Empat buah roda menggelinding bersamaan memasuki pelataran sekolah. Siswa berseragam abu-abu putih yang sedang berjalan menuju sekolah menengah atas Bakti Nusantara terlihat perlahan menyingkir, memberi jalan pada mobil sedan berwarna putih bersih.
Matahari cukup cerah pagi ini buktinya langit pagi sudah menyajikan warna biru laut indah di angkasa ketika Althar keluar menuruni mobilnya. Pria yang memutuskan cuti sehari dari kerjanya sudah membuat rencana panjang terkait wasiat yang ditinggalkan sang kakak.
Althar datang dengan balutan hem biru cerah secerah langit dan sebuah Vest di atasnya sebagai pemberi kesan manis. Vest yang tentu saja senada dengan celana dan hem yang dia kenakan.
Laki-laki tinggi 184cm ini cukup jangkung jika dibandingkan dengan rata-rata tinggi anak-anak SMA yang lalu lalang di sekitarnya, sehingga ke datangnya cukup menyita perhatian. Terlebih kacamata hitam yang dia tanggalkan sejalan dengan caranya melangkah menuju ruang-ruang yang berjajar di hadapannya.
"Hai," sapanya pada dua gadis yang berjalan beriringan melintas di dekatnya. Dua anak perempuan menoleh ke samping, butuh sedikit mendongak menatap wajah Althar, tanpa disadari bibir salah satu dari keduanya terbuka sesaat diiringi mata berbinar-binar, terpana.
"Bisa beritahu aku di mana letak ruang guru," kata Athar pada mereka.
"Kakak lurus saja, nanti dari sini, berbelok ke kiri dan yang paling ujung ada.." belum usai dua anak gadis ini memberi petunjuk arah, suara bel tanda masuk berdengung di telinga, cukup keras. Membuat semua siswa yang berjalan di sekitarnya berlarian, termasuk dua anak berseragam SMA di hadapannya.
"Cari saja tulisan ruang guru," satu dari mereka berteriak.
"Bye kakak ganteng," sapa yang lain dengan nada berani, sambil tertawa, gadis asing tersebut berlari.
"APA??" mendengar keberanian gadis remaja yang menyapanya dengan sebutan 'ganteng' Althar mengurai senyum kesal.
'Dasar bocil,' gumamnya dalam hati.
Walaupun sempat kesal, Althar tetap mengikuti petunjuk mereka. Para siswa sudah mulai duduk tenang di dalam kelas dan beberapa juga tertangkap berdiri di depan kelas karena terlambat.
Althar menyusuri lorong menuju ke arah kiri hingga kakinya terhenti pada sebuah ruangan yang lebih lebar dari ruang-ruang lain. Ruangan bertuliskan Ruang Guru. Althar mengetuk pintu tersebut, akan tetapi tidak ada yang menanggapi. Tidak banyak guru terlihat, beberapa tersenyum singkat lalu buru-buru pergi, sepertinya mereka punya jadwal masing-masing.
Hanya tersisa dua orang saja, satu di antaranya menidurkan kepala di atas meja dan satu lagi terlihat mengenakan kaus olahraga sedang berkonsentrasi menatap laptop. Althar yang memberanikan diri masuk menyapa keduanya. Sosok yang tertidur buru-buru bangun, menggosok ringan pelupuk mata.
"siapa ya? kayak tidak asing?" kata perempuan dengan rambut acak-acakan.
"Pak Rohman, ini saya?" Althar mengabaikan perempuan yang bertanya padanya. Althar mengarahkan kalimat tanyanya pada salah satu guru yang dahulu sering main ke rumahnya, kala kakak masih mengajar di sekolah ini. Bahkan guru ini beberapa pekan lalu hadir pada pemakaman kakaknya Alvin.
"Adik Pak Alvin kah? Benar?" Althar mengangguk mendengar kata tanya teman sesama guru sang kakak.
"Ada apa kemari?" Pak Rohman berdiri menanggalkan laptopnya, dia mendekati Althar lalu merangkul pundaknya. Di samping itu, guru dengan rambut acak-acakan tertangkap menyisir rambutnya sambil mengintip wajahnya di cermin kecil yang baru dia keluarkan dari laci meja.
"E.. Saya.." entah bagaimana Althar tiba-tiba kesulitan memulai percakapan. Dari mana dan bagaimana cara dia memberi tahu bahwa dirinya datang kemari untuk menanyakan salah satu siswa dengan nama Hannah L. Siswa yang fotonya selalu dipegang sang kakak pada penghujung masa usianya.
"E.. Kakak, Ee.. Saya.." sangat berbelit-belit sebelum akhirnya Althar menghembuskan napas panjang dan menelan salivanya.
"Bu!" tiba-tiba punggungnya di senggol dari arah belakang oleh seseorang, dia adalah guru yang tadi diabaikan Althar, perempuan tersebut menatap sekilas Althar dari ujung rambut hingga kaki, "Bicara saja, aku akan membantumu, kalau kamu mau.." dia mengedipkan mata.
"Hehe," senyum ringan janggal tertangkap di wajah Althar.
"Hanna, apa saya bisa dibantu mencari tahu gadis atas nama Hanna L, sepertinya dia punya panggilan Hana?" Althar akhirnya berhasil menyampaikan tujuannya datang ke sekolah ini.
'Sudah ambil cuti kerja, minimal menemukan informasi gadis itu,' bisik Althar dalam hati.
Dan dua orang yang diajak Althar bicara tiba-tiba mundur lalu kembali duduk di kursi masing-masing memasang wajah datar. Althar menautkan alisnya, 'Ada apa ini?' dia bertanya-tanya, gelisah.
"mengapa mencari mantan siswa kami?" Pak Rohman menamati laptop sambil berbicara, raut mukanya berubah, kontras sekali dengan beberapa detik tadi, "Apakah ada hubungannya dengan kakakmu?" kembali pria berbaju olahraga tersebut melempar pertanyaan.
"Iya," jawab Althar masih dengan upayanya mencari pemahaman. Bagaimana pria di hadapannya bisa berubah sekian detik. Termasuk guru yang tadi memukul ringan punggungnya, diam-diam mengambil langkah, hati-hati menyingkir keluar ruangan.
"Sebaiknya kau urungkan niatmu," kalimat ini bernada perintah.
"mengapa begitu?" Althar dibuat bingung oleh ucapan pak Rohman.
"Kasusnya sudah di tutup," pak Rohman kembali berucap. Nadanya tegas, anehnya pria tersebut enggan menatap Althar, "jika kamu berniat mencari tahu kasus ini, berarti nama baik kakakmu yang sudah terkubur dengan baik, bisa tercemar," di akhir kalimatnya, pak Rohman menoleh menatap Althar, seolah meyakinkan Althar untuk segera menghentikan niatnya..
"Kasus?" Althar kian penasaran.
"Kau akan di usir dari sekolah ini, jika para guru," pak Rohman terlihat menghirup napas dalam-dalam sebelum kembali berucap, "apalagi komite sekolah kami tahu kamu mencari mantan siswa kami atas nama Hanna L" pak Rohman memberinya tatapan ancaman.
"Apa maksud anda?" Althar enggan menyerah, layaknya detektif dia memburu informasi.
"Sudah pergilah," pinta pak Rohman.
"maaf, ini wasiat kakakku, tolong bantu aku," memohon, Althar mencoba mengambil hati pak Rohman.
"Ap' apa kau bilang??" pak Rohman terperangah, dia mengerutkan alisnya seketika.
"Kakak memintaku mencari Hanna, Hanna L, sebelum meninggal," Althar mengulang penjelasannya.
Entah apa yang salah, Rohman lekas berdiri, gerakan berikutnya, pria yang mengenakan kaus olahraga tersebut mendorong tubuh Althar keluar ruang guru, bahkan dorongan tersebut terus berlanjut hingga Althar berada di halaman sekolah.
"Apa salah saya?!" seru Althar menumpahkan kekesalan. Setelah dia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman pak Rohman.
"Kalau kau mau nama baik kakakmu dan seluruh keluargamu tidak hancur, keluar dari sekolah ini, anggap saja tidak pernah ada nama gadis bernama Hana," pekik Rohman meninggalkan Althar. Terheran-heran mendapati murka pak Rohman.
'mengapa? mengapa begini?' Althar yang berdiri kebingungan di antara bangunan menjulang tinggi, gedung sekolah yang berbaris mengelilinginya, bersamaan dengan suasana kontras, halaman sekolah yang kosong, pada akhirnya lelaki berambut hitam pekat tersebut memilih menuju mobilnya.
Althar terdiam cukup lama di kursi kemudi, sekali lagi mengamati foto gadis yang kini sudah disematkan dalam dompetnya. Dan untuk kesekian kali ekspresi wajah Alvin yang merintih, memohon sembari mencengkram lengannya terlintas begitu saja. Pria dengan kornea mata hitam pekat ini mengerjap-ngerjap berusaha menemukan kesadaran dari bayang-bayang kenangan pahit kematian sang kakak yang membelenggunya.
'Kak Alvin? tenanglah… istirahatlah… aku akan menemukan Hana untukmu…' bibirnya bergumam kenyataannya dia sedang dilanda kebingungan.
"Tok Tok Tok…" terkesiap, ketukan di kaca jendela mobil tepat di sebelahnya membuat Althar lekas menoleh.
"Kakak ganteng masih di sini?" gadis SMA yang sempat menggodanya tadi tampak berdiri di luar selepas Althar menurunkan kaca jendela mobilnya.
"Bagaimana caraku menemukan siswi bernama Hanna L, bisa jadi dia sudah lulus?" kalut yang membelenggu Althar membuatnya bertanya begitu saja pada seseorang yang tidak dikenal.
"Periksa saja buku tahunan sekolah, isinya profil alumni dari tahun ke tahun?"
"di mana aku bisa menemukan buku itu?"
"Tentu saja di perpustakaan,"
"Antar aku ke sana, sekarang juga," Althar membuka pintu mobilnya, dia turun tergesa-gesa. Sayang sekali pak Rohman terlihat di ujung sana bersama petugas keamanan menatapnya tajam dari kejauhan. Detik berikutnya petugas keamanan di sebelah pak Rohman terlihat mengambil langkah gusar, berjalan menuju ke arahnya.
'Yang benar saja! Mereka ingin mengusirku?' Althar mengepalkan tangan. Tidak habis pikir dengan perlakuan yang dia dapatkan dari teman-teman tempat Alvin menjadi guru selama bertahun-tahun.