"Kurang ajar!" Wengi ikut membentak, kondisinya pun sama terkejutnya dengan Sarji, "Apa kamu ini setan, yang muncul tiba-tiba!"
"Siapa kau!?" Sarji kembali membentak dengan nada bertanya.
Suro tersenyum simpul sambil melangkahkan kakinya dengan santai lebih dekat kepada tiga orang perampok itu seperti tidak merasa bersalah telah membuat mereka kaget setengah mati.
"Mohon maafkan saya," katanya santai. Sambil memandang ketiganya bergantian, Suro melanjutkan kalimat, "Saya adalah orang yang kebetulan lewat hendak melintas hutan ini, dan tak ada maksud untuk mengagetkan kakang-kakang sekalian."
Setelah Suro semakin mendekati nyala api, barulah mereka dapat melihat lebih jelas rupa Suro, seorang pemuda dengan kain berwarna hitam yang menutupi kepalanya yang diikat membentuk simpul panjang menjuntai dibelakang kepala.
Sarji memicingkan matanya memandang Suro dari ujung kaki sampai kepala.
"Berani sekali kamu menampakkan diri dihadapan kami setelah menguping pembicaraan kami!" Sarji mengatakannya sambil mengacungkan goloknya. Nadanya tetap tak berubah.
"Bukan maksudku menguping pembicaraan kalian. Bagaimana aku mesti bersikap, sedangkan jalan setapak ini akan aku lewati?" Suro membela diri.
Nada bicara Suro yang santai dan tak ada kesan rasa takut membuat mereka berfikir kalau anak muda yang baru muncul ini memiliki keberanian yang besar, sehingga masih bisa bersikap tenang meskipun mereka sedang memegang golok yang bisa saja menebas kepalanya.
Rebo tiba-tiba mendekatkan kepalanya pada Sarji, kemudian berbisik, "Kakang, dilihat dari pakaiannya, sepertinya anak muda ini adalah orang yang ada hartanya. Kenapa tidak kita biarkan dia lewat dengan syarat meninggalkan harta yang dia bawa?"
Sarji mengangguk dan memperhatikan lagi pakaian yang dikenakan Suro, ia baru sadar kalau pengamatan Rebo benar.
Kemudian berkata sambil kembali mengacungkan goloknya ke arah Suro, "Baiklah kalau memang kamu betul-betul hanya ingin lewat jalan ini. Kamu boleh melewatinya dengan syarat, apa yang kamu miliki diserahkan pada kami."
Nada suara Sarji sedikit menurun, tetapi senyum jahatnya masih nampak dalam pandangan Suro.
"Maafkan saya sekali lagi," Suro menjawab, "Saya bisa saja memberikan harta saya, tetapi itu kalau kakang-kakang semua mau menjawab pertanyaan saya."
Dalam hati, Suro sangat berharap cara ini berhasil agar tidak terjadi pertarungan. Dia bisa saja bernegosiasi dengan cara memberikan satu-dua koin emas untuk mendapatkan informasi dari ketiga orang perampok itu. Ia mesti menghemat tenaga, karena tidak tahu pasti sampai kapan dan berapa lama masa pengejarannya terhadap penculik Li Yun.
"Jangan coba-coba bernegosiasi dengan kami. Seharusnya kamu bersyukur tidak kami bunuh dan membiarkanmu lewat dengan cara menyerahkan harta yang kamu punyai," kali ini Wengi angkat bicara.
Suro kemudian mengeluarkan dua koin emas sebesar mata kuku ibu jari orang dewasa, memainkannya dengan jari-jemarinya dihadapan mereka membuat mata mereka langsung berbinar-binar.
Koin emas sebesar itu bisa membuat mereka terkagum-kagum. Itu adalah emas yang cukup untuk berfoya-foya selama beberapa hari.
"Dengar!" Suro merubah nada suaranya lebih berat. Ia merasa telah menundukkan mata mereka dengan koin emas yang ia miliki. "Aku akan memberikannya pada kalian secara sukarela jika kakang-kakang mau menjawab pertanyaanku!"
Sarji memandang dua rekannya bergantian, kemudian matanya kembali melihat ke arah Suro. Ia seperti orang yang sangat ingin memiliki koin di tangan Suro, dan rela untuk menukarkanya dengan jawaban.
"Lalu bagaimana kalau kami tidak bisa menjawab pertanyaanmu?" tanya Sarji kemudian.
Suro tersenyum, "Kalian tetap akan mendapatkan koin emas ini hanya satu keping!"
"Baiklah!" Sarji berkata, "Apa pertanyaanmu?"
Suro diam sejenak, ia ingin menanyakan suatu pertanyaan yang langsung ke poinnya agar tidak mengulang-ulang pertanyaan. Takutnya, jika ada pertanyaan lanjutan, ketiga orang itu akan meminta lebih dari koin yang ia miliki.
"Apakah kalian melihat orang-orang yang berjumlah lebih dari lima orang lewat sini dengan membawa seorang gadis?" tanya Suro.
Ketiga perampok itu saling pandang untuk beberapa saat, kemudian menggelengkan kepalanya satu sama lain. Suro sudah bisa menangkap maksud gelengan mereka. Mereka jelas tidak melihatnya.
"Aku ingin jawaban jujur, sehingga aku ikhlas memberikan koin ini pada kalian!" kata Suro lagi.
"Kami tidak tahu!" Sarji menjawab, lalu tangannyan kirinya terulur menagih janji Suro.
Suro tersenyum, "Aku ingin bertanya lagi. Jika kalian tetap tidak tahu, maka semua koin ini akan menjadi milik kalian!"
Tawaran Suro membuat mereka semakin tak bisa menyembunyikan rasa senangnya.
"Lanjutkan!" pinta Sarji.
"Apakah jalan ini benar menuju ke Perguruan Silat Aliran Macan Hitam?"
Mendengar pertanyaan Suro membuat mereka sedikit terlonjak serta menampakkan muka terkejut dan kembali saling pandang. Nama yang disebut oleh Suro membuat mereka seperti disambar petir seolah-olah mendengar nama yang begitu sakral.
"Mau apa kau kesana?" Rebo bertanya pada Suro, "Apakah kau mau cari mati? Saat ini aliran Macan Hitam adalah yang terkuat di tanah Jawa!"
"Hei, aku tidak meminta kakang bertanya padaku!" Suro menyanggah cepat, "Akulah yang saat ini bertanya. Apakah jika aku menjawab artinya koin ini akan kembali padaku?"
Mereka langsung mengayunkan tangannya sambil menggelengkan kepala dan serempak menjawab, "Tidak-tidak-tidak!"
"Baiklah," Sarji langsung berkata, sepertinya ia takut Suro akan menarik kembali koin emasnya kembali, "Jalan setapak ini menuju ke selatan sedangkan perguruan Macan Hitam itu berada di timur. Kau salah arah."
Suro langsung mengumpat dalam hati. Artinya ia sudah tersesat begitu jauh. Buruannya pasti semakin jauh jika ia tidak segera berbalik kembali dan menuju ke arah timur seperti yang dikatakan oleh Sarji.
Mendengar informasi dari Sarji, hatinya semakin bertambah gelisah, ketakutan langsung membayangi fikirannya. Takut kalau terjadi sesuatu yang buruk pada isterinya itu.
Tanpa mau membuang waktu lagi, Suro melemparkan kedua koin emas itu ke arah Sarji yang langsung berhasil ditangkap oleh lelaki itu.
"Terima kasih informasinya!" ucap Suro sambil bergegas berbalik arah.
Sebelum Suro menghilang, Wengi berbisik cepat ke telinga Sarji.
"Aku yakin, ia masih memiliki beberapa koin emas disakunya! Bagaimana kalau kita bunuh saja sekalian?"
Sarji langsung beraksi setelah mendengar bisikan hasutan Wengi, seolah tak ingin kehilangan korbannya, ia melemparkan golok yang berada ditangannya hingga terbang berputar seperti baling-baling menyasar punggung Suro.
Suro yang merasa ada sesuatu dibelakangnya segera membuat lompatan kecil ke samping menghindari lemparan golok Sarji, hingga golok itu lewat disisi kepalanya dan menancap pada batang pohon.
"Dasar serakah!" umpat Suro yang seketika membalikkan tubuhnya kembali ke arah Sarji dan kawan-kawannya.
Merasa diburu waktu dan ingin menyelesaikan pertarungan sesingkat-singkatnya, Suro bergerak cepat ke arah Sarji dan kawan-kawannya. Ketika sudah berada pada jarak serang, tangannya bergerak dengan sangat cepat memukul ulu hati lawan beberapa kali yang nyaris tak bisa terlihat oleh mereka bertiga.
Buk!
Buk!
Buk!
Yang terjadi setelah bunyi suara pukulan, tubuh mereka bertiga langsung tersungkur ke tanah sambil memegangi perutnya masing-masing. Tak ada perlawanan sama sekali dari mereka.
"Koin emas yang kuberikan adalah harta yang kuhalalkan untuk kalian. Aku menginginkan koin itu agar bisa kalian gunakan dengan benar sebagai modal untuk usaha. Berhentilah menjadi perampok, berikan kembali harta hasil rampokan kalian pada tempatnya dan jangan kalian campurkan dengan apa yang sudah aku berikan," ucap Suro.
Meskipun dalam keadaan kesakitan, mereka masih bisa mendengar dengan jelas apa yang disampaikan Suro. Namun, untuk membuka suara, rasa sakit yang mereka terima lebih berat ketimbang membalas ucapan Suro.
Begitu rasa sakit mereka berkurang dan bisa mengangkat kepala, Suro sudah tidak ada lagi dihadapan mereka bertiga.
***
Pagi menjelang siang, serombongan lelaki sedang memacu kudanya masing-masing dengan perjalanan ke arah timur. Salah satu dari mereka membawa sosok tubuh terkulai di atas kudanya dengan rambut menjuntai. Hembusan angin akibat lajunya kuda mereka berlari terkadang menampakkan raut wajahnya, hingga orang-orang yang mereka lewati dalam perjalanan langsung bisa menebak kalau gadis itu dalam keadaan tidak sadar.
Banyak orang menggelengkan kepala melihat kondisi gadis itu yang adalah Li Yun, dan menyayangkan kenapa bisa gadis itu berada di tangan mereka. Mereka hanya bisa menebak-nebak kondisi yang akan menimpa gadis itu.
Mereka adalah para utusan yang diperintahkan oleh Wulung untuk menculik seorang gadis dari Padepokan Cempaka Putih, yakni Yang Li Yun.
Sampai suatu ketika ditengah perjalanan mereka menuju Perguruan Macan Hitam, mereka berpapasan dengan 5 orang penunggang kuda lain yang menjalankan kudanya dengan santai dari arah berlawanan.
Dilihat dari raut wajah dan model pakaian yang mereka kenakan sudah bisa ditebak, kalau mereka adalah orang asing. Salah satu dari mereka ada yang berkepala botak dengan 6 totol hitam dikepalanya seperti seorang biksu dari kuil Shaolin.
Merasa mereka menghalangi laju penunggang kuda yang menculik Li Yun, akhirnya mereka pun buru-buru mengarahkan kudanya untuk menepi dan membiarkan rombongan penunggang kuda itu lewat dihadapan mereka.
Mereka bisa melihat jelas salah satu orang dari rombongan penunggang kuda itu sedang membawa satu sosok tubuh wanita yang masih terlihat muda. Tetapi karena tak ingin mencampuri urusan orang lain, mereka hanya bisa memandanginya lewat. Dalam benak mereka, barangkali wanita itu adalah orang jahat dan mereka adalah para pasukan khusus dari suatu pemerintahan.
Sebagai orang asing yang berada ditempat yang asing pula, tentunya mereka tidak tahu apa-apa tentang kondisi masyarakat dan situasinya.
Salah satu dari penunggang kuda yang menepi itu terlihat buru-buru mendekati penunggang kuda yang tadi berjalan didepannya begitu rombongan terakhir penunggang kuda penculik berlalu.
"Tuan Cheng, sepertinya aku sangat akrab dan mengenal gadis yang mereka tangkap itu!" katanya pada orang yang ternyata adalah Cheng Yu, suaranya terdengar panik dan membuat Cheng Yu menatapnya dengan heran, "Tapi aku tak tahu apakah tuan mengenalnya juga. Jika ternyata tuan kenal, artinya pikiran kita adalah sama!"
Cheng Yu langsung terkesiap. Kalimat yang dilontarkan anggotanya itu membuat darahnya berdesir dengan cepat.
"Aku juga sepertinya kenal!" kali ini orang yang berkepala botak yang berbicara, yang ternyata ia adalah Chin So Yung, salah seorang dari biksu pelatih senior dari kuil Shaolin yang ikut ke tanah Jawa bersama Cheng Yu.
"Li Yun!" tiba-tiba Cheng Yu, Chin So Yung dan anggota Cheng Yu yang ternyata memang Zhu Lie Xian berseru dalam satu suara.
Seperti dikomando, mereka buru-buru memutar arah kudanya dan langsung memacunya dengan kencang menyusul rombongan penunggang kuda penculik Li Yun.
"Kalian berdua tetaplah menunggu di sini hingga kami kembali!" Cheng Yu sempat berteriak memberi perintah pada beberapa orang anak buahnya agar tetap bertahan.
"Baik!" mereka berseru mematuhi perintah Cheng Yu.
Dalam hati, mereka mempunyai pertanyaan yang sama yang saat itu belum ada yang bisa menjawab, apa yang terjadi? Ada apa dengan Yang Li Yun? Siapa rombongan berkuda itu? Akan kemana mereka membawa Li Yun pergi?
Karena jarak yang belum begitu jauh dan lagi tak ada beban yang mereka bawa, kuda mereka bisa berlari lebih laju dan kencang, Hingga hanya dalam waktu singkat mereka bisa menyusul rombongan penunggang kuda yang membawa Li Yun dan berada di depan mendahului, kemudian memapasnya yang membuat rombongan penunggang kuda penculik itu berhenti.
Merasa perjalanan mereka dihalangi, salah satu dari rombongan berkuda itu berseru sambil menunjuk satu-satu ke arah Cheng Yu, Chin So Yung dan Zhu Lie Xian dengan suara keras dan emosi.
"Kalian orang asing, minggir kalau masih mau hidup! Jangan halangi jalan kami!" bentaknya.
Karena hanya Cheng Yu dan Zhu Lie Xian yang mengerti bahasa orang itu, maka Cheng Yu menjawab, "Maafkan kami. Tolong berikan gadis itu pada kami!"
Mereka tertawa keras atas permintaan Cheng Yu.
"Jangan seenaknya saja kamu berbicara. Gadis ini adalah tawanan kami. Tak akan kami serahkan pada kamu!" kata salah satu penculik Li Yun, "Memangnya gadis ini siapamu?"
"Anda tahu, gadis itu adalah adikku. Aku tak tahu apa salah dia pada kalian. Jika kalian menginginkan tebusan harta sebagai penggantinya, maka aku akan menebusnya asalkan kalian membebaskannya," ucap Cheng Yu.
Siapa pun jika mendengar kata harta, pastinya akan berfikir, apalagi penunggang kuda utusan Wulung itu yang mereka memang tidak pernah dididik masalah ahlak, jelas tawaran Cheng Yu sangat menggiurkan. Tetapi, ini adalah tugas dari Wulung yang diberikan pada mereka. Pastinya mereka tak akan berani melalaikannya jika ingin nyawanya selamat.
Lelaki yang menjadi juru bicara dari rombongan penculik Li Yun itu tertawa terkekeh-kekeh mendengar tawaran dari Cheng Yu. Ia memandang sekelilingnya dimana kawanannya yang lain nampak tertawa sepertinya.
Ia mengarahkan pandangannya kembali ke arah Cheng Yu.
"Tuan," katanya, "Sungguh, tawaranmu itu sangat menggiurkan. Tetapi sayang, kami sedang menjalankan perintah dan berapapun tebusanmu tak membuat kami tertarik. Bahkan sekarang, kami tertarik untuk mengambil harta yang akan kau gunakan sebagai tebusan itu secara paksa tanpa syarat imbal balik!"
Mendengar jawaban lelaki itu membuat Cheng Yu berfikir kalau ternyata tak ada cara lain juga untuk menyelamatkan Li Yun kecuali dengan cara paksa juga. Bertarung!
Tetapi, apakah mungkin mereka bertiga bisa menang melawan 10 orang yang sepertinya memiliki ilmu beladiri yang tidak bisa dianggap remeh.
Ia menoleh pada Ching So Yun dan menjelaskan apa yang menjadi keinginan para penculik itu dari dialog yang ia lakukan.
"Jangankan 10, 100 orang pun aku tak takut!" Ching So Yun mengatakannya sambil tersenyum.
Cheng Yu baru menyadari kalau disampingnya itu adalah Ching So Yun, seorang pendekar kuil Shaolin yang memiliki kungfu jauh lebih tinggi darinya. Dan itu membuatnya bisa sedikit bernafas lega.
"Baiklah!" serunya pada rombongan penculik Li Yun, tangannya langsung mengeluarkan pedang dari sarungnya dan menghunuskannya pada lelaki yang berbicara padanya, "Tak ada jalan lain kecuali ini!"
Sring!
Para penculik masing-masing mengeluarkan goloknya dan bersiap untuk menyerang!