Chereads / Surga Kecil / Chapter 20 - Seharusnya Kau Kembali Pada Keluargamu

Chapter 20 - Seharusnya Kau Kembali Pada Keluargamu

"—Kenapa kau bisa sampai ke tempat pelacuran?"

Satu kalimat itu bagaikan bom yang meledak di dalam kepalanya.

Pertanyaan yang sangat ingin dihindarinya.

Senyum yang sempat muncul di wajahnya karena mendapatkan pujian, segera lenyap saat mendengar pertanyaan itu. Dia bahkan yakin tuannya sadar akan perubahan pada ekspresinya.

Genggamannya mengerat. Alexa mengalihkan pandangan dan menunduk menatap piringnya. Bibir bawahnya digigit. Jelas sekali dia tidak ingin menjawab pertanyaan tersebut. Mengingatnya saja bahkan bisa membuat amarahnya mendidih, kemudian menyakiti dadanya. Setiap pelanggan yang menanyakan alasan kenapa dia berakhir di tempat pelacuran pun tak pernah dijawab. Alexa selalu mengalihkan topik dengan hal lainnya.

Tapi kali ini, sepertinya dia tidak bisa menghindar seperti yang selalu dilakukan. Dia sudah tidak berada di tempat pelacuran, apalagi Alexa punya utang yang sangat besar pada pemuda itu, baik utang materi maupun utang budi. Lagipula, ini hanyalah sebuah pertanyaan mudah.

"Saya…" Alexa tidak bisa langsung menyelesaikan kalimatnya. Tenggorokannya terasa tercekat, seolah melarangnya berkata jujur. Selang beberapa detik, dia menarik napas dalam, kemudian melanjutkan, "Saya dijual."

Tanpa mengalihkan pandangan dari piring, dia benar-benar berharap tuannya berhenti bertanya lebih jauh. Semua pengalaman ini sangat melukainya dan menjadi sebuah trauma tersendiri. Kebencian, rasa jijik, dan juga amarah selalu berkumpul dalam dadanya dan siap meledak setiap kali Alexa dipaksa mengingat alasannya berada di tempat menjijikkan itu.

Di sisi lain, mata Skylar sedikit membelalak mendengar jawaban tersebut, meski mulutnya masih tertutup rapat. Potongan makanan yang akan masuk ke mulutnya pun diletakkan kembali di atas piring. Sepasang mata keemasannya menatap Alexa yang masih menunduk, seolah rahasia terbesarnya baru saja terbongkar.

Tentu saja, dia bisa melihat bahwa gadis itu bukanlah seperti pelacur kebanyakan—yang repot-repot menggodainya karena tahu dengan jumlah uang yang akan dia berikan. Sekali melihat pun sang pemuda tahu bahwa Alexa sama sekali tidak cocok berada di tengah-tengah dunia kesenangan macam itu. Satu bulan berselang pun, dia tahu gadis itu justru menghindarinya, alih-alih belajar dari pengalaman seperti kebanyakan pelacur lain yang akan mendekatinya.

Satu hal itu seakan sudah cukup untuk mengonfirmasi bahwa Alexa hanya menjadi korban dari entah siapa pemilik utang, yang memilih untuk mengorbankan perempuan belia yang seharusnya masih berada di sekolah, belajar bersama teman-teman, dengan menjadikannya seorang pelacur yang mengais uang dengan menjual tubuh.

Jumlah utang sebanyak itu tentunya tidak main-main. Belum tentu gadis tersebut mampu membayarnya meski harus menjajakan tubuhnya seumur hidup, mengingat bisnis pelacuran bukan tempat yang ramah.

"Di mana orangtuamu?"

Harusnya itu menjadi pertanyaan pertamanya ketika mengetahui Alexa masih muda. Dia seharusnya masih berada di bawah pengawasan kedua orang tuanya, yang entah berada di mana sekarang. Sayangnya, Skylar terlambat menyadari karena ego yang memaksanya bersikap dingin serta tak acuh.

Terkecuali bila orang tua gadis itu memang menjualnya karena tidak lagi sanggup membiayai dan menimpakan semua utang-utang pada anak mereka. Suatu hal yang masuk akal di tengah dunia semacam ini, di mana peranan uang lebih penting daripada keturunan mereka sendiri. Meskipun Skylar sedikit menolak untuk percaya. Keluarga mana yang berminat menjual anaknya untuk menyelamatkan diri sendiri? Dia tidak habis pikir.

"Dengar, Alexa, ini memang terlambat, tapi ... setidaknya aku harus memberitahukan keadaanmu sekarang pada orang tua atau walimu. Aku tidak berminat dianggap penculik."

Dia bicara lagi sebelum gadis itu sempat membalas, menambahkan bahwa keingintahuannya bukan berdasarkan rasa penasaran semata. Berurusan dengan hukum adalah hal terakhir yang dia inginkan sekarang, mengingat perilakunya yang tidak bisa dibilang selalu menaati kata-kata peraturan. Termasuk ketika memutuskan untuk membeli gadis itu, menebusnya untuk dirinya sendiri.

"Kau masih muda, tidak seharusnya kau berada di luar pengawasan walimu. Kau bisa bekerja di sini sampai utangmu lunas, tak perlu kembali ke tempat pelacuran." Skylar bisa memberikan kesempatan baru, sebuah opsi lain yang tadinya mungkin tak terpikirkan oleh gadis itu karena kekurangan biaya dan keahlian untuk bekerja. Dia bahkan bisa membebastugaskan gadis itu bila ia ingin, namun jumlah utang yang terlalu besar sedikit memberatkannya.

"Tapi seharusnya kau kembali pada keluargamu."

Ada hening yang melingkupi ruangan itu selama sejenak. Alexa masih berusaha menenangkan dadanya, sampai akhirnya dia meletakkan kedua tangannya di atas paha, mengepal erat. Nafsu makannya menghilang seketika.

Satu tarikan napas panjang diambil. Tanpa mengembuskannya, Alexa menjawab, "Tidak usah minta izin juga tidak apa-apa. Saya yakin dia sudah tidak peduli di mana saya berada sekarang. Kecuali Tuan tidak keberatan mengeluarkan uang lagi karena diperas."

Kedua orang tua Alexa meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil ketika umurnya masih lima tahun. Dia memiliki kakak laki-laki dengan selisih umur 8 tahun saat itu. Sayangnya, ketika kedua orang tuanya meninggal, para keluarga besar memutuskan untuk merawat dua bersaudara itu secara terpisah. Ada kerabat jauh yang kebetulan bersedia merawat kakaknya, sementara Alexa diserahkan pada adik ibunya. Sayangnya, sejak mereka terpisah, Alexa tak lagi mendengar kabar mengenai kakak lelakinya.

Hidupnya berubah sengsara saat tinggal bersama bibinya. Wanita itu adalah orang yang abusif. Dia pemabuk berat dan senang bermain dengan laki-laki. Bahkan saat Alexa pertama kali tiba di rumahnya, dia sudah diludahi dan disusul oleh makian, mengatakan keluhan bahwa sebenarnya wanita itu amat terpaksa merawat Alexa.

'Kalau kau macam-macam, akan kujual kau supaya menjadi budak!' adalah sebuah kalimat yang terus diingat Alexa.

Kepalan tangannya mengerat. Dia jelas tidak ingin tuannya bertemu dengan sang bibi. Meski dia tahu kalau tuannya memiliki banyak uang, tapi wanita itu pasti akan memerasnya. Biarpun Alexa bisa pura-pura tidak melihat karena bukan urusannya, namun jika benar-benar terjadi, dia akan kembali bertemu dengan sang bibi. Wanita itu mungkin akan sering datang kemari untuk meminta uang. Alexa bahkan sudah muak melihat wajahnya.

Skylar hanya mengangguk saat Alexa mengatakan bahwa dia tidak perlu meminta izin pada wali atas pekerjaannya di sini. "Baiklah kalau kau bilang begitu."

Tidak ada lagi hal yang bisa dia lakukan. Menurut kesimpulan yang dia tarik sendiri, Alexa memang tidak ingin kembali ke rumah. Dia juga tidak keberatan membiarkan gadis itu terus tinggal di sini.

Sisa lasagna di piringnya pun dihabiskan. Punggungnya disandarkan pada kursi dan duduk santai. Gelas wine di depannya diambil dan dihabiskan pula isinya, sambil matanya terus mengamati gerak-gerik Alexa yang masih menunduk.

Mendadak, gadis itu menoleh ke arahnya sembari memasang senyum yang dipaksakan. "Tidak apa-apa. Tuan tidak usah khawatir. Saya sudah tidak punya keluarga karena kedua orang tua saya meninggal sejak lama. Tidak akan ada yang peduli saya ada di mana dan sedang apa."

Tidak akan ada orang yang peduli pada sesuatu yang sudah dibuang.

Tiba-tiba, gadis itu menepuk kedua tangannya dan bicara dengan nada yang dipaksakan terdengar ceria. "Ah, apakah Tuan butuh wine lagi? Akan saya ambilkan. Tolong tunggu sebentar."

"Tidak perlu. Sudah cukup."

Skylar menukas sebelum gadis itu berdiri dan pergi dari sana. Dia menghabiskan wine dan berdiri, berjalan menghampiri pelayannya yang masih mematung di sana.

Entah setan apa yang merasukinya, Skylar mendekat dan memeluk gadis itu erat-erat. Seorang gadis yang sama, mampu membuatnya bertindak di luar logikanya sekian kali. Entah merupakan suatu prestasi, atau memang dia yang semakin lama semakin mendekati kata gila.

"Maaf membuatmu tidak nyaman."

Mendapat pelukan mendadak, kedua mata Alexa melebar karena terkejut. Dia tidak menyangka tuannya akan memperlakukannya seperti ini. Apakah karena simpati terhadap keadaannya?

Meski begitu, dia tidak bisa menghilangkan kebingungan di dalam kepalanya. Hari ini, tuannya sangat aneh. Dimulai dari lebih banyak bicara padanya, lalu mengajaknya makan malam bersama di meja makan, kemudian memeluknya erat seperti sekarang.

Sebuah kata maaf yang keluar dari mulut Skylar pun menghangatkan matanya. Dengan sekuat tenaga, Alexa menahan diri agar air mata itu tidak tumpah dari pelupuk. Napasnya ditarik dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.

Tanpa membalas pelukan yang diberikan, gadis itu pun menggeleng sebagai jawaban. Di dalam hati, dia hanya berharap pemuda itu tak lagi menyinggung apapun mengenai keluarganya, maupun hal-hal buruk ketika Alexa masih menjadi seorang pelacur.

Dengan satu tarikan napas dalam dan diembuskan pelan, Alexa pun mengambil satu langkah mundur ke belakang, melepaskan diri dari pelukan tuannya. Dia memberanikan diri mempertemukan sepasang mata berwarna hazelnya pada sepasang iris coklat keemasan milik tuannya.

"Terima kasih sudah mempekerjakan saya dan memberikan tempat tinggal sementara di sini. Saya merasa berutang budi seumur hidup pada Tuan."

Ketika pelukannya dilepas, Skylar bisa melihat wajah pelayannya nampak seperti sedang menahan tangis, namun memaksakan diri untuk tersenyum kepadanya. Setidaknya itu lebih baik. Dia bisa melihat bahwa raut wajah itu sudah berangsur-angsur membaik ketimbang sebelumnya. Baru kali ini Skylar sungguhan bertemu pandang dengan kedua mata hazel yang menatapnya balik.

Skylar jadi merasa sedikit bersalah karena mengabaikan gadis itu selama ini. Sudah pasti Alexa merasa kesepian karena harus tinggal bersamanya, orang asing, di tempat baru tanpa teman yang bisa dia ajak bicara. Gadis itu masih muda, dan Skylar memilih bersikap dingin padanya.

Kalimat terima kasih dan utang budi yang diucapkan gadis itu dengan nada tulus malah terasa menusuknya dan membuatnya semakin merasa bersalah. Gadis itu tidak tahu apa alasan di balik kebaikan hatinya untuk membawanya pulang. Sebuah keegoisan yang tidak ada hubungan dengan kebaikan maupun rasa kasihan.

Kalau saja Alexa tidak mengingatkannya pada Racie, belum tentu Skylar memandang sebelah mata pada Alexa, lantas membiarkannya berada di sana tanpa peduli nasib yang terjadi pada gadis itu.

Seharusnya dia berhenti memperlakukan seakan perempuan itu adalah Racie dan menghindarinya.

Sama seperti Skylar yang tak pernah peduli pada sebagian besar wanita yang dicobanya selama ini. Mengesampingkan cerita mereka karena tak berminat pada rasa kasihan. Setelah pembicaraan singkat mereka malam ini, pandangannya sedikit berubah. Dia mungkin tak peduli pada wanita-wanita lain, tapi gadis itu ada di bawah pengawasannya. Adalah hak Alexa untuk mendapatkan perlakuan manusiawi dari dirinya.

"Selesaikan makananmu, lalu susul aku ke atas. Aku butuh bantuanmu menyelesaikan quest, siapa tahu kau punya ide soal game-ku. Kau belum pernah main, kan?" Pemuda itu menepuk singkat bahu pelayannya, kemudian memandang mata kecoklatan itu dan tersenyum tipis. "Lagipula, apa kau sudah menyiapkan makanan untuk Sophie?"

Seakan tahu dirinya sedang menjadi bahan pembicaraan, anjingnya kemudian berdiri dan menyalak pelan, mengibaskan ekor dengan penuh semangat. Sementara Skylar hanya menghela napas pelan, melebarkan senyum saat melihat kelakuan anjingnya. Tangannya terangkat dari bahu gadis itu, dan Skylar berlalu meninggalkan ruang makan. Berjalan santai diikuti Sophie yang menyalak pelan.

"Kutunggu di atas, Alexa."

Gadis itu mengangguk pelan. Jarinya mengusap air mata yang masih menggenang. "Baik, segera," jawabnya singkat, lantas mulai membereskan piring-piring di atas meja.

Alexa berharap hidupnya bisa sedikit berubah mulai hari ini.