Chereads / I Have To Go / Chapter 7 - Meninggalkan Kota

Chapter 7 - Meninggalkan Kota

Okta bergegas setelah seseorang melihatnya keluar dari dalam ruko tersebut. Sepanjang jalan Okta mengingat perkataan Teguh. Meneteskan air mata. Dia jahat dia sudah menolak ku, batin Okta dengan tangan yang menghapus air matanya dengan kasar. Salsa yang sudah di rumah Okta, melihat Okta masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamar.

"Ta kamu gak apa-apa 'kan?" tanyanya khawatir.

"DIA JAHAT DIA GAK CINTA SAMA AKU" teriak Okta dan melemparkan ponsel yang digenggam olehnya ke cermin.

PRAAAAANNNNNNKKKK

Salsa panik setelah mendengar pecahan kaca.

"Ta kamu jangan berbuat nekat, Ta" ucapnya.

Salsa mencoba untuk mendobrak pintu itu tapi percuma tenaganya tak mampu untuk melakukannya. Salsa langsung berlari keluar dan meminta bantuan kepada 2 orang pemuda yang sedang berjalan. Ke-dua pemuda tersebut membantu Salsa dan mengikuti Salsa ke dalam rumah.

"Ini kamarnya tolong mas" ucap Salsa.

Ke-dua pemuda itu pun langsung mendobrak pintu kamarnya. Pintu terbuka, Salsa langsung berlari masuk ke kamar menuju Okta yang sedang duduk di sudut kamar.

"Okta" panggilnya dan langsung memeluk tubuh Okta.

"Mas makasih ya udah tolong saya" ucap Salsa.

Pemuda itu mengangguk dan meninggalkan mereka. Salsa mendekap Okta yang masih menangis tersedu-sedu. Salsa bernafas lega karena temannya itu tak melukai dirinya.

"U ucapan ka kamu be bener tentang om te teguh" ucapnya terbata-bata dan menangis lagi.

"Udah Ta.." ucapnya menenangkan Okta.

Salsa membopong tubuh Okta ke ranjang dan mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang. Salsa meninggalkan Okta dan pergi ke dapur mengambil segelas air untuk Okta. Salsa kembali ke kamar dan memberikan segelas air kepada Okta. Okta meminumnya sedikit.

"Dia jahat dia gak cinta sama aku" ucapnya.

"Udah Okta mending tidur ya sekarang, udah malem" membantu Okta untuk membaringkan tubuhnya.

Salsa menyelimuti Okta sampai dada. Lelah menangis, Okta pun tertidur. Pagi hari Salsa bangun lebih awal. Sebelum Okta bangun dari tidurnya, dia membereskan pecahan kaca dan buku yang berserakan di lantai. Di tempat lain, Teguh ingin sekali untuk mengirim pesan kepada Okta, tapi niatnya diurungkan. Teguh tak mau Okta terus-terusan mengharapkan cinta dari Teguh. Teguh yang sudah biasa dengan kehadiran Okta kini hilang. Begitupun dengan Okta, semenjak Teguh mengucapkan itu, dia jadi pemurung, raut wajahnya tak seceria dulu. Salsa sudah pulang karena ayahnya sudah mencarinya.

Lima hari kemudian, Okta kini sendiri di rumah, dia merencanakan untuk pergi ke luar kota lagi karena dia tidak bisa melihat orang yang dicintainya itu menikah dengan orang lain. Dia merencanakan untuk memberi tau kepada Teguh untuk mengucapkan selamat tinggal. Sore hari Okta memberanikan diri untuk datang lagi. Kebetulan di sana tak ada pelanggan, Okta dengan leluasa datang dengan beralasan memfotokopi KTPnya. Teguh sedang duduk memainkan ponselnya.

"Om" panggil Okta.

Teguh menoleh kearah suara. Dia tersenyum lebar melihat Okta datang lagi. Teguh menghampirinya dan memegang tangan Okta.

"Kemana aja? Om kangen tau" ucap Teguh.

Pipi Okta mulai menghangat. Dia tak berani menatap mata Teguh.

"Ada kok" jawab Okta tanpa melihat kearahnya.

Okta teringat dengan niatnya untuk memfotokopi KTPnya. Dia melepaskan tangan Teguh dan mengambil KTP dari dompetnya.

"Om tolong ya ini 4 aja" memberikan KTPnya.

Teguh mengangguk paham dan mengambil KTP Okta kemudian memfotokopinya. Beberapa menit kemudian, Teguh selesai memfotokopi KTP itu.

"Berapa om?" Tanya Okta.

"Seribu" jawabnya.

Okta mengeluarkan uang koin seribu dan memberikan kepadanya.

"Buat apa ini?" Menunjuk ke arah KTP.

"Itu buat aku kerja di luar kota" jawab Okta.

"Oh mau keluar kota" ucapnya.

Okta mengangguk antusias dan memasukkan KTPnya ke dalam dompet.

"Mau lagi gak? Nanti gak bisa loh" rayunya.

Okta bingung karena dia juga sebenarnya mau tapi malu untuk mengiyakannya.

"Ya udah om buka deh pintunya" Teguh membukakan pintu. "Ayo masuk ke dalam, nanti ada orang lagi loh" ucapnya.

Okta masuk dan menutup pintunya.

"Mau peluk?" Tanya Teguh.

Okta mengangguk kecil. Teguh merenggangkan kedua tangannya mengisyaratkan bahwa dia siap memeluknya. Okta langsung memeluk Teguh erat karena dia berfikir bahwa ini pelukan terakhir untuknya. Okta merenggangkan tangannya. Teguh mencium pipi Okta.

"Sayang" ucapnya sambil membelai pipi Okta.

Okta tersenyum mendengarnya dan mencium pipi Teguh, kemudian mereka berciuman dengan mesra. Teguh merenggangkan tangannya dan Okta masih melingkarkan tangannya di pinggang Teguh.

"Hey" ucap Teguh lembut.

Okta menatap Teguh.

"Kalau om nikah gimana?" Tanyanya.

"Emang om mau nikahnya kapan?" Okta bertanya balik.

"Bulan depan" jawab Teguh.

Okta terkejut dengan jawaban Teguh. Okta melepaskan tangannya.

"Oh" mengambil tas selempangnya. "Aku harus pergi" ucapnya.

Okta bergegas pergi meninggalkan Teguh. Teguh tak bisa melarang Okta untuk pergi, dia membiarkan Okta melenggangkan langkah kakinya menjauh. Tanpa sepengetahuan Teguh, sepanjang jalan Okta meneteskan air mata. Aku harus pergi, batin Okta. Sesampainya di rumah, dia langsung menghubungi Salsa.

"Salsa hiks hiks" ucapnya lirih.

"Eh kenapa? Kok nangis lagi" tanyanya khawatir.

"Aku barusan ketemu lagi sama om Teguh" jawab Okta.

"Terus?" Menunggu jawaban Okta.

"Bulan depan dia mau nikah hiks hiks" jawabnya yang disertai dengan isak tangis.

"Yang bener Ta, sama siapa?" Tanya Salsa.

"Gak tau tapi dia bilang akan menikah, aku gak sanggup lihat pernikahan dia, aku belum rela dia jadi milik orang lain, lebih baik aku pergi aja" jelasnya.

"Pergi kemana Ta?" Tanyanya.

"Ke luar kota" jawabnya singkat.

Okta menutup teleponnya dan membereskan barang-barang yang akan ia bawa. Malam harinya dia pergi menggunakan bis. Ucapan Teguh terus saja terngiang-ngiang di telinga Okta dan sesekali dia mengusap air mata.