada kerabat ibuku dari Utah yang datang. Yeah, kami memang selalu senang jika ada beberapa kerabat yang datang untuk menginap. Dia adalah adik Mom.
Irena, yang menikah dengan seorang pria Argentina. Mereka tadinya tinggal di Acapulco, karena Paman Cortez adalah seorang arsitek. Dia di sewa oleh sebuah perusahaan property untuk merancang sebuah Hotel bertaraf Internasional. Mereka mempunyai seorang putra, Elrico Cortez del Santibanez. Aku senang ternyata aku mempunyai sepupu yang sebaya denganku pun akhirnya kami dekat dan akrab. Rico, begitu aku memanggilnya, dia tinggi, atletis berkulit sedikit coklat dan berambut ikal. Kurasa dia cukup tampan, yah meski dia jarang bicara, tapi Rico cukup ramah dan menyenangkan.
Selama dia berada di rumah, kami tidur dalam kamar yang sama. Ada banyak hal yang dia ceritakan mengenai kegemarannya. sesuatu yang membuatku merasa pusing- mungkin karena dia senang dengan karya sastra maka cowo blasteran Latinos itu terdengar seperti seorang penyair-membosankan.
Ada beberapa puisi yang dia pamerkan, dan semua puisi itu merupakan karya yang indah-menurut dia begitu. Apa boleh buat, aku harus mengakui. Kemampuannya menulis puisi memang lumayan diperhitungkan, meski juga sebenarnya aku menyukai puisi, hanya saja puisiku berbeda- dia bilang puisiku kasar. Hm, aku tidak tau apa maksudnya itu, tapi memang kubenarkan dalam perdebatan unfaedah kami saat itu. Pembelaanku, bahwa aku special, puisiku tidak menculik keromantisan, dan mempersonifikasikan jelujur percintaan menjadi hal yang cengeng. Ya, mungkin seperti itu.
Tidak ada yang salah dengan puisinya. Itu bagus, karena memang pada prinsipnya setiap orang punya ciri khas masing-masing dalam mengembangkan karakter dan potensi tulisannya. Saat itu, Rico meretas semua makna terindah mengenai seorang ibu. Ya, ibunya. Kurasa dia sangat mencintai ibunya. Aku juga. Rico berhati lembut dan hangat, meski dari penampilannya dia terkesan dingin dan angkuh, mosnter kutub, atau mungkin spesies carnivora plantVenus Fly Trap sekalipun menjadi simpatisan idiom yang bagus untuknya. Tapi setelah kupikir-pikir secara cermat, lalat saja pasti tidak akan sudi berpapasan denganya, atau mungkin berpikir ulang untuk mencari jalur lain agar tidak terjebak dengannya-mungkin. Oke, lupakan tentang dia-sebentar, karena dengan prisnsip kemandiriannya yang menjunjung tinggi sebuah makna Time is money-nya itu, aku tidak punya banyak ide dan pertimbangan selain menghitung setiap kata baik dari titik dan komanya itu berbanding lurus dengan tingkat suku bunga BANK. You know what I mean; aku bisa bangkrut.
Tentang hari ini, ketika Mom memberiku tugas berbelanja; katanya aku harus membeli beberapa bahan makanan yang tertera dalam daftar yang dia berikan. Ada seseorang yang akan datang, teman Morgan dari Idaho. Sesama Pendeta, dan pria itu akan menginap. Membuatku repot. Kenapa aku yang harus berbelanja, kenapa tidak Alena. Bukankah dia perempuan.
Mom menjelaskan perkara berdasarkan fakta yang sudah-sudah, jika dia menyuruh Alena, maka semua itu merupakan kesia-siaan besar- daging beku yang akan dibeli nanti pasti akan mencair di jalan. Alena tidak akan segera pulang setelah berbelanja. Dia selalu mempunyai masalah dengan keramahtamahannya yang berlebihan. Panjang urusannya jika menyuruh anak gadis semata wayangnya itu berbelanja. Apa boleh buat aku selalu menjadi anak yang diandalkan.
Berangan-angan mempunyai kehidupan yang sedikit berwarna seperti Shawn Oh misalnya. Keluarga Oh adalah orang kaya turun temurun dengan raksasa bisnis yang dikelolanya. Cakupannya cukup luas, tak terhitung hartanya, hanya saja Shawn lebih memilih untuk hidup sederhana. Tidak ada garis miskin dalam sejarah kehidupan keluarga yang sebenarnya berasal dari Korea itu juga. Dulu ayahnya berteman baik dengan keluarga Oh, hanya saja sekarang hubungan itu meregang untuk hal yang tidak jelas.
Shawn tidak harus bekerja paruh waktu untuk melatih kemandirian. Shawn yang beruntung. Ada harapan sedikit jika kelak dia bisa menikah dengan Alena, maka aku akan menjadi ipar yang beruntung. Hm. Ya, membicarakan masalah kerja paruh waktu itu,beberapa hari lalu Morgan sempat menyinggungnya. Untuk laki-laki seumuran aku memang sudah waktunya melakukan hal itu, terlebih lagi saat ini kehidupan ekonomi keluarga kami sedang pas-pasan. Morgan tidak bekerja lagi di kantor pengacara Mc. Elliot untuk alasan rahasia. Dia tidak mengatakannya padaku,mungkin gengsi, dan aku hanya menebak kalau mereka pasti sedang berselisih pendapat. Sayang sekali,karena akhirnya kami hanya mengandalkan pemasukan dari hasil penjualan beberapa kerajinan kayu yang dikerjakan Morgan jika waktu senggang. Kami benar-benar kesulitan uang.
Aku masuk ke dalam sebuah Grosery bersama trolly dengan ukuran terkecil. Menurut Mom, tidak banyak yang harus kubeli mengingat keuangan kami memang sudah menipis. Mom sendiri sedang mencoba melamar pekerjaan sebagai guru piano di sekolah khusus music di kota, dan kuharap dia diterima. Kasihan ibuku-harus bekerja. Seandainya saja aku bisa berbuat banyak.
BRAKH. Mendadak trolyku menabrak troly lain. Astaga, apa tadi aku melamun. Kenapa aku sampai tidak melihat ada troly besar itu. Perasaan tidak enak menyelubungi hati. Memang tidak ada yang terlalu mengkhawatirkan dari kondisi pada keranjang besar yang terparkir tanpa penghuni itu. Hm, seenaknya saja menaruh troly di tengah jalan. Memangnya supermarket ini punya nenek moyangnya! Makiku dalam hati, tapi tumpukan beer yang disusun di dalamnya terlihat berantakan. GAWAT! Membatin sendiri- siapa yang membeli beer sebanyak itu.
BUG. "Arrgh!" Sebuah tendangan pada pantat mendorong tubuhku hingga berbenturan dengan trolyku.
"Asshh...." ringisku-lagi.
"Minggir dari situ!" suara berat terselubung timbre setengah oktaf itu menghajar genderang telinga pas. Tanpa kutoleh pun sudah kutau siapa pemiliknya. Geraman pendek bernada bengis menyertai tangan yang menarik kerah jaketku menyingkir dari troly-nya? Tebakku. Agh, sialnya! Kenapa dari beberapa lusin benda dorong yang terdapat di dalam area ini, justru aku menabrak troly-nya. Jodoh? Nick menyeretku hingga beberapa spasi dari kepunyaannya. Nyalang sorotnya menelusuri eksistensiku di hadapannya pun hatiku seakan berada dalam sauh yang digempur badai putih habis-habisan.
Tak ada kata-kata dari mulut diamnya, tapi entah kenapa sorot tajamnya itu seolah-olah sedang menjilat-jilat sekujur tubuhku hingga terasa gelinjangan aneh menggetarkan jiwaku yang mabuk. Aku menggilai kesan bengis itu-mengoleksi sebanyak mungkin dari versi yang berbeda, tapi miliknya adalah sempurna.
Dia memasukkan beberapa bungkus produk makanan ringan ke dalam keranjang besar itu. Sedikit melirik, dan menyeringai apatis. Terkutuk itu membuatku merinding hingga ke bagian selakangan di siang bolong begini. Pasti ini hanya mimpi-indah. Tanpa berniat memperpanjang persoalan, aku segera menarik troly menjauh manusia yang diadopsi orang tuanya dari neraka itu. Kurasa aku harus menyelamatkan diri sebelum aku digosongkan dengan lidah apinya yang terjulur diantara deretan taringnya. Kutundukkan kepala dan menyadari aku sudah mengeras sejak tadi. Brengsek!
"Hei Bokong Sexy!" panggilnya setengah menggertak-mendadak. What! Kutahan nafasku sebentar. Apa yang tadi dia bilang: bokong sexy? Demi Tuhan, apakah bokongku sexy. "Hm...bokong berlemak, kesinilah! Apa kau tidak mendengarku?" suruhnya lagi, dan kali ini suaranya lebih keras sehingga beberapa orang di sekitarku menoleh. Wajahku memanas seketika.
Jadi yang benar yang mana? Bokong sexy atau bokong berlemak. Apa salah satu dari nominasi itu akan menjadi pilihan terbaik untuk bokongku. Hhh, dari mana dia mendapatkan sebutan itu? Alena. Iblis betina itu! Oh Tuhan, mereka itu memang sepasang iblis dari neraka. Kuputar pangkal leherku hanya sekedar menoleh dalam derajat seperempat lingkaran. Kudapati senyum kotornya mencibiri rasa gugup yang menderaku. Apa dia serius memanggilku. "Jadi kau suka dengan panggilan itu, Bokong sexy!" dengan kekehan menjijikkan.
"Cha...Cha..Charly. Namaku Charly Park." Terbata.
"Tck-tck!" bayangan itu mendekat dalam sepersekian detik-cepat. Menyerangku dengan aroma maskulin-citrus yang menghilangkanku dalam dunia tanpa nama. Dada bidang itu menantangku dengan arogan, spontan kakiku mundur beberapa langkah, dan sang iblis menertawai-girang. Moodnya sedang bagus. Persetan-tidak kuperpanjang, berpaling dan segera mendorong trolyku menjauh darinya.
Ketika menoleh, dia tidak mengejarku-syukurlah. Aku segera menuju ke arah counter daging seperti yang dikatakan ibu, lalu membeli beberapa kaleng saus pasta, dan beberapa sayuran. Kemudian, ketika langkahku dalam perjalanan ke kasir, sebuah informasi dari pengeras suara membuatku membeku seketika.
"PANGGILAN UNTUK SESEORANG DENGAN SEBUTAN BOKONG SEXY....Hm maaf?" interupsi dari seseorang-suara itu sedang berbicara lagi, terdengar karena pengeras suara itu tidak dimatikan.
"Ada apa?" kata orang itu, dan gegas langkah kusetting secepat peluru.
"Bokong berlemak!" sebut suara lain, dan itu sudah dipastikan si Brengsek itu. Nick.
Oh Tuhan,Oh Tuhan! Kenapa semua ini harus menimpaku. Kenapa? Ada apa dia memanggilku dengan menggunakan jasa informasi seperti itu. "PANGGILAN UNTUK BOKONG BERLEMAK...." Suara itu terhenti saat aku muncul. Di sana bertengger seorang Nicky yang berdiri dengan dagu terangkat sombong. Mata setannya itu mengacak-acak konsentrasiku menyusun sebuah amukan, hanya saja semua itu melempem seketika itu juga, saat petugas informasi menyodorkan sebuah dompet—ku.
"Apa Anda yang bernama bokong sexy?" Baiklah, itu memang dompetku, yang mungkin saja terjatuh saat tadi aku menabrak troly-nya, atau mungkin juga tangan jahil Nick yang merogohnya dari dalam saku celanaku. Yeah, mungkin karena rogohan itu, dia mempunyai ide untuk memanggilku bokong sexy. Tiiin! Jeritan klakson panjang itu benar-benar keparat-membuatku berhenti dengan posisi aneh. "Bokong sexy!" sebut Nick dengan kepala setengah melongok dari jendela mobilnya. Kuacuhkan-melanjutkan perjalananku yang memang hanya kutempuh dengan berjalan kaki. Ya, beginilah kenyataannya, aku tidak mempunyai kendaraan apapun, sehingga ketika ibu menyuruhku, maka semua itu akan kutempuh dengan berjalan kaki. "Apa Alena ada ?" tanya Nick, tapi masih kuacuhkan. "C...Ch..Charly!" panggilnya dengan benar. Masih kuabaikan-
"Oh God, apa mulutmu itu sedang sembelit sampai tak bisa bicara?"
"Jangan menggangguku Nick!" sengitku. Nick mendengus sambil terus mengiringi perjalananku yang tidak jauh lagi. Dia mempunyai mobil yang bagus, Mercy sporty Maybach yang mungkin bagi anak pengusaha sekalipun, tunggangan itu kelewat mewah-but Nick mempunyai itu. Haruskah aku merasa iri.
"Katakan pada Alena, aku mengadakan pesta. Dia bisa datang ke tempat biasanya sekitar jam delapan." Jiwa seorang kakak yang ingin melindungi adiknya dari serbuan monster mendadak menyala-kulirik sadis keberadaannya, dan Nick sempat menjatuhkan punggungnya pada sandaran jok, dengan hurup O dalam cengirannya.
"What ?" tuntutnya
"Jangan mengganggu adikku, dia masih di bawah umur. Kau tidak seharusnya melibatkan dia dalam pesta mesummu itu Nick!"
"Hm.jadi siapa yang menurutmu pantas untuk datang ke pesta mesumku? Kau?" sambil terkekeh
"Stay away from us or else..."
"Or else?" Tatapanku kalah-berikut nyaliku. "Apa kau tidak mau mengucapkan terima kasih padaku, Bokong sexy?" Ya.,ya...sekarang aku bisa apa. Dia sudah menemukan dompetku, dan kini aku berhutang padanya. Apa dia biasa menerima ungkapan terimakasih dengan bahasa Urdu or something- agar aku tidak terlalu merasa dimanipulasi secara unfair seperti ini. Jantungku berdebar, ketika sosok itu turun dari mobil, mendekat dengan langkah panjang, dan dalam waktu sepersekian detik, wujutnya menghadang langkah bunuh diriku yang berniat kabur. "Give it to me!" bisiknya dingin
Melarikan fokus pada kendaraan yang berlalu lalang, tak membuatnya kasihan. Beberapa mata sedang menyaksikan-For God Shaked, ini bukan simulasi adegan mesum. "Kau bisa saja mengambil dompetku dan membuat skenario licik untuk membuatku tunduk padamu." What just I said? Apa ucapanku terlampau berani.
PUK. Tangan itu tidak terlalu keras meyapa pipiku, lalu dengan telunjuknya itu-Nick mengikuti denyut nadi hingga tiba tepat di dadaku, menekan di sana bersama semua cengiran sadisnya. Pria Lee ini sedang menagih kata Thanks yang tak ingin kuberikan.