Pertarungan mantan sahabat itu terjadi cukup seru, adu pukulan dan tendangan silih berganti mencari sasaran.
Walaupun usia mereka sama-sama tua, tetapi gerakan mereka cukup tangkas dan gesit, bahkan lebih matang. Rupanya selain latihan keras, pengalaman bertarung mereka membuatnya semakin terlihat bertenaga.
Namun, perbedaan kekuatan diantara keduanya semakin jelas tatkala Wulung berhasil beberapa kali mendaratkan beberapa serangan tangan dan kakinya di tubuh Lontang.
Buk!
Satu pukulan telak menghantam dada Lontang membuatnya tersurut mundur beberapa langkah, dan nyaris menghantam dinding jika Li Yun tidak menahannya.
"Tuan, apakah baik-baik saja?" Li Yun bertanya cemas.
"Aku masih sanggup bertahan," Lontang menjawab sambil menyeka darah yang kembali mengalir dari sudut bibirnya, "Aku harap, suamimu segera datang sebelum Wulung berhasil membunuhku!"
Tangan Lontang berayun mendorong tubuh Li Yun, memintanya untuk segera menepi ke tempat yang aman, sementara nampaknya ia akan memulai pertarungannya kembali dengan Wulung. Tetapi, Li Yun bertahan. Ia justeru memajukan dirinya dan menarik tangan Lontang.
"Tuan, biar aku saja yang menghadapinya untuk mengulur waktu. Anda istirahat saja," ucap Li Yun.
Lontang tak bergeming, "Kamu bisa apa? Sekali hantam ia bisa langsung membunuhmu!"
"Tak usah buru-buru. Aku bisa menghadapi kalian berdua sekaligus. Ayo, maju sini!" Wulung berseru dibarengi dengan membuka kuda-kudanya.
"Cih!" Lontang langsung meludah. Ia merasa jijik melihat tampang Wulung yang menyeringai dihadapannya. Apalagi bayangan masa lalu melihat kondisi isterinya yang tewas mengenaskan semakin membuat darahnya mendidih.
Tanpa ia sempat mencegah, tubuh Li Yun langsung berlalu dengan sangat cepat melakukan serangan ke arah Wulung.
Tentu saja, serangan Li Yun yang menggunakan kungfu Tai Chi tak berarti apa-apa padanya. Ia malah mencoba menyesuaikan diri dengan kemampuan gadis itu.
Namun, ia cukup kaget juga pada saat meladeni serangan Li Yun. Gadis itu mempunyai gerakan yang tak terduga. Beberapa kali serangan tangan dan kaki gadis itu mampu menembus pertahanannya.
Hal itu membuatnya berfikir, seandainya Li Yun memiliki kekuatan, jelas serangan-serangannya pasti akan membuatnya terluka. Tetapi untuk mengalahkan dirinya dengan kekuatan seperti itu sekarang, meskipun berlatih puluhan tahun Li Yun masih tak akan mampu mengalahkannya.
"Sudah cukup main-mainnya. Ini, terimalah!!"
Selesai mengucapkan kalimat, Wulung melakukan gerakan aneh. Tangannya membentuk sebuah cakaran yang diarahkan ke dada Yang Li Yun.
Sebelum cakaran tangan Wulung sampai sasaran, Lontang yang menyadari bahaya itu langsung melompat dan menarik kerah belakang baju Li Yun hingga sasaran cakar Wulung mengenai tempat kosong.
Buk!
Lontang menggantinya dengan sebuah jejakan kaki kanan, dan cukup untuk membuat tubuh Wulung yang gempal terlempar ke belakang dan nyaris jatuh.
Saat itulah, suara ribut terdengar dari arah luar. Mereka sama-sama berpaling dan berusaha mencari tahu apa gerangan yang terjadi.
"Wulung!" Lontang berseru dengan tawa menyeringai, "Hari kematianmu nampaknya sudah dekat. Orang yang kamu tunggu sudah datang!"
Wulung memandang Lontang dengan tatapan marah, ia mendengus lalu pergi bersama Wiro ke arah dimana keributan sedang terjadi.
Puluhan orang terlihat berhamburan membentuk lingkaran sambil mengayun-ayunkan golok mereka ke posisi tengah, dimana Suro dan dua orang pendekar kembar sedang bertahan dari serangan-serangan mereka.
Tien Jie dan Tien Lie mengayunkan pedangnya beberapa kali, menghalau dan menebas tubuh-tubuh orang yang datang mendekat.
Sementara Suro, dengan menggunakan tongkat pendek juga tak kalah aktif. Ia bergerak merangsek serangan-serangan tak berarti dari para pengepungnya. Ia lebih banyak menggunakan teknik melumpuhkan, namun demikian pukulan, tendangan, bantingan dan bahkan lemparan dari serangannya mampu membuat para penyerangnya berfikir dua kali untuk asal menyerang. Akibat pertarungan tak seimbang itu menyisakan beberapa orang saja. Banyak dari mereka yang lumpuh dan terluka, sebagiannya lagi tewas dengan luka parah.
Satu kelompok orang-orang bersenjata golok tiba-tiba maju menyeruak, dan orang-orang yang tersisa sebelumnya sama membuka jalan untuk mereka. Nampaknya, kelompok kali ini memiliki kemampuan yang lebih tinggi.
"Minggir kalian!" satu seruan keras membuat pertarungan berhenti sejenak. "Kalian bukan lawan mereka, biarkan kami yang maju!"
Beberapa puluh orang kini berganti membuat lingkaran mengepung Suro, senyum disertai tawa menyeringai dan menyeramkan menghiasi wajah mereka.
Suro terlihat mendengus, ia langsung bisa mengukur kemampuan mereka, makanya pemuda iitu mengangkat kepalanya dengan sombong.
"Kalian semua juga tak ada bedanya. Paling-paling perbedaannya hanya setipis kertas. Maju sini!" sambil berkata demikian, Suro mengacungkan tongkat pendeknya.
Salah satu dari mereka langsung meludah, mereka semua tersulut dengan ucapan Suro yang merendahkan mereka.
Dengan satu teriakan, semuanya menyerbu Suro dan dua orang pendekar kembar itu dari berbagai arah.
Yang dikatakan Suro benar. Serangan para murid Macan Hitam nampak tak berarti apa-apa. Dengan kegesitan dan kelincahan yang mereka kuasai membuat para penyerang justru menjadi kelimpungan.
Tak butuh waktu lama, para murid aliran Macan Hitam sudah terkapar di atas tanah dengan berbagai kondisi. Ada yang mengalami luka tusukan sampai dengan anggota tubuh yang patah.
Suro bersama Tien Lie dan Tien Jie melenggang semakin dalam memasuki areal padepokan Macan Hitam tanpa hambatan. Sementara, di ujung pandangan mereka, Wulung didampingi Wiro serta puluhan muridnya yang terbaik sudah berdiri menanti mereka dengan tatapan sangar.
"Kakak!" tiba-tiba Yang Li Yun muncul dan berjalan dengan membimbing tubuh Lontang yang tertatih, nampaknya lelaki itu terluka cukup parah akibat serangan dari Wulung sebelumnya.
"Li Yun! Berhenti di sana!"
Suro berseru memperingatkan. Ia melihat gelagat yang tidak baik begitu melihat kemunculan Li Yun, dimana Wulung langsung berpaling pada gadis itu dan hendak melakukan sesuatu padanya.
Benar saja.
Wulung langsung melompat dan tahu-tahu sudah berdiri dihadapan Li Yun. Tangannya yang kekar sudah bergerak dengan tujuan mencengkeram bahu gadis itu.
Lontang langsung bereaksi, sebelum tubuh Li Yun berhasil terkena cengkraman tangan Wulung, ia melakukan sebuah pukulan mengandung tenaga dalam pada Wulung.
Sayangnya, dengan sebuah tepisan ringan, pukulan Lontang nampak seperti tak berarti. Malahan, sebuah serangan balik menggunakan satu tangan lainnya yang bebas kembali menghantam tubuhnya dan membuatnya terlempar.
"Huek!" darah segar langsung termuntahkan dari mulut Lontang.
Mendapati situasi demikian, Suro berlari melaju dan berusaha menembus gerombolan para murid Macan Hitam, sementara Tien Lie dan Tien Jie mengikuti dari belakang.
Sebuah tebasan tenaga dalam dilancarkan oleh dua orang pendekar kembar dari jarak cukup jauh membukakan jalan untuk Suro.
Wiro yang sebelumnya sudah pernah berhadapan dengan Tien Lie dan Tien Jie langsung maju melindungi orang-orang yang bersamanya, menggerakkan goloknya beberapa kali memapas tebasan jarak jauh keduanya.
Meskipun tak terlihat, Wiro masih merasakan efek serangan mereka, tangannya terasa bergetar. Lalu ia melompat dan berganti melakukan serangan.
Suro langsung membuat gerakan menebas dengan rotan pendeknya menyasar lengan Wulung.
Menyadari kuatnya tebasan tongkat pendek Suro, Wulung tak mau menjadikan lengannya sebagai sasaran empuk. Biasanya, serangan benda tumpul tak akan membuatnya terluka, apalagi ia memiliki ajian kebal. Senjata apapun ia tak akan takut.
Tetapi kali ini, keyakinan itu hilang. Mau tak mau, cengkeraman tangan yang menyasar tubuh Li Yun ia lepaskan begitu saja. Ia harus menghadapi serangan dari Suro secara langsung dan melompat menjauh sambil membuat gerakan kuda-kuda.
"Bocah tengik!" umpatnya, "Gurumu saja belum tentu sanggup mengalahkanku. Setinggi apa ilmumu sehingga berani menantangku?"
"Anak muda!" Lontang tiba-tiba berseru sebelum Suro membuka mulut membalas umpatan Wulung,"Jangan dengarkan ocehannya. Ia hanya berusaha menjatuhkan mentalmu!"
Suro tersenyum sinis, ia sempat bertanya-tanya dalam hati begitu melihat Lontang bersama Li Yun, isterinya. Mengapa Lontang sepertinya berada dipihaknya? Bukankah lelaki itu yang telah menculik Yang Li Yun? Lalu mengapa dia terluka?
Tetapi, masalah lain langsung menutup semua pertanyaan itu, lalu beralih menatap Wulung dengan nafas mendengus, "Siapa menantang siapa? Tuan yang sudah buat gara-gara dengan padepokan kami. Sebelumnya, kami tak punya ambisi untuk balas dendam, tetapi nampaknya tuan memang yang bernafsu untuk berhadapan dengan kami!"
Wulung tertawa keras hingga tubuhnya berguncang, dia menggerakkan kepalanya memberi isyarat pada Suro agar melihat situasi sekelilingnya sekarang.
Suro dan dua pendekar api dan angin sebenarnya sedang mencari mati. Bagaimana tidak, mereka ibaratnya begitu berani memasuki sarang macan. Meskipun ilmu beladiri mereka tinggi, dengan kondisi demikian rasanya tidak akan mungkin mereka akan keluar hidup-hidup dari perguruan Macan Hitam dengan jumlah anggota yang banyak.
Suro sebenarnya sadar, dan melirik ke arah dua pendekar kembar, ia merasa menyesal mengajak mereka ikut serta dalam urusannya. Tetapi apa mau dikata, kekhawatirannya akan kondisi Yang Li Yun, isterinya, membuat ia tak perduli akan nyawanya sendiri dan kini melibatkan kawannya yang lain.
Dua pendekar api dan angin tampaknya cukup kerepotan menghadapi Wiro bersama puluhan orang murid Macan Hitam yang berada ditingkatan paling tinggi diantara yang lainnya. Wiro dan kawan-kawannya cukup membuat mereka jungkir balik. Jika demikian keadaannya, kedatangan mereka memang hanya akan mengantar nyawa seperti yang dikatakan Wulung.
Tentu saja kondisi demikian cukup membuat mental Suro turun. Tetapi ia yakin, dua orang pendekar kembar itu masih cukup kuat dan tangguh untuk menghadapi Wiro dan kawan-kawannya. Itu terbukti beberapa orang dari pengeroyoknya sudah rubuh terkena tebasan senjata dua pendekar itu.
Dengan tatapan tajam, Suro kembali menghadapkan kepalanya pada Wulung. Satu-satunya jalan, ia harus melumpuhkan lelaki itu secepat mungkin dan memaksa para muridnya untuk menyerah seperti yang pernah ia lakukan dahulu ketika melumpuhkan Cheng Yu, si bajak laut.
"Orang tua!" Suro berseru, "Jangan remehkan kami. Walau kami bertiga, anda bisa melihat para muridmu sudah banyak yang tewas. Padahal, aku yakin diantara mereka ilmu beladirinya juga tinggi."
Wulung tertawa keras, kepalanya terdongak ke atas, lalu berganti menatap tajam pada Suro.
"Kamu harus bisa bedakan, antara murid dan guru. Murid tak akan bisa menyamai gurunya dalam keahlian ilmu. Begitupun kamu. Gurumu saja bisa kubunuh, apalagi kamu!"
"Jangan asal bicara! Jika bertarung secara adil, kemampuanmu tak ada seujung kuku dihadapan Ki Ronggo!" Suro membalas.
Ucapan Suro membuat telinga Wulung memerah, nafasnya terlihat memburu, ia merasakan kalimat Suro bagaikan petir yang menyambar tubuhnya. Ia merasa direndahkan. Seberapa kuatpun ia menutupi kondisinya, rasanya sudah tidak bisa ditahan lagi.
"Dasar bocah tengik!"
Selesai mengumpat, Wulung langsung melompat sambil tangannya berayun membentuk cakaran.
Suro miringkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, berkelit seperti seekor ikan yang berenang melewati celah-celah batu karang. Cakaran tangan Wulung yang memburunya hanya menemui tempat kosong.
Tapi angin yang ditimbulkan dari ayunan tangan Wulung yang dirasakan kulit tubuh Suro mau tak mau membuatnya bergidik, tanda kalau kekuatan tenaga dalam lelaki yang telah membakar padepokannya itu tinggi. Ia harus waspada, sekali terkena serangan, akibatnya bisa fatal!
Di antara gerakan tubuh dan serangan Wulung, Suro berusaha balas menyerang dengan pukulan maupun tendangan. Namun, Wulung tak memberikannya kesempatan. Ia terus menerus memberikan tekanan pada Suro dan membuat pemuda itu serasa sesak. Beberapa kali tangannya yang membentuk cakaran nyaris merobek kulit daging Suro. Sekali terkena guratan berbentuk irisan cakar bakal merobek kulit dagingnya.
Sesekali Suro mengayunkan tongkat ditangan kanannya, disisi lain ia membuat sebuah tangkapan, mengunci dan melumpuhkan. Tetapi selalu gagal. Wulung memiliki keterampilan yang sulit ia tanggulangi.
Diantara para ahli beladiri yang pernah Suro hadapi, Ye Chuan, Chow Liang atau Perwira Chou, ia bisa mengukur kalau Wulung juga mempunyai kepandaian Silat yang bisa dikatakan sama dengan lawan sebelumnya. Namun, dalam pertarungan-pertarungan itu, selain pengalaman dan kekuatan, teknik dan gaya bertarung yang dikuasai merupakan salah satu faktor penentu, dan Wulung mempunyai teknik dan gaya bertarung yang lebih dari Ye Chuan maupun Chen Lian. Meskipun dari ciri pertarungan adalah gaya rapat atau jarak dekat, dan Suro memiliki itu juga, ia masih harus sangat berhati-hati meladeni Wulung. Ia faham, gaya silat dinegerinya memiliki gerakan tipuan yang tak terduga.
Buk!
Satu tendangan yang sangat cepat dan tiba-tiba meluncur dan telak mendarat di dada Suro yang terbuka. Tubuhnya tersurut mundur beberapa langkah, lalu beberapa detik kemudian ia tersimpuh sambil memegangi dadanya. Nafasnya turun naik dan sesak.
"Kakak!" Li Yun menjerit dan secara refleks ia melompat hendak mendatangi Suro.
Bersamaan dengan itu, Lontang menangkap tangan Li Yun, dan Suro juga mengangkat tangannya, sebagai isyarat kalau gadis itu tak boleh mendekatinya.
Li Yun nampak begitu kesal, kakinya menghentak ke bumi saking jengkelnya dan tak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan keadaan suaminya yang terkena serangan tendangan Wulung.
Dilihatnya Suro menggelengkan kepala sambil tersenyum berusaha menenangkan Yang Li Yun.
"Aku tak apa-apa," katanya.
Tetapi, segaris darah mengalir dari sudur bibir Suro dan itu membuat Yang Li Yun cemas dan khawatir.
"Tuan, biarkan aku mendatangi suamiku!" Li Yun sedikit meronta sambil menghentakkan tangannya dari genggaman tangan Lontang, tetapi tangan Lontang begitu kuat menggengamnya.
"Tenanglah. Jangan mengganggunya, biarkan suamimu bertarung dengan tenang," jawab Lontang, "Suamimu belum mengerahkan seluruh kemampuannya, percayalah."
Sekali lagi, Yang Li Yun menampakkan wajah kesal. Apa yang dikatakan Lontang memang benar. Jika ia berada di sisi Suro, suaminya itu bakal bertambah repot.
Wulung tertawa terkekeh, ia merasa puas melihat serangannya berhasil menciderai Suro.
"Ayolah!" katanya mengejek, "Aku tak menendangmu dengan keras barusan."
Suro meludah dan tak memperdulikan ludahnya yang bercampur darah. Kemudian ia berdiri dan menatap Wulung dengan tajam.
Masih teringat jelas suara tawa Wulung yang waktu peristiwa pembakaran padepokan ia tak dapat melihat wajah lelaki itu. Suara yang tak pernah ia lupakan!
"Tertawalah sampai puas. Sebab hari ini, suara tawamu itu akan lenyap dari muka bumi ini!" ucap Suro geram sambil menggenggam erat tongkat pendek ditangannya.
Raut wajah Wulung langsung berubah, sejurus kemudian ia menerjang ke arah Suro dengan gerakan cepat dan bertenaga.