Chereads / Legenda Dewa Harem / Chapter 22 - 22 Cincin Kerberos

Chapter 22 - 22 Cincin Kerberos

"Kau pikir dengan mengeluarkan pistol membuatku takut?" Kata Randika dengan santai.

Dia pernah membunuh 1000 orang suruhan mafia Italia yang bersenjatakan lengkap, sekarang dia hanya dihadapkan satu pistol saja, ngelawak atau apa orang ini?

Senapan otomatis, granat, tank, misil udara, bom ranjau pernah dia hadapi semua dan dia sama sekali tidak terluka. Kota-kota hancur, pemukiman terbakar dan orang-orang berteriak histeris, sedangkan Randika hanya berdiri dengan senyum tipisnya ketika berhasil menghadapi semua senjata itu.

Macan melihat pemuda di hadapannya ini dengan perasaan takut. Melihat betapa tenangnya pemuda itu, tangannya semakin bergetar.

Selama hidup di dunia bawah tanah di kota Cendrawasih, Macan telah memiliki insting tajam yang bisa mendeteksi bahaya. Entah kenapa hari ini ketika dia melihat pemuda ini, dia merasakan bahaya yang amat sangat besar. Dia dengan cepat membidik dan menembakkan seluruh pelurunya.

Dor! Dor! Dor! Dor!

Serangkaian tembakan ditujukan kepada Randika yang dari tadi hanya melangkah lurus ke depan.

Tenaga dalam Randika sudah bersirkulasi secara maksimum. Kecepatan peluru baginya sekarang sama pelannya seperti semut yang merayap.

Dia lalu mengelak ke kanan untuk menghindari peluru pertama, berputar ke kiri untuk menghindari peluru kedua dan menunduk untuk menghindari dua peluru terakhir.

Lalu setelah itu, dia melebur satu dengan bayangan mendekati si Macan sambil sesekali menjatuhkan barang yang ada agar si Macan bingung dia ada di mana.

Si Macan yang bingung hanya bisa melihat barang berjatuhan di sekitarnya tanpa bisa melihat sosok Randika. Apakah tembakannya tidak mengenai satu pun?

Tangannya yang memegang pistol sudah bergetar hebat, di setiap ada suara jatuh dia akan segera membidik ke sana dan menembakan satu pelurunya. Namun sosok Randika masih tidak bisa dia lihat saking cepatnya.

Klik! Klik!

Setelah beberapa tembakan tambahan, peluru miliknya sudah habis dan dia pun hendak membantingnya.

"Sudah habis?" Sosok Randika dengan cepat muncul di hadapannya sambil menahan pistol yang ada di tangan si Macan. Mereka berdua saling bertatapan mata.

Melihat tatapan mata Randika, Macan segera panik dan berusaha menarik pistolnya kembali. Tiba-tiba seluruh pistol sudah terpretel dan bagian-bagiannya telah berserakan di lantai.

Lemas dan tidak berdaya, Macan yang merangkak ketakutan di lantai sudah tidak berani menatap Randika. Melihat kaki Randika yang mendekat dia segera berteriak histeris. "Bagaimana bisa ada orang seperti kau! Kau bukan manusia!"

Macan benar-benar ketakutan dan menganggap nyawanya akan berakhir hari ini. Randika mengatakan, "Sekarang adalah giliranku yang menyerang."

Sebelum kalimat itu selesai, Randika sudah melayangkan tendangan dan tubuh si Macan melayang jauh dan menabrak dinding.

Duak!

Macan segera berbaring kesakitan setelah menabrak dinding, seteguk darah keluar dari mulutnya. Randika menghampirinya secara perlahan, setiap langkahnya membuat ngeri si Macan.

"Si… siapa kamu?" Si Macan terlihat berusaha menjauhi Randika. "Aku rasa kelompok kami tidak pernah menyinggungmu. Kelompok kami pun juga tidak pernah bertemu denganmu. Mengapa kau melakukan semua ini?"

Si Macan benar-benar kehabisan akal. Pertama kalinya dia menghadapi lawan bagai dewa kematian ini. Kapan memangnya dia pernah menyinggung orang seperti ini? Dia benar-benar tidak ingat. Meskipun geng kapak terkenal akan kebengisannya, mereka masih menghindari berkontak dengan orang yang berbahaya semacam Randika.

"Kau yakin tidak pernah menyinggung aku?" Randika tersenyum tipis ketika mendengarnya merengek. Dia lalu menjambak rambutnya dan berkata dengan tersenyum, "Perlu kuberitahu ulah apa yang telah kau lakukan hari ini?"

Hari ini?

Si Macan aslinya sudah tidak bisa berpikir dengan jernih. Ketakutan ditambah dengan rasa sakit membuat dirinya tidak bisa berpikir walau dia mau. Hari ini? Apa yang telah dilakukan kelompoknya hari ini?

"Hmm?" Randika mengerutkan dahinya. Randika lalu mengangkat si Macan dan melemparkannya kembali ke tembok. Si Macan lagi-lagi mengerang kesakitan. Apa yang telah diperbuatnya?

"Sudah ingat?" Randika kembali menatapnya.

Si Macan mengangkat kepalanya dengan segera dan mengatakan, "Apakah ini tentang Perusahaan Cendrawasih?"

Ketika mengatakan hal ini, tenggorokan si Macan sudah kering.

"Ingatanmu cukup bagus." Randika menamparnya pelan. "Sekarang katakan, siapa yang menyuruhmu melakukannya?"

Ketika mendengar hal ini, si Macan berhasil mengetahui asal usul pria ini. Dia tidak menyangka bahwa tindakannya hari ini akan menyebabkan hasil seperti ini. Dia segera berkata dengan nada panik, "Maafkan aku tuan. Maafkan kebodohan hamba ini. Aku seharusnya tidak menerima pekerjaan itu dari perusahaan Mourin. Jika kau melepaskanku, aku berjanji kelompok kami tidak akan menyusahkan tuan maupun perusahaan Cendrawasih ke depannya nanti."

Randika mengerutkan matanya ketika si Macan berbicara. Di saat dia mulai berbicara dari awal hingga akhir, dia menghindari kontak mata dengannya.

Bohong!

Randika tidak bisa dibohongi.

"Terus mengapa kau mengincar salah satu ruangan di lantai 9? Kalian tidak mungkin tiba-tiba muncul di sana secara kebetulan karena kau telah menghancurkan ruangan pribadiku." Kata Randika. "Apakah ini juga suruhan dari perusahaan Mourin?"

Wajah si Macan kembali memutih, dia tidak tahu apa-apa mengenai hal ini. "Tugas kami adalah menghancurkan dan mengobrak-abrik bagian dalam gedung Cendrawasih, tidak ada target spesifik dari klien kami. Aku juga memerintahkan anak buahku untuk menghancurkan secara asal."

Kali ini muka si Macan tidak menunjukan tanda-tanda bahwa dia bohong.

Randika menghela napas, "Kau juga yang meracuni Inggrid Elina, bos perusahaan Cendrawasih?"

Walau tenggorokannya kering, si Macan tetap berusaha menceritakan segalanya demi nyawanya. "Tidak, kami tidak melakukannya! Tugas kami hanyalah mengobrak-abrik bagian dalam gedung Cendrawasih maka tugas kami sudah dianggap selesai oleh klien. Mengenai racun, kami sama sekali tidak tahu."

Randika berdiri dan menyeret tubuh Macan, "Bajingan keras kepala! Karena kau tidak mau menyebut namanya, maka temuilah dirinya di neraka."

Ketika mendengarnya, hati si Macan kembali menegang. Ketika dia hendak meminta ampun atas nyawanya, sebuah pisau sudah melayang dan menancap di kepalanya.

Pimpinan geng kapak mati begitu saja pada malam hari ini. Dengan kematiannya ini, kota Cendrawasih akan mengalami perubahan khususnya di dunia bawah tanah kota ini.

Randika tidak peduli dengan hal ini. Setelah membereskan seluruh anggota geng kapak, Randika mulai memeriksa ruangan ini. Seharusnya ada sebuah petunjuk mengenai dalang di balik layar ini.

Ruangan ini tidak begitu besar. Dalam beberapa menit, Randika sudah selesai mengecek semua sudut ruangan. Ketika hal ini berlangsung, Dimas yang tergeletak di tanah masih kebingungan. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang ini. Dia ingin berbicara tetapi takut pihak lain ini akan membunuhnya. Jika dia menyinggung orang ini, mungkin lebih baik dia bunuh diri untuk menghemat waktu.

Randika masih berusaha mencari-cari petunjuk di ruangan ini dengan seksama. Akhirnya Dimas memberanikan diri untuk memanggilnya dan mengatakan, "Kakak tertua."

Randika mengabaikannya.

"Aku rasa tadi si Macan membuka sebuah pintu berwarna hitam tadi."

Randika langsung menoleh ke arah Dimas dan bertanya, "Di mana?"

"Di sana! Di sana!" Dimas menunjuk sebuah rak buku yang ternyata bisa digeser.

Randika kemudian menggesernya dan menemukan pintu rahasia di baliknya.

Randika kemudian berkonsentrasi kembali. Dia memancarkan tenaga dalamnya melalui tangannya dan tiba-tiba pintu itu sudah melebur jadi serbuk!

Dimas yang melihatnya segera ternganga.

Setelah memasuki ruangan rahasia tersebut, Randika menyadari bahwa ada ruangan lagi di dalamnya. Terdapat banyak senjata di dalam sini bahkan yang sulit didapat pun di negara ini. Tempat ini adalah gudang senjata milik mereka.

Di atas meja, ada berkas-berkas informasi seperti profil tokoh-tokoh besar di kota Cendrawasih dan catatan keuangan geng kapak selama ini.

Di saat Randika mengecek seluruh ruangan, dia menemukan sebuah cincin merah di dalam laci.

Mengambil cincin tersebut, Randika memeriksanya. Cincin merah ini terlihat biasa saja tetapi simbolnya sangat mencolok yaitu anjing berkepala tiga yang lebih dikenal sebagai Kerberos.

Bulan Kegelapan!

Dalam sekejap terlintas nama Bulan Kegelapan di benak Randika. Ketika dia bersamanya dulu, Bulan Kegelapan selalu memakai cincin seperti ini. Tidak salah lagi, Bulan Kegelapan memiliki keterkaitan dengan geng kapak.

"Ternyata kau belum mati." Pikir Randika. Dia sekarang yakin bahwa Bulan Kegelapan pasti memiliki andil dalam kejadian hari ini, tetapi Randika masih ragu apa motif dia sebenarnya. Dia juga bingung mengapa Bulan Kegelapan masih berpura-pura mati dan bersembunyi.

"Bersembunyi dan cuma menunjukan ekormu memang ciri khasmu." Randika kemudian mengambil cincin itu dan keluar dari ruangan rahasia ini. Dia lalu melihat Dimas yang masih duduk di lantai, "Dalam satu jam, polisi akan menyerbu tempat ini."

Mengabaikan sosok Dimas, Randika segera melebur dengan kegelapan.

Ketika Dimas mendengar peringatan Randika, dia juga segera pergi.

.....

Randika kemudian mengambil handphonenya dan menelepon Shadow.

"Tuan!"

"Shadow, aku menemukan cincin merah yang biasanya dipakai oleh Bulan Kegelapan di salah satu gedung milik sebuah geng. Aku ingin kau memeriksa hal ini lebih lanjut."

"Tuan, aku sudah mengetahui hal itu." Kata Shadow. "Selain itu, informasi yang akan kuberikan padamu secara langsung juga berkaitan dengan hal itu. Aku hanya bisa menyampaikan semua ini secara detail ketika sudah sampai di kota Cendrawasih. Kurang dari seminggu lagi saya akan sampai."

Randika mengerutkan dahinya. Dia merasa bahwa ada yang aneh dengan Shadow. Ketika pertama kali dia meneleponnya dia masih belum sadar kejanggalan ini, tetapi dia merasa ada yang aneh kali ini.

"Baiklah, setelah kau sampai tolong jelaskan semuanya."

"Baik tuan!"

Setelah menutup teleponnya, wajah Randika juga ikut kembali normal. Dia merasa ada yang aneh dengan Shadow tetapi tidak tahu apa itu.

Dia lalu memutuskan untuk melupakan hal ini dan menunggu kedatangan Shadow.