Chereads / ELYANA / Chapter 11 - Chapter 11

Chapter 11 - Chapter 11

Kedua mata itu tampak terbuka ketika sang pemiliknya baru saja siuman dari masa pingsannya sehingga membuatnya terkulai di brangkar rumah sakit. Bau obat-obatan langsung menyambut indra penciumannya, Eli menengok ke seluruh penjuru ruangan berusaha mengenali tempat ini meskipun pada awalnya ia sudah tahu jika dirinya kini sedang berada di rumah sakit. Tapi, karena kesadarannya belum pulih betul, yang menjadi alasan mengapa ia bisa terbangun di rumah sakit inilah yang membuatnya bertanya-tanya.

"Anda sudah siuman, nona?" tiba-tiba seorang suster masuk ke dalam ruangan itu dan membuat Eli sedikit terkejut. Mengetahui kebingungan pasiennya itu, si suster segera menjelaskan.

"Magh anda kambuh sampai membuat anda pingsan."

Magh? Benar, tadi saat di halte bus dirinya mengeluh sakit perut. Tapi ngomong-ngomong, siapa yang sudah menolongnya sampai membawanya kemari? Padahal halte bus tadi terlihat sepi.

"Maaf suster, siapa yang membawa saya kemari?"

Suster itu terlihat sedikit menyesal mendengar pertanyaan Eli.

"Maaf nona, tadi disaat anda dirujuk kesini dan langsung ditangani, orang yang membawa anda untuk dimintai keterangan sudah menghilang. Tapi dia adalah seorang pria."

"Pria? Ah, siapa ya? Padahal aku belum berterima kasih kepadanya."

Suster itu tersenyum.

"Siapapun dia, pasti dia orang yang baik karena sudah membawa anda kemari."

Eli mengangguk setuju, "Hmm, suster? Apakah saya boleh pulang hari ini?"

"Tentu saja, lagipula keluarga anda pasti sangat mengkhawatirkan anda."

Eli tersenyum canggung, keluarga? Ia sudah tidak punya siapapun sekarang, karena keluarga satu-satunya adalah mendiang Mama-nya yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Ia sudah terlalu kecewa dengan Papa-nya, jadi ia enggan menganggap Sean sebagai keluarganya lagi.

"Nona, apakah anda baik-baik saja?"

"Ah, iya suster? Saya baik-baik saja kok. Kalau begitu apakah anda bisa melepaskan selang infus saya sekarang, supaya saya mengurus kepulangan pada pihak administrasi."

"Tidak perlu nona, administrasi anda sudah dibayar lunas bersama tebusan obatnya."

Mata sontak Eli membulat, apa ia tidak salah dengar? sebenarnya siapa pria baik itu? Eli jadi penasaran. Ia ingin sekali bertemu dengannya untuk berterima kasih banyak dan mengembalikan uang yang sudah ia keluarkan dengan sukarela.

"Sudah nona, sekarang anda boleh pulang dan tolong jangan lupa mengambil resep obat di apotik." intrupsi suster membuyarkan lamunan Eli.

"Ah, terima kasih banyak suster. Saya pamit."

Setelah pamit, Eli segera menuju apotik untuk mengambil obatnya dengan resep yang diberikan dokter.

Namun ketika ia baru saja keluar dari ruangannya, langkahnya terhenti ketika menyadari ada William di rumah sakit itu.

"Apakah pria itu kak William?"

Ia melihat William baru saja datang dan ia tampak terburu-buru keluar dari dalam mobilnya. Eli berniat ingin menghampirinya, namun seketika senyumnya luntur begitu saja mengetahui William tidak sendirian

Dia mengeluarkan seorang wanita yang terlihat pingsan dari dalam mobilnya, wajahnya terlihat sangat panik. Siapa wanita itu? Apakah William baru saja menabrak orang?

Tetapi segala pertanyaan yang menggelayutinya itu terjawab sudah disaat William mengatakan dengan jelas siapa wanita itu.

"Tolong siapapun! Selamatkan kekasihku! Dia sekarat! Cepat lakukan sesuatu!"

Eli merasa dunianya runtuh setelah mendengar ucapan William dengan jelas, apa maksudnya mengatakan jika wanita itu adalah kekasihnya? Lalu dirinya ini kemarin dianggap apa? Meskipun hanya untuk bersandiwara, tapi ini keterlaluan.

Disaat pertolongan datang, wanita yang disebut William sebagai kekasihnya itu tubuhnya di taruh ke atas brangkar dan langsung di gelandang menuju unit darurat. Eli merasa hatinya remuk, bahkan ketika iring-iringan itu melewatinya, William sama sekali tidak menyadari keberadaannya seakan-akan pusat perhatiannya hanya tertuju kepada wanita itu.

Eli menolehkan kepalanya melihat punggung-punggung itu semakin menjauh termasuk punggung tegap milik William, "Kak Wil, mengapa kau pandai sekali membuat hatiku hancur. Apakah ini kelebihanmu?"

Ia memang terlalu berharap jika kedatangan William tadi adalah untuk dirinya, padahal tidak seperti itu kenyataannya. Entah situasi apa yang sudah terjadi antara dirinya dan William, tapi yang jelas ia merasa kecewa berat pada pria itu. Tanpa sadar ia tertawa menertawakan dirinya sendiri.

"Sampai kapanpun, seorang William Antonio tidak akan pernah bisa kau miliki Elyana. Sadarlah sebelum kau terlalu sakit. Pria itu mendekatimu, hanya untuk balas dendam pada Papa-mu dan Mama-nya."

Seperti itulah Eli mengingatkan dirinya, meskipun rasanya terlalu sakit untuk menyadari kenyataan, setidaknya ia harus ingat dari awal dan tidak tenggelam dalam kubangan perasaannya sendiri.

Eli pun memutuskan pergi dari sana dan melanjutkan pergi ke apotik untuk mengambil obatnya. Dan tanpa ia sadari, seseorang tampak memperhatikannya dari jauh.

"Astaga, apa aku tidak salah lihat? Bukankah itu Elyana? Tunggu, mengapa dia bisa ada disini?"

***********

"Kau kemana saja Dylan? Katanya kau sudah pulang sejak kemarin tapi baru kembali ke rumah sekarang." sambut wanita paruh baya itu.

Pria bernama Dylan itu tersenyum, "Sampai kapan Mama akan terus memata-mataiku? Astaga, berilah aku sedikit ruang."

Lena, ibu Dylan terlihat tertawa mendengar ucapan putranya itu.

"Dylan sayang, apa maksudmu? Mama tidak memata-mataimu, Mama hanya ingin memastikan putra sulung Mama kembali dengan selamat. Senang sekali setelah empat tahun berlalu, akhirnya kau kembali ke rumah. Seharusnya, kau juga ingat mengapa kau dikirim ke luar negri oleh Papa-mu, hmm?"

Ekspresi Dylan sontak berubah dingin, kemudian ia menunjukkan senyumnya kembali.

"Tentu saja. Astaga, mengapa kalian menyuruhku tinggal di Amerika lama sekali? Mama tahu? Aku begitu merindukan Eli selama disana."

Lena terkejut bukan main mendengar ucapan Dylan yang secara terang-terangan, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada yang mendengar ucapan putranya barusan.

"Dylan, apakah kau sudah gila? Papa-mu ada dirumah, jika dia mendengar ini, dia akan marah besar. Lupakan wanita miskin itu! Bulan depan kau akan bertunangan dengan Sissy."

Dylan berdecih, "Mengapa aku harus bertunangan dengan wanita itu? Aku hanya mencintai Elyana."

"Dylan, Sissy lebih baik dari wanita bernama Eli itu. Lagipula Papa-mu dan Papa-nya SIssy sudah menjodohkan kalian sejak kecil."

"Apakah Mama bercanda? Perjodohan bokongku cih!, aku sudah mengalah selama empat tahunan ini demi kalian. Aku mengikuti semua permintaan kalian, sekarang biarkan aku menentukan hidupku dan jangan menjodohkan aku dengan wanita yang jelas-jelas tidak aku cintai! Ma, apa kau tidak ingin melihat aku bahagia?"

Lena terdiam, kemudian ia menghela nafas.

"Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya bahagia, maka dari itu mereka juga ingin turut andil memilihkan pasangan yang tepat untuk anaknya agar tidak salah memilih pasangan. Perempuan bernama Eli itu berasal dari keluarga miskin, dia pasti hanya memanfaatkanmu. Dia hanya butuh uangmu."

"Mama! Eli bukan perempuan yang seperti itu! Kau tidak mengenalnya, jadi jangan sembarangan bicara!"

Ketika Lena dan Dylan sama-sama beradu argumen, tiba-tiba seorang pria paruh baya muncul.

"Ada apa ribut-ribut begini? Oh? Dylan, kau sudah kembali?" ucap pria itu.

Dylan yang mengetahui kemunculan Papa-nya berdecih pelan, tanpa berkata-kata ia pun lebih memilih masuk ke dalam kamarnya.

"Hei, apa-apaan kau? Aku menyapa seharusnya kau menjawab." jengkel Smith, Papa Dylan.

Lena yang mengetahui suaminya begitu jengkel karena sikap Dylan barusan pun mendekatinya.

"Sayang, tenanglah, jangan diambil hati. Dylan baru saja kembali dari Amerika, dia begitu karena lelah."

Smith berdecak, "Iya, aku tahu. Tapi meskipun begitu tidak seharusnya dia mengabaikan Papa-nya sendirikan?"

Lena hanya tersenyum canggung, bagaimana pun juga Lena harus membuat Dylan melupakan perempuan bernama Eli itu sebelum diketahui oleh Smith sendiri agar kejadian empat tahun lalu tidak terulang.