Ini adalah hari keduanya bekerja sebagai pelayan pribadi di sebuah hotel mewah. Sungguh Alexa lebih menyukai hidupnya yang seperti ini dibandingkan bekerja menjual tubuhnya dengan terpaksa. Bahkan senyum lebar pun sering muncul di wajahnya ketika dia sedang melakukan tugas bersih-bersih.
Hidupnya di sini terasa jauh, jauh, jauh lebih baik daripada saat hidup bersama bibinya, Alexa harus mengakui hal itu. Tidak ada orang yang tidak senang bisa makan makanan mewah dari hotel, apalagi dimasak langsung oleh koki handal. Lidahnya menari bahagia acap kali potongan makanan itu masuk ke dalam mulutnya.
Tentu saja, makanannya sedikit dingin karena harus menunggu tuannya selesai makan dahulu, baru Alexa menyentuh piringnya. Meski begitu, dia tetap merasa bahagia karena makanan makanan enak. Tidak semua orang bisa menikmati makanan mewah di hotel. Mereka harus membayar untuk mendapatkannya. Sedangkan Alexa? Dia hanya perlu bekerja membersihkan ruangan dan memandikan anjing, namun bisa menikmati makanan mewah khas hotel setiap hari!
Pukul tiga sore, semua pekerjaannya sudah selesai. Menyedot debu, membersihkan balkon, dan mencuci pakaian sudah selesai dia lakukan. Alexa merasa amat bertenaga setelah makan roti croissant dengan udang saat makan siang. Ada juga salad yang dijadikan makanan sampingan. Sungguh perutnya merasa amat bahagia, sehingga dia berhasil menyelesaikan pekerjaan lebih cepat.
Gadis itu hanya duduk di sofa di lantai 51 sambil menonton televisi. Namun entah mengapa, dia merasa tidak tenang dan ingin menggerakkan tubuhnya lagi, sementara tidak ada pekerjaan yang bisa dia lakukan. Kepalanya menoleh ke sana-kemari, mencari sesuatu yang sepertinya bisa dibersihkan.
Kemudian, pandangannya mendarat pada lift.
Sebenarnya, membersihkan bagian dalam lift tidak terlalu susah, menurutnya. Apalagi hanya satu box. Setidaknya, bisa membunuh waktu luangnya. Alexa hanya perlu membawa cairan pembersih dan juga kain, ditambah alat pembersih. Sebelum dia bangkit mengambil peralatan, Alexa teringat oleh kalimat tuannya. Dia bisa turun, tapi tidak bisa naik kembali kemari tanpa kartu akses. Sehingga, gadis itu meyakinkan dirinya agar tidak sembarangan memencet tombol di dalam sana.
Pekerjaannya berjalan lancar. Tuannya masih menyibukkan diri dengan pekerjaannya di lantai tiga. Dia tidak akan turun jika tidak ada pekerjaan yang mengharuskannya pergi keluar. Sehingga, Alexa masih mengelap dinding lift dengan semangat.
Sayangnya, karena dia kelewat semangat, gadis itu tak sengaja memencet tombol lift yang akhirnya membawanya ke lantai dasar. Saat pintu menutup, Alexa hanya memandangnya dari dalam dengan pandangan sedikit syok. "Ga-gawat!" serunya, sebelum tangannya terlambat terulur, dan hanya menyentuh pintu lift yang sudah tertutup lebih dulu.
Bisa dirasakannya kalau benda itu turun dengan cepat menuju ke lantai dasar. Jantungnya berdetak cepat karena kebingungan, tak tahu apa yang harus dia lakukan. Di tengah kebingungannya, Alexa memencet cepat tombol angka 51, berharap bisa naik kembali ke atas.
"Ayo berhentiii!"
Sayangnya, lift tidak bekerja seperti itu. Di dalam lift, hanya ada empat tombol, yaitu tombol menuju lantai dasar, lantai 51, 52, dan 53. Sekali tombol lantai dasar ditekan, maka lift tidak akan berhenti hingga tiba di tujuan. Lift tentu saja tidak bisa mendadak naik, karena masih berjalan turun. Alexa, seorang gadis yang sangat gaptek, tentu saja tidak tahu tentang hal ini.
Dia pun berjongkok, menjatuhkan semua yang ada di tangannya, kemudian mengacak-acak rambutnya. "Bagaimana ini … Aku pasti dimarahi nanti…"
Tidak sampai satu menit, lift berhenti dan terbuka diiringi suara denting. Dari tempatnya, Alexa tidak melihat keramaian, meski suara orang-orang terdengar. Wajar saja, karena lift menuju lantai 51 memiliki letak yang berbeda dibandingkan lift lain yang diperuntukkan bagi para tamu.
Alexa memberanikan diri untuk melongok keluar. Beruntung, di luar sana sedang tidak ada tamu lain yang sedang menunggu lift datang. Jika tidak, pasti tamu itu melihatnya dan memutuskan naik lift tempatnya berada sekarang.
Gadis itu lantas berdiri. Dia masih melihat tombol-tombol di dalam lift.
"Kalau aku tekan tombol yang ini … harusnya pintunya menutup," katanya sambil menekan tombol dengan dua panah yang saling berhadapan. Benar, pintunya menutup seperti yang Alexa harapkan. Ekspresinya berubah senang, seolah menemukan harapan untuk bisa naik kembali ke atas sebelum tuannya tahu.
"Nah, sekarang ke lantai 51."
Telunjuknya menekan tombol angka 51 dengan semangat. Namun, tidak seperti sebelumnya. Tombol lantai itu tidak menyala. Lift juga tidak bergerak naik dan hanya diam di tempat. Karena tidak merasakan ada pergerakan, Alexa memencet tombol itu sekali lagi. Hasilnya tetap saja nihil.
"Jadi ini yang dimaksud tidak bisa naik tanpa kartu akses…" gumamnya lirih dengan nada sedikit putus asa.
Alexa tidak ingin dimarahi di hari keduanya bekerja. Sehingga dia berjalan menuju ke meja resepsionis. Sosoknya yang berjalan menyeberangi lobi terlihat cukup mencolok, dengan kaos yang warnanya sudah sedikit memudar, serta celana jeans selutut, padahal sekarang sedang musim dingin. Sementara para tamu yang ada di sana semuanya memakai pakaian yang layak dan rapi. Untungnya, Alexa sedang tidak berkeringat dan rambutnya tidak lepek. Jika tidak, para karyawan di sana pasti sudah mengira dia adalah gelandangan yang menerobos masuk.
Gadis itu sedikit kesusahan menghadapi pandangan orang-orang yang mengarah padanya, namun dia berusaha mengabaikannya. Saat langkahnya berhenti di depan meja resepsionis, karyawan wanita di balik konter menatapnya dengan pandangan curiga.
"Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya setelah berdiri, walaupun suaranya terdengar sangat enggan.
Alexa masih memainkan jarinya, bingung harus mengatakan apa pada resepsionis itu. Tapi sekarang, yang harus dia lakukan adalah meminta tolong agar bisa kembali ke atas, sebelum tuannya tahu dan memarahinya.
"Um … Apakah aku boleh … meminjam kartu untuk naik ke atas?"
"Apakah Anda tamu di sini? Kamar nomor berapa?" tanya resepsionis lagi untuk memastikan. Biar bagaimanapun, ini adalah hotel bisnis dan berbintang lima. Tentu saja biaya yang dikeluarkan untuk menyewa tidak sebanding dengan hotel-hotel murahan. Dengan dasar seperti itu saja, sepertinya nyaris tidak ada tamu yang memakai pakaian sejelek itu. Meskipun ada, mereka pasti akan mengganti pakaiannya jika keluar dari kamar, untuk jaga-jaga jika bertemu dengan rekan bisnis di sepanjang lorong lantai kamar atau di tempat lainnya.
Tamu? Apakah Alexa tamu di tempat ini?
"Bukan—ah, maksudku, iya! Sa-saya tadi ada di lantai 51 tapi tidak sengaja memencet tombol kemari. Kebetulan juga tidak ada kartu untuk naik ke atas lagi…"
Mendengar jawaban itu, resepsionis tersebut mengernyit. Lantai 51 ke atas ditempati oleh pemilik tempat ini, tidak mungkin ada yang bisa naik ke sana kecuali manager dan pelayan yang sudah ditugaskan bersih-bersih. Kalaupun memang berasal dari lantai 51 dan perempuan di hadapannya adalah wanita simpanan bosnya, tidak mungkin pakaiannya sejelek itu.
"Maksud anda lantai 50?" Resepsionis itu mengira Alexa adalah tamu yang menginap di lantai 50.
"Tidak, saya sungguhan dari lantai 51, saya bekerja di sana." Alexa masih bersikukuh.
Dia pun menggigit bibirnya, mencari cara agar resepsionis percaya padanya. Jika mereka tidak percaya padanya, itu adalah hal yang wajar. Tidak mungkin juga tuannya mengatakan pada semua karyawan di sini kalau dirinya adalah pelayan pribadinya. Alexa paham posisinya di sini. Apalagi, di hari dia datang kemari, kondisi lantai dasar saat itu sedang sepi, dan tidak ada satu pun karyawan di sana yang melihatnya.
"Saya tidak bohong. Saya harus cepat kembali ke atas sebelum dimarahi. Tolong saya."
Gadis itu mulai memasang wajah memelas, karena sudah tidak tahu harus berkata apa lagi untuk meyakinkan resepsionis. Jika saja hanya dimarahi, mungkin Alexa tidak keberatan. Tapi dengan adanya ancaman dia menjadi gelandangan atau kembali ke tempat pelacuran, Alexa jadi merasa amat takut.
"Maaf, kami tidak bisa memberikan kartu untuk akses ke lantai 51."
Resepsionis itu tersenyum, tapi tangannya mengangkat telepon dan berniat melapor pada petugas keamanan. Seketika, jantung Alexa berdetak kencang hingga mau meledak. Jika mereka sungguhan memanggil keamanan kemari, maka akan terjadi keributan, dan konsekuensi yang diterimanya nanti jadi semakin besar.
Belum sempat Alexa meminta resepsionis itu agar tidak memanggil petugas keamanan, terdengar suara seorang laki-laki yang sedikit keras.
"Apa yang kau lakukan di sini?"