Sekarang usiaku 17 tahun, aku mempunyai sahabat bahkan sering dibilang seperti pasangan LGBT.
Aku tak begitu memperdulikannya, bahkan jika memang begitu aku tidak merugikan mereka sama sekali.
Aku anak pertama dari tiga bersaudara, karena aku anak pertama dan aku di haruskan menjadi tempat pelampisan kesalahan adik-adikku.
Terkadang, aku memang melakukan kesalahan. Tapi, kurasa teguran dari ibuku sudah sangat berlebihan.
Sejak SMP aku tidak tinggal lagi bersama orang tuaku, aku memutuskan untuk sekolah di kota yang berbeda dengan orang tuaku.
Aku mempunyai ibu angkat di kota itu dan memiliki dua kakak angkat yang sangat menyayangiku.
Di antara mereka aku merasa sangat berharga ini jauh terbalik dari keluarga asliku.
Saat ini aku tinggal di rumah sahabatku, aku terpaksa tinggal disini karena aki baru saja kehilangan pekerjaan dan tidak mampu lagi membayar kontrakanku.
Kami berdua sama-sama di berhentikan dari tempat kerja.
Disini rasanya sangat-sangat tidak nyaman, mungkin karena keluarga temanku yang tidak menyukai keberadaanku dan juga tetangga sekitar yang mengira aku dan sahabatku ini pasangan LGBT.
Disini aku sering menjahili anak SMP yang naksir denganku, dia sering aku suruh untuk membelikanku makanan.
Dan bodohnya dia mau dan mengiyakan apa saja yang ku suruh.
Sekitar satu bulan aku tinggal disini, tetangga sekitar sini makin menjadi mengusikku sampai-sampai aku memutuskan untuk pergi dari sini.
Aku tengah sibuk mengemasi barang-barangku sambil menangis.
"Mau kemana?" Tanya Vika sahabatku.
Vika memang cewek tomboy jadi wajar jika kami selalu di bilang pasangan LGBT.
"Aku gak sanggup lagi disini." keluhku pada Vika.
"Lalu kamu mau kemana?" tanya Vika sambil menarik tas yang ku isi dengan pakaian ku.
"Kemana saja, asal menjauh dari sini." Suaraku tertahan karena tangis yang makin menyesakkan dadaku.
"Maaf." Vika memelukku dan berusaha menenagkanku, semakin aku berusaha melepaskan pelukannya semakin erat pelukannya.
"Aku gak sanggup lagi disini, aku benar-benar akan mati jika terus-terusan disni." aku terduduk lemas di depan lemari pakaian Vika.
Vika tak membiarkan ku pergi begitu saja bukan tanpa alasan, Vika sempat selama satu tahun tinggal di rumah orang tua kandungku dan beberapa bulan di kontrakan ku.
Orang tua Vika bercerai sejak Vika berusia 11 tahun, dia tinggal bersama neneknya yang membencinya.
Setelah lulus SMA Vika pun berkerja dan pergi dari rumah neneknya. Pada dasarnya, aku dan Vika sama-sama tidak mendapat kasih sayang dari orang terdekat kami.
"Aku sudah menyulitkanmu beberapa tahun terakhir ini." kata Vika sambil memegang bahuku.
"Tapi, tidak seorang pun menginginkan ku disini. Mereka benar-benar membenciku Vika." teriakku membuat keponakan Vika yang bernama Farhan berlari ke arah kamar.
"Siapa yang tidak menyukaimu! Mereka tidak tahu balas budi. Selama aku di luar sana, apa mereka memperdulikanku. Apa mereka memikirkanku, dimana aku? bagaimana keadaanku? atau dimana aku tinggal sekarang? mereka sama sekali tidak perduli." Vika memukul kaca lemari dengan tinjunya dan membuat beberapa luka di tangannya.
"Jangan seperti ini." aku segera menarik tangan Vika dan membersihkan lukanya dari pecahan kaca.
"Teh, ini ada apa?" tanya Farhan padaku.
"Gak apa-apa Far, bisa tolong ambil kotak obat? tangan Bi Vika luka."
"Bentar ya Teh." Farhan pun keluar dari kamar.
Aku sibuk membersihkan serpihan kaca yang lumayan banyak di tangan Vika.
"Ada apa lagi ini." Teriak Kakak perempuan Vika.
"Kamu!" Vika beranjak dari duduknya dan menunjuk ke arah Kakak dan juga ibunya.
Aku berusaha menariknya dan menahannya, aku menutup mulutnya agar dia tidak mengatakan hal yang akan memperkeruh keadaan.
Namun, usahaku sia-sia tenagaku tidak cukup kuat untuk menahan tubuh Vika.
"Kalian tau kemana aku beberapa tahun ini!?" teriak Vika.
Ibu dan juga kakak Vika hanya diam melihat Vika yang kini nampak seperti orang kesurupan.
"Apa kalian tau aku makan apa dan dimana aku berada beberapa tahun ini!?"
"Mana kami tau, kamu tidak pernah menelpon lagi." jawab kakak perempuan Vika.
"Ya, aku tidak menelepon. Kenapa kalian tidak menanyakan keadaanku! Kalian pasti tau kalau kontrak kerjaku sudah berakhir dari dua tahun yang lalu!" Kini mata Vika nampak merah wajahnya seperti bom yang akan meledak.
"Kalian kalau menelpon ku hanya untuk meminta uang, uang dan uang!" kini air mata menetes dan membuatnya meredah.
"Selama beberapa tahun ini Putri yang menampungku. Dari tempat tinggal, makan dan juga kebutuhanku dia yang menanggung tanpa mengeluh." Suara Vika kini meredah, nafasnya semakin berat. Kurasa tangis membuatnya kehilangan banyak energi.
"Saat Putri kehilangan pekerjaan, kalian tau? Aku di ajak tinggal di rumah orang tua angkatnya dan keluarga itu menyambutku dengan bersahaja." derai air matany semakin deras.
Aku memberanikan diri mendekat dan memeluk Vika.
"Sudah, cukup Vika." kataku.
"Tidak! Biar mereka tau dan malu atas apa yang mereka lakukan ke kamu." Vika menatap mataku dengan tatapan yang penuh rasa bersalah.
"Seminggu tinggal disana, Putri menanyakanku. Akan kemana aku pergi jika dia kembali ke rumah orang tua kandungnya? aku menjawab entah, aku tidak punya tujuan. Orang tuaku tercerai berai ke rumah ayah dia tidak mau menerimaku sedangkan ibu begini keadaanya." Vika terus menerus menangis sambil terus mericau di depan keluarganya.
"Kalian mau tau? Dia mengajakku pulang ke rumahnya, ibu, ayah dan juga adik-adiknya menyambutku dengan senyum bersahaja. Tidak seperti kalian dengan wajah manyun seakan-akan Putri sudah membebani kalian selama 10 tahun."
"Vika cukup." teriakku.
"Tidak Put, Ini belum cukup." Vika menghantamkan tinjunya ke pecahan kaca yang ada di lantai.
"Berhenti melukai diri sendiri." aku mulai memelas kepadanya berharap dia mau mendengarkanku.
"Bi." Farhan datang dan mengobati tangan Vika yang kini semakin banyak mengeluarkan darah.
"Gak perlu sok peduli kalian." Vika menarik tangannya lalu pergi meninggalkan kami.
Aku menyusul di belakangnya, ku lihat dia naik ke lantai tiga bangunan yang belum selesai di bangun.
"Vika." teriakku.
Tapi dia tidak mengubris teriakanku.
Sesampainya di lantai tiga aku berlari mendekat ke arahnya.
"Ayo pergi dari sini bersama-sama." ajakku.
"Tidak mungkin sekarang." jawab Vika.
"Kenapa?" tanyaku.
"Aku harus mengumpulkan uang untuk persiapan di kontrakan nanti. Aku tidak mau membebanimu lagi." jawab Vika.
"Sudahlah, jangan berkata seperti itu."
"Tunggu, hanya satu bulan saja." Vika menatapku dengan penuh harapan.
"Baiklah." dengan berat hati aku mengiyakannya.
Aku tau, ini adalah cara Vika membalas hutang budinya. Padahal aku sama sekali tidak menginginkan dia melakukan atau membalas budi padaku.
****
Seminggu berlalu setelah kejadian itu...
Cuaca tak begitu bersahabat, badanku bereaksi seperti biasa. Aku selalu demam jika terkena rintik hujan sedikit saja.
Jadi aku di suruh libur oleh Vika dan dia mengantikanku berkerja.
Hujan turun membasahi tanah yang sangat kering ini. Aku begitu menikmatinya. Rasanya sangat sejuk aku pun keluar dan duduk di kursi yang tersesia di teras rumah.
"Mau kemama Far?" tanyaku ketika melihat Farhan memakai kopiah andalannya.
"Mau ikut pertemuan remaja masjid, Teh." jawab Farhan.
"Oh... Hati-hati, hari sedang hujan." aku mengingatkannya.
"Iya Teh. Yaudah, Farhan pamit dulu ya teh." pamit Farhan.
"Iya, hati-hati. Jangan lupa bawa payung."
"Farhan kirain Teteh minta bawain makananya." Farhan terkekeh setelah mengatakannya.
Aku hanya menggelengkan kepalaku melihat kelakuan anak itu.
Beberapa menit duduk disini membuatku benar-benar lupa akan bebanku sesaat.
"Asslamualaiku." sapa seseorang mengagetkanku.
"Hah! siapa?" tanyaku yang masih setengah terkejut.
"Ada Farhan-nya?" tanya anak laki-laki itu.
"Farhan? Tadi ada tapi pergi pertemuan remaja masjid." jawabku dengan cuek.
"Ohh.. Kira-kira lama gak ya?" tanya nya lagi.
"Tunggu saja." aku pun berjalan meninggalkannya.