"Ayo!"
Sinbi pun akhirnya hanya menuruti ajakan Christ yang menggandeng tangannya menuju dimana sebuah mobil terparkir tak jauh dari tempatnya tadi. Mata Eli sontak membulat sempurna ketika menyadari kalau pria yang setahunya asisten William itu tak sendirian saja. Ia pun berhenti mendadak dan langsung disambut tatapan bertanya dari Christ, namun setelah melihat ke arah dimana pandangan Eli berada, Christ pun jadi tahu arti dibalik sikap Eli barusan.
"Aku tidak akan masuk." ujar Eli menolak ajakan Christ.
"Eli?"
Mata Eli menyipit tajam ke arah Christ, "Aku tidak akan mencoba bunuh diri lagi, jadi biarkan aku pergi."
"Tapi--"
"Christ, aku sedang tidak mau bertemu dengannya.." ujar Eli memohon.
Terlebih lagi, ketika ia mengetahui wanita yang begitu dikhawatirkan William d irumah sakit tadi juga terlihat ada di dalam mobil. Dirinya memang sedang berusaha untuk tidak menyakiti diri sendiri, tapi menghadapi kenyataan juga bukan ide yang bagus untuk saat ini.
"Pulanglah dengan selamat." ucap Christ melepaskan genggaman tangannya.
Eli mengangguk, kemudian gadis itu berlalu pergi dari sana setelah mencegat taksi yang kebetulan lewat.
Christ terus memandang ke arah dimana taksi yang membawa Eli itu menjauh pergi. Meskipun ia masih begitu khawatir dengan keadaan Eli setelah insiden percobaan bunuh diri tadi, setidaknya ia berhasil mengagalkan niatannya.
"Sudah selesai adegan romantisnya?"
Terdengar intrupsi seseorang yang membuat Christ mau tidak mau menoleh. Christ menunduk meminta maaf kepada William yang terlihat menyilangkan tangannya di depan dada sambil memandangnya tajam.
"Maaf sir, Eli sudah saya--"
"Aku tidak memerlukan penjelasnmu Christ. Sekarang kembalilah menyetir, kau sudah membuang waktu banyak dengan drama murahan tadi. Ya! Sissy baru saja pulang dari rumah sakit dan dia butuh istirahat sekarang, jika dia kenapa-kenapa karena tak kunjung sampai rumah, tidak akan ada bonus tambahan untukmu!" tegas William dan langsung mendapatkan tatapan horor dari Christ.
Pria itu menyengir, "Ja-jangan sir, masa saya harus kehilangan bonus sebesar itu. Maafkan saya."
Dan setelah mengatakan hal itu, Christ segera masuk kembali ke dalam kursi kemudinya untuk melajukan mobil itu menuju ke rumah Sissy. Namun, ketika ia baru saja mendudukkan bokongnya, teriakan melengking Sissy membuatnya terhenyak kaget.
"Ya ampun Christ! Kau gentle sekali tadi! Astaga, aku seperti baru saja melihat cuplikan drama romantis seperti di dalam TV!"
William yang kebetulan juga baru saja masuk ke dalam mobil tampak berdecak menanggapi Sissy yang memuji Christ habis-habisan.
"Kau itu baru saja keluar dari rumah sakit, tapi teriakanmu sudah hampir saja membuat gendang telingaku jebol."
Sissy terlihat mempoutkan bibirnya mendengar ucapan William, "Kau benar-benar menghancurkan moodku, Wil!"
************
"Bibi, berapa harga bunga-bunga ini?"
"Kau mau yang mana Eli? Ambil saja, untukmu ku gratiskan."
Eli tampak mengernyit tidak suka, "Tidak, mengapa Bibi harus mengratiskan bunga ini untukku?" Ia menyerahkan beberapa lembar dolar pada seorang bibi penjual bunga yang tokonya tak jauh dari pemakaman Mamanya itu.
Ya, setelah percobaan bunuh dirinya tadi digagalkan Christ, ia memutuskan untuk pergi mengunjungi makam Mama-nya. Kebetulan sudah beberapa bulan ini ia lama tak berkunjung karena sibuk dengan kuliahnya.
"Eli, kau sudah lama tak berkunjung, jadi terima saja ya? Anggap saja hadiah dariku untuk Mama-mu."
Eli merasa begitu tersentuh dengan kebaikan bibi penjual bunga, ia pun menunduk memberi hormat sekaligus berterima kasih banyak atas kemurahan hatinya.
"Bibi, terima kasih banyak. Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu."
"Aku tidak membutuhkan balas budi atau semacamnya, karena aku benar-benar dengan senang hati memberikan bunga ini untuk Mama-mu. Eh, ngomong-ngomong mengapa Papa-mu sudah tak pernah berkunjung kemari? Aku tak pernah melihat mobilnya berlalu lalang melewati jalan ini untuk ke pemakaman."
Deg!
Kalimat bibi penjual bunga mengenai Sean membuatnya tak bisa berkata-kata, ia pikir memang Papanya itu sudah tak menyediakan ruang khusus di hatinya untuk mendiang Mamanya lagi. Meskipun ia kecewa, entah mengapa Eli merasa tidak terkejut.
"Ah, memang akhir-akhir ini Papa sangat sibuk mengurusi pekerjaannya di kantor cabang, jadi tak ada kesempatan untuk berkunjung kemari."
"Begitukah? Oh, pantas saja."
Eli mengangguk pelan, tidak ada cara lain selain membuat alasan. Karena hari sudah mau sore, Eli pun pamit mau mengunjungi makam Mamanya.
Mama, Eli tidak sabar mengunjungimu. Batinnya seraya memandang langit.
Ia berjalan menyusuri jalanan setapak menuju dimana makam Mamanya berada yang kebetulan terletak di atas bukit yang ditumbuhi rumput yang begitu luas seperti padang rumput. Eli sangat tidak sabar menuju ke sana karena ia benar-benar merindukan Mamanya. Ketika ia sudah berada tak jauh dari makam Mamanya, langkahnya terhenti disaat mendapati seorang pria misterius terlihat berada disana. Dan yang membuatnya terkejut adalah, pria itu seakan sedang menunggu seseorang.
Mata Eli melotot ketika tiba-tiba pria itu menoleh dan menyadari keberadaannya, Eli menjatuhkan bunga yang berada di tangannya begitu saja dan berbalik pergi dari sana setelah menyadari jika pria misterius itu memang sengaja menunggu kedatangannya.
Eli sangat panik, ia berlari dengan ketakutan. Pikirannya melayang kemana-mana, alarm dari dalam dirinya mengatakan jika pria misterius itu bukan orang yang baik. Pasalnya, jika memang dia orang baik, dia tidak akan mengejarnya seperti penjahat begini.
Dadanya terasa sesak karena ia sudah terlalu lama berlari menghindari pria itu tadi, ketika ia sudah kembali ke jalan raya, hari sudah semakin petang namun keadaan sekitarnya masih terlihat jelas, ketika ia menoleh ke belakang, pria misterius itu masih saja mengejarnya. Eli benar-benar semakin panik dan tidak tahu harus bagaimana selain terus berlari.
Mengapa dalam keadaan seperti ini tak ada satupun mobil atau taksi yang lewat? Eli pun akhirnya terus berlari menyusuri jalan raya dan ketika melihat bangunan bibi penjual bunga, ia pun bergegas menuju kesana untuk bersembunyi.
"Bibi--"
Eli mengatupkan bibirnya rapat ketika mendapati satu lagi pria misterius tengah membelakanginya dan terlihat mengacungkan senjata ke arah bibi penjual bunga yang tampak sudah tergeletak di atas lantai. Ia benar-benar syok bukan main, apalagi ketika bibi penjual bunga menyadari keberadaannya dan seakan mengisyaratkan padanya untuk bersembunyi.
Namun Eli menggeleng dan segera mengambil sebuah tongkat yang berada di samping pintu dan segera melayangkan pukulan keras ke arah kepala pria misterius itu sampai membuatnya pingsan.
"Bibi, tidak apa-apakan?"
"Pergilah, ambil kunci mobilku dan sebuah kertas di dalam laci itu."
"Apa maksud Bibi?"
"Eli, kau sekarang sudah tidak punya waktu, tolong pergilah sekarang. Kau bisa mengemudikan mobilkan?"
Eli mengangguk, "Iya, tapi mengapa Bibi--"
"Pergilah! Sebentar lagi mereka akan datang untuk menangkapmu!."
"Siapa? Mereka siapa? Mengapa mereka menangkapku?"
Kepala bibi penjual bunga menggeleng mengisyaratkan agar Eli berhenti bertanya dan segera bergegas pergi, "Kau harus tetap hidup, Eli!"
Meskipun Eli masih tidak mengerti dengan arah pembicaraan bibi penjual bunga, Ia pun segera melakukan apa yang disuruhnya dan benar saja, di dalam laci ada sebuah kunci mobil dan secarik kertas yang bertuliskan seperti sebuah alamat.
"Bibi, apa maksudnya ini?"
"Pergilah! Datangi tempat itu!"
"Tapi--"
"Sekarang, Eli!" perintah bibi penjual bunga kesusahan.
Eli pun segera bergegas keluar dari dalam toko itu dan masuk ke dalam mobil yang terparkir di samping toko. Ia benar-benar tidak ingin meninggalkan bibi penjual bunga sendirian, apalagi setelah dia mengatakan ada yang akan menangkapnya. Sebenarnya apa maksud bibi itu? Apakah mungkin dua pria misterius itu tadi? Jadi, bibi penjual bunga sudah mengetahuinya sampai ia menyiapkan semua ini?
"Aku harus menanyakan pada Bibi secara langsung siapa orang-orang itu!"
Ketika Eli akan memutuskan untuk keluar dari dalam mobil untuk menemui bibi penjual bunga kembali, tiba-tiba ia melihat beberapa pria yang berpakaian sama seperti pria misterius tadi memasuki toko. Ia pun begitu terkejut dan segera menunduk untuk bersembunyi.
"Dimana gadis itu!" terdengar teriakan salah satu pria itu.
"Mana aku tahu? Dia tidak kesini!"
"Jangan bohong, lalu mengapa anak buahku bisa pingsan?! Katakan dengan sejujurnya atau kusarangkan peluru ini ke dalam otakmu!"
"Aku yang melakukannya sendiri! Anak buahmu sangat lemah, masa kupukul dengan tongkat saja sudah pingsan!"
"Ya! Jangan berani main-main denganku! Kau pikir aku bisa dibohongi?!"
Dor! Dor!
Terdengar dua tembakan dilepaskan, Eli yang mendengar itu hanya membungkam mulutnya sendiri menahan isak tangisnya.
Bibi, mengapa Bibi harus mengorbankan nyawamu untuk melindungiku? ujarnya sedih dalam hati.
"Ini ganjaran untuk orang-orang yang sudah melawanku! Untuk kalian, pokoknya cari keberadaan gadis itu! Pasti sekarang dia belum kabur terlalu jauh!"
"Baik bos!" jawab anak buahnya serentak.
Meskipun masih sangat terpukul setelah insiden barusan, karena situasi sudah aman, dengan bergetar Eli menyalakan mobil dan segera pergi dari sana menuju alamat yang sudah tertera pada secarik kertas pemberian bibi penjual bunga.
Dan Eli tahu, mulai sekarang hidupnya tidak akan berjalan biasa.