"Akashi Rei apakah kau bersedia menjaga Yoshida Eiko disaat sehat ataupun sakit, senang ataupun sedih, dan menjadikannya istrimu yang sah." Ucap seorang pendeta memulai upacara pernikahan putra dan putri dari dua perusahaan yang paling terkenal di Jepang, mungkin bukan hanya di Jepang saja, Akashi Corp dan Yoshida Corp juga terkenal secara internasional. Kedua nya memang bukan menjalani pernikahan yang didasari oleh cinta tapi mereka menikah didasari oleh kedua orang tua yang saling menjodohkan.
Rei menghela napas ."Ya, saya bersedia." Ucapnya dengan suara datar yang didalamnya tidak menyiratkan kebahagiaan akan pernikahan yang ia lakukan.
"Yoshida Eiko apakah kau bersedia menjadi istri Akashi Rei, menemaninya disaat sehat ataupun sakit, senang ataupun sedih, dan menjadikannya suamimu yang sah."
Kini giliran seorang gadis cantik yang berdiri tepat didepan altar menggunakan gaun putih gading yang panjangnya menjuntai hingga ke lantai, Eiko menghembuskan napas pasrah akan pernikahan yang sama sekali tidak didasari oleh perasaan cinta yang berlangsung ini.
"Ya, saya bersedia."
.
.
.
Cklek
Eiko memasuki kamar Rei— Kamar Rei? Ya, Eiko dan Rei memang sudah resmi menjadi sepasang suami istri tapi cinta yang tidak tumbuh diantara mereka membuat keduanya bersepakat untuk tidak tidur seranjang dan memilih untuk tidur dikamar masing-masing.
"Kau mau apa?" Tanya Rei dingin kala manik menatap Eiko tajam.
"Kita sudah resmi menjadi suami istri, jadi aku ingin kau menandatangani kotrak ini dan memulai kerjasama dengan perusahaan ku."
Rei tersenyum meremehkan lalu beranjak dari duduknya dan mengambil kertas yang sedari tadi Eiko pegang.
"Aku tidak sebodoh yang kau kira Yoshida Eiko, ah tidak Akashi Eiko...." Ucap Rei kala tangan merobek kertas yang berisikan kontrak kerjasama antara perusahaan Yoshida Corp dan Akashi Corp.
"Hei!! Apa yang kau lakukan kenapa kau merobeknya Hah?!" Sewot Eiko begitu kesal.
".... Kau kira aku tidak tahu rencanamu, kau ingin bekerjasama dengan perusahaanku karena kau ingin perusahaanku memberikan sebagian saham kepada perusahaanmu lalu kau ingin menjadikan perusahaanmu menjadi perusahaan terbesar di Jepang. Tapi sayang sekali kau tidak akan pernah bisa menjadi nomor satu Eiko, kau akan selalu kalah denganku." Ucap Rei menyeringai lalu melempar sobekkan kertas itu tepat didepan wajah Eiko, dan itu sukses membuat emosi Eiko meluap.
"Lihat saja Rei sialan, aku akan membuat Akashi Corp menjadi nomor dua dan menjadikan Yoshida Corp menjadi nomor satu."
"Apa itu artinya kau sedang menantangku." Ucap Rei dengan penekanan diakhir kalimatnya.
"Ya aku ingin menantangmu."
"Apa kau serius? Kau tidak akan bisa menang melawanku, kau ingat sewaktu SMA berapa kalipun kau berusaha kau akan tetap berada dibawahku dan tidak akan pernah berada di atasku. Kau akan selalu kalah Eiko." Rei berucap lagi kala menaikkan dagu, meremehkan.
"KAU." Baru saja Eiko akan menampar Rei suara ketukkan pintu membuat mereka berdua menoleh keasal suara.
"Eiko, Rei." Seorang wanita paruh baya yang sedang berdiri diambang pintu menatap kalian berdua heran.
"Ibu." Sapa Rei seraya memberi hormat kepada sang mertua dan menarik punggung Eiko agar mendekat kearahnya.
"Apa yang kalian lakukan?"
"Tidak ada ibu aku hanya senang bisa menikah dengan putri anda." Ucap Rei dengan senyum yang merekah dibibirnya.
Cih. Eiko merutuki akting Rei yang bersikap manis didepan keluarganya dan bersikap dingin ketika hanya berdua dengannya. Eiko juga melakukan hal yang sama ketika dihadapkan oleh keluarga Rei. Jadi bisa diartikan mereka berdua melakukan sebuah sandiwara saat sedang tidak berdua saja, mereka akan berpura-pura menjadi pasangan yang harmonis tapi sebenarnya tidak ada perasaan harmonis yang menyelimuti Eiko dan Rei.
"Kalau begitu lebih baik kita makan malam dulu."
"Baik." Ucap mereka berdua seraya melangkahkan kaki menuju ruang makan.
.
.
.
Eiko dan Rei tersenyum ramah saat beberapa orang yang mengenal menyapa. Semua orang yang berada di pesta itu menatap pasangan baru yang menurut mereka begitu sempurna. Mereka memuji Rei yang merupakan seorang CEO muda yang tampan dan jenius dalam semua hal dan tak sedikit juga yang memuji kecantikan Eiko yang sedang menggandeng lengan Rei.
"Kalian benar-benar pasangan yang sempurna." Seorang yang merupakan pembuat pesta melontarkan pujiannya untuk Rei dan Eiko.
Rek tertawa kecil. "Aku beruntung mendapatkanmu Akashi Eiko." Rei merangkul pinggang Eiko dan merapatkan tubuhnya dengan tubuh Eiko lalu mengecup pucuk kepalanya.
Eiko tersenyum kecil. "Aku yang beruntung mendapatkanmu, Rei."
Lihat saja bukan bagaimana mereka berdua secara mulus memainkan sandiwara didepan banyak orang. Mungkin orang lain tak akan percaya jika sebenarnya didalam hati mereka berdua saling menyimpan kebencian pada satu sama lain.
"Kalian membuatku iri saja." Orang pembuat pesta tadi tertawa. "Terima kasih banyak kalian sudah mau datang kepesta perayaan pembukaan cabang perusahaan ku."
"Tidak masalah." Ucap Rei disertai senyum.
"Kalu begitu aku ingin menyambut tamu-tamu yang lain. Kalian berdua nikmatilah pestanya."
Rei dan Eiko pun membungkukkan badan sebagai tanda mengucapkan selamat tinggal dengan hormat kepada sang pembuat pesta.
.
.
.
Sudah sebulan sejak Eiko dan Rei menikah namun belum ada perasaan cinta diantaranya. Mereka memang selalu bertemu saat dirumah, tapi selalu beradu argumentasi dan saling menyindir satu sama lain- tanpa ada yang berinisiatif untuk melerai pertengkaran itu.
Namun skenario yang mereka buat dapat meyakinkan orang-orang bahwa Eiko dan Rei adalah sepasang suami-istri yang harmonis demi menjaga image dari keluarga kedua belah pihak. Rei akan mengatakan kepada semua orang bahwa Eiko adalah hidupnya, dan Eiko juga akan mengatakan bahwa dia beruntung mendapatkan Rei. Dan cincin pernikahan menjadi buktinya— yang hanya dipakai saat di acara tertentu.
.
.
.
Suara dentingan piring mendominasi meja ruang makan hari ini. Berbagai hidangan lezat dan mewah telah tersedia di meja makan yang dihuni oleh tiga orang tersebut.
"Ibu kenapa kau kesini?" Tanya Eiko kala memasukkan makanan kedalam mulut.
"Aish kau ini, memangnya kenapa? Ibu hanya ingin mengetahui keadaan kalian berdua."
"Keadaan kami baik-baik saja ibu." Kali ini Rei yang berucap.
"Kau begitu beruntung Eiko memiliki suami seperti Rei."
"Tidak bu saya yang beruntung memiliki putrimu." Ucap Rei kala membersihkan ujung bibir Eiko yang sedikit kotor dengan tisu.
"Jadi... Apa sudah ada tanda-tanda kalian akan menjadi orang tua...?"