Sesampainya Malik di rumah, dia termenung memikirkan hal yang dia lihat, dia tidak tahu mengapa perasaannya sangat cemas dengan kejadian ini. Dia menunggu pamannya pulang ke rumah dan ingin menceritakan semua yang terjadi hari ini. Pukul 19.30 akhirnya pamannya pulang, dengan muka yang lelah dia membuka pintu, "Malik, aku pulang. Kamu sudah bikin makanan? Paman lapar~" suara perutnya terdengar oleh Malik yang mengambil jaket dan tas pamannya, dengan nada sedikit bercanda Malik menggoda pamannya.
"Hahhah... Paman lapar ya, biasanya paman kan sudah makan di luar. Kenapa hari ini suara perut paman lebih keras dari suara TV di ruang tamu?"
"Dasar bocah sialan. Paman nggak punya waktu buat makan di luar tahu, kalau tahu kalau kamu bilang kayak gini mending jajannya paman makan sendiri." Susanto, pamannya Malik menjewer telinga Malik dan sambil melihatkan jajan yang dibawanya ke muka Malik.
Melihat jajan kesukaannya, Malikpun tersenyum lebar dan segera mengambil jajan yang dibawa Susanto. Melihat kelakuan Malik, Susanto tak merasa kalau 10 tahun sudah dia membesarkan Malik sendirian. Dengan hati yang bahagia, walaupun badan dan mental lelah semua terasa ringan melihat senyuman Malik. Susantopun pergi ke dapur dan mengajak Malik untuk makan bersama.
Seperti biasa, Susanto menanyakan keseharian Malik, "Lik, sekolahmu bagaimana hari ini? Aku dengar kamu di pulangkan lebih awal dan libur satu minggu?"
"Iya paman, aku dengar dari Rara dan Rere ada mayat yang ditemukan di sekolah. Aku tak tahu rinciannya, tapi yang aku tahu dia itu Layla. Dan sebelum aku pulang, aku melihat gadis dengan rambut panjang memakai gaun putih tapi bersimbah darah melayang di toilet yang ada mayatnya itu. Aku pikir itu Layla paman."
Melihat Malik menjelaskan semua yang dia tahu, susanto tahu bahwa anak yang dia besarkan itu ingin pergi ke sekolah untuk melihat apa yang terjadi. Tapi dia takut kalau kejadian yang dulu akan terulang kembali, tanpa pengawasannya anak-anak ini tidak bisa dibiarkan kesana.
"Malik, aku tahu apa yang kamu pikirkan. Tapi paman mohon jangan kamu, Rara, Rere, Putri dan Joko pergi ke sekolah. Tanpa ijin paman, kamu dan yang lainnya tetap di rumah saja. Dan bilang ke Rara, anak itu jangan melewati batas yang tak bisa dia lewati. Kamu dengar!" dengan tatapan tajamnya Susanto mengingatkan Malik yang mendengarkan dan sambil makan jajan yang dia bawa.
"Ehm...Ehmm.. mya Pamyan. (Ehm...Ehmm.. iya paman.)" Malikpun menjawab pamannya dengan mengunyah makanan yang ada di mulutnya.
"Syukurlah kalau kamu mendengarkan. Pergilah ke kamarmu bila kamu sudah kenyang, jangan lupa belajar walaupun kamu besok tidak sekolah. Dan satu hal lagi, jangan lupa ingatkan bocah sialan itu. Memikirkan hala yang akan dia lakukan membuatku pusing." Malik yang mendengar omongan pamannya hanya menggangguk dan melihat pamannya berjalan ke kamarnya.
Tak lama setelah dia merasa kenyang, dia bangun dan mencuci piring yang kotor. Dia masuk ke kamarnya dan menelepon Rara, "Hallo, Ra?"
"Hallo, Lik. Ini Rere, Rara sedang mandi jadi aku yang mengangkat teleponnya. Ada apa?" kaget mendengar suara Rere, Malik terdiam sebentar sebelum dia mengatakan tujuannya.
"Oh.. Rere... Anu... Gini, kata paman kita nggak boleh ke sekolah dulu untuk lihat keadaan disana. Katanya lagi Rara nggak boleh sembrono dan juga datang kesana kecuali ada paman yang menemani. Dia juga tahu kalau kita mau kesana untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi. Selamat malam Re"
"Oh... Begitu ya Malik, baiklah aku akan sampaikan ke Rara nanti. Terima kasih infonya, selamat malam." Beberapa saat setelah percakapan Rere dan Malik, Rara keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah.
"Siapa yang menelepon tadi Re?" dengan mengeringkan rambutnya, Rara berjalan menuju Rere sambil bertanya.
"Tadi Malik telepon Ra, katanya kita nggak boleh ke sekolah dulu. Katanya, paman melarang kita menyelidiki yang terjadi di sekolah tanpa ditemani paman." Rere menjawab sambil meletakkan telepon yang dia pegang di meja.
Mendengar apa yang dikatakan Rere, Rara merasa kecewa di dalam hatinya. Dia sebenarnya ingin langsung ke sekolah malam ini, melihat gadis baru itu. Apa yang sebenarnya terjadinya padanya? Kenapa dia punya aura dendam yang sangat mengerikan? Pertanyaan itu membuat Rara sangat kecewa saat mendengar dia harus di rumah. Tapi, kalau Rara tetap bersikeras untuk datang ke sekolah apapun yang terjadi harus ditanggung dirinya sendiri.
"Arghhhh... ini membuatku kesal. Memikirkan aku tak boleh datang ke sekolah saja membuatku gatal. Tapi kalau aku tetap datang kesana tanpa Malik atau paman.. arghhhh"
Rere melihat kelakuan Rara yang bergulang-guling di tempat tidur membuatnya menggelengkan kepalanya. Dia tahu seberapa penasaran Rara terhadap apa yang dia lihat, apalagi "teman-temannya" yang ada dirumah. Memikirkannya saja membuat dia lelah, apalagi melihat kembarannya yang seperti saat ini.
"Ra, sudahlah. Kita pikirkan saat paman sudah ada waktu sama kita untuk lihat kesana. Ini sudah malam juga, ayo kita tidur." Rere yang sudah lelah kemudian naik ke tempat tidur dan menyelimuti dirinya hingga dia merasa nyaman. Rara yang melihat Rere sudah memejamkan mata kemudian mendesah dan ikut tidur dengan Rere.
Disaat Rara dan Rere yang sudah terlelap tidur, Malik masih merasa gelisah dengan apa yang dia lihat hari ini. Perasaan buruk terus menghantui dirinya dari pulang sekolah hingga sampai di rumah.
Malik juga ingin pergi ke sekolah, tapi perkataan pamannya membuat dia menahan dirinya untuk pergi. Setelah dia berpikir lama akhirnya dia membuang semua perasaan yang dia rasakan hari ini.
Malik tidak lupa kalau hari ini kekasihnya pasti merasa ketakutan, sebelum dia tertidur dia membuka teleponnya,
[Put, udah tidur?]
[Belum, ini mau tidur. Kamu belum tidur kenapa? Masih mikirin gadis yang kamu lihat?]
Melihat pesan yang diterimanya, Malik merasakan sakit kepala. Kenapa pacarnya selalu cemburuan?
[Tidak kok, aku cuma mikirin kamu. Udah ah, ini udah malam juga. Kamu cepat tidur sana. Selamt malam sayang.]
[Ya udah, selamat malam juga sayang.]
Malikpun menutup teleponnya dan akhirnya tertidur. Namun apa yang dia rasakan hari ini merupakan awal dari kejadian yang dia tidak mau ikut. Namun kejadian itu akan melibatkannya kepada peristiwa yang terjadi pada dirinya waktu kecil.