"Aku membenci suamiku," kalimat itu hampir selalu terngiang di kepalaku selama kami bersama.
Memang, pernikahan kami tidak didasari oleh cinta, kami menikah karena dorongan keluarga. Ayahku sendiri memaksaku menerimanya sebagai suami karena di matanya ia adalah sosok lelaki yang baik, dari segi agama, karir, dan kepribadian.
Aku merasa saat itu kebebasanku terenggut, aku merasa takdir sangat tidak adil padaku. Karena itu aku menumpahkannya pada suamiku.
"Ia telah mendapatkan hidupku, maka ia harus membuatku bahagia," dengan keyakinan itu, tanpa rasa bersalah aku menyuruhnya membelikan berbagai hal. Dari tas, mobil, perhiasan, bahkan perawatan kecantikan di salon mahal. Aku juga menolak bekerja dan hanya menghabiskan waktu di salon atau jalan-jalan.
Suamiku tidak pernah mengeluh dengan itu semua dan tetap menuruti keinginan-keinginanku. Justru aku yang sering marah saat ia mendengkur, lupa membereskan gelasnya karena terburu-buru ke kantor, atau lama di kamar mandi. Tapi tetap, ia tidak pernah marah padaku meski aku kurang ajar padanya.
Tanpa terasa sudah 10 tahun berlalu, kini kami sudah memiliki dua orang anak. Meski sudah cukup lama, tapi rasa benci pada suamiku belum juga hilang.
Suatu siang saat hendak membayar ongkos perawatan di salon, uang di dompetku kosong. Aku menelpon suamiku, "Yah, uang di dompet mama kamu ambil ya?"
"Maaf Ma, tadi ayah mau kasih uang jajan anak-anak, tapi ternyata dompet ayah lagi kosong," jawabnya.
Aku murka padanya, lewat telepon aku membentak, mencaci, dan menyuruhnya datang. Pemilik salon pun menenangkan, ia bahkan berkata bahwa tidak apa-apa dibayar lain kali karena sudah kenal baik denganku. Tapi aku menolak, bukan karena malu tidak membayar, aku hanya ingin membuat suamiku kerepotan.
Beberapa jam berlalu, tiba-tiba datang sebuah telepon dari rumah sakit. Suamiku kecelakaan dan sedang dalam kondisi kritis.
Bergegas aku menuju ke rumah sakit sambil menghubungi orang tua kami. Dokter lalu menjelaskan jika ternyata penyebab kritisnya suamiku bukan karena kecelakaan, tapi karena stroke. Hanya beberapa jam kemudian, suamiku meninggal dunia.
Upacara pemakaman digelar, semua orang yang mengenal suamiku dengan baik menangis pada saat itu. Memang aku sedih, tapi air mataku tidak bisa tumpah, dadaku pun sesak, namun aku bisa tetap tenang. Seperti itulah kondisiku sampai suamiku selesai dikebumikan.
Beberapa hari setelah pemakaman, datang seorang notaris yang mengurusi masalah warisan. Usai semua urusan dokumen selesai, ia memberikan sebuah surat wasiat dari suamiku.
Pada surat itu tertulis, "Aku harus pergi terlebih dahulu, kuharap engkau tetap sehat. Istriku, kuberi engkau kebebasan untuk melakukan apa pun karena kutahu engkau merasa aku merampas hidupmu. Karena itu, lakukan hal yang baik di sisa waktu yang telah banyak kamu buang ini. Aku juga akan mendoakanmu dari sana, semoga kamu bisa mendapat suami yang lebih baik dari aku. Kutitipkan anak-anak kita padamu, ajari mereka agar bisa mencintai seseorang sebaik dirimu. Sampai jumpa istriku yang manja."
Selesai membaca surat itu, barulah air mataku yang tertahan tumpah, lututku melemah, dan aku mengerang sekuat-kuatnya. Saat itu, kusadari bahwa suamiku telah berhasil mencuri hatiku dengan ketulusannya. Seumur hidup, aku akan terjebak pada perasaan cinta padanya.
Pengorbanan suami dalam cerita cinta sedih yang bisa bikin nangis tadi amat besar. Bayangkan, selama bertahun-tahun ia dengan sabar menghadapi istri yang membencinya. Ia rela dibentak dan dimaki, tapi tidak sedikitpun mendendam.
Ada pepatah yang mengatakan jika penyesalan selalu datang di akhir. Apakah kamu sering marah seperti istri pada cerita cinta sedih yang bikin nangis tadi? Lebih baik hentikan kebiasaan itu sebelum terlambat.