Suro terkejut melihat gaya kuda-kuda serang yang dilakukan lelaki misterius itu. Ia sangat mengenalnya dan bahkan menguasainya. Bukankah itu sikap serang aliran Cempaka Putih?
"Siapa kau?" tanya Suro dengan berusaha bersikap tenang.
Yang Suro lihat, lelaki dihadapannya tak menjawab, hanya mendengus dengan sikap serangnya. Tentu saja sikap lelaki itu membuatnya semakin penasaran. Tak hanya gaya kuda-kudanya, tetapi kain yang dipergunakan lelaki itu sama persis dengan yang ia gunakan.
Awalnya ia menyangka kalau itu adalah kain hitam miliknya yang terjatuh, tetapi ternyata kain hitam itu masih menempel dan terikat di kepalanya menutupi rambutnya yang panjang terurai.
Untuk mencari tahu dan menghilangkan rasa penasaran, mau tidak mau ia pun harus mengambil sikap kuda-kuda yang sama dengan lelaki misterius itu.
"Bibi Nan Yu," Li Yun berbisik pada wanita paruh baya yang juga memperhatikan lelaki itu, "Bukankah kuda-kuda orang itu sama dengan kuda-kuda kakak Luo?"
Huang Nan Yu mengangguk. Sementara ini ia masih berfikiran semua kuda-kuda beladiri di tanah Jawa ini memiliki gerakan yang sama. Tetapi demi melihat Suro terkejut, apa yang difikirkannya berubah.
Bisa jadi lelaki itu satu aliran dengan Suro, tetapi Suro sendiri pernah mengatakan kalau dari semua saudara seperguruannya, hanya dialah yang selamat dari tragedi pembakaran yang menghanguskan padepokannya. Bisa dikatakan, Suro adalah generasi terakhir dan satu-satunya orang yang menguasai aliran Pencak Silat Cempaka Putih.
Jika memang benar lawan yang Suro hadapi adalah juga menguasai gaya beladiri yang sama, artinya aliran Cempaka Putih masih ada tambahan satu penerusnya lagi. Tapi siapa dan mengapa orang itu menyerang Suro jika benar-benar satu aliran?
"Kau benar. Tetapi bukan hanya kuda-kudanya yang sama, kain hitam yang dikenakan orang itu juga sama!" katanya melengkapi kalilmat Li Yun.
Seperti diberi aba-aba, Suro dan orang misterius itu melompat ke depan bersama-sama memulai pertarungan.
Suro memukul dengan tinju kanannya, lalu ditepis oleh lelaki itu yang langsung menangkap tangan Suro. Tak selesai sampai disitu, tangan Suro dipelintir, memaksa Suro memajukan tubuhnya ke depan. Mau tak mau si penyerang langsung mundurkan badannya secara menyerong lalu membalasnya dengan sebuah tendangan keras.
Suro mengelak ke kiri, membalikkan badan dan mengangkat kaki belakangnya membentuk sebuah tendangan bulan sabit. Si lelaki menunduk, seketika menyabetkan kakinya menyapu kaki Suro.
Buk!
Suro terhempas dengan keras!
Satu jejakan meluncur ke tubuh Suro, dan Suro mengangkat kakinya dengan serangan ganjalan hingga telak menghantam dada si lelaki yang membuatnya terhuyung mundur.
Pertarungan dramatis dan menegangkan pun terjadi. Keduanya sama-sama ahli dalam pertarungan jarak dekat, saling tangkap, saling banting, saling mengunci. Membuat siapapun yang menyaksikannya sama-sama menarik nafas tertahan.
Dari pertarungan itu, sebenarnya mereka berdua terlihat seimbang, ahak sulit menilai siapa yang lebih unggul. Bisa dikatakan, orang yang menjadi lawan Suro juga kaya akan pengalaman bertarung.
Namun dari segi gerakan, Suro terlihat memiliki gerakan yang lebih kaya variasi hasil dari bentukan ilmu beladiri kungfu yang dipelajarinya semasa di negeri China.
Ini adalah pertama kali bagi Li Yun, Huang Nan Yu maupun Rou Yi menyaksikan bagaimana gaya bertarung bela diri pencak Silat. Gaya yang sangat berbahaya jika tidak menguasai pertarungan jarak dekat. Salah-salah, jika satu bagian tubuh tertangkap, akibatnya bisa sangat fatal. Jika tidak patah, minimal terkilir.
Sekali lagi Suro menyerang dengan sebuah tendangan lurus ke ulu hati. Si lelaki mengegos ke samping kiri, lalu dengan gerakan tiba-tiba melakukan hantaman dengan bahu badannya.
Li Yun, Huang Nan Yu yang menyaksikan dan Suro sendiri yang langsung berhadapan cukup terkejut dengan gerakan itu hingga sama-sama berseru.
Hantaman Bukit Baja!
Buru-buru Suro menarik tubuhnya, hingga serangan teknik Hantaman Bukit Baja menemui tempat kosong.
Dengan satu gerakan ringan, tangan Suro menyisip di antara tubuh si penyerang, lalu dengan teknik Tai Chi, Mengusap Surai Kuda dan Menangkap Ekor Burung Merak, punggung tangannya telak menghantam tubuh si penyerang hingga terlempar cukup jauh dan jatuh terhempas ke tanah.
Suro berdiri dengan kuda-kuda biasa sambil memperhatikan lelaki itu bangkit.
"Siapa kau? Mengapa menguasai jurus Cempaka Putih?" tanya Suro sambil menuding lelaki di depannya yang sudah dalam posisi berdiri.
Sambil mengusap-usap pakaiannya yang kotor akibat hempasan di tanah, lelaki itu tersenyum pada Suro. Kali ini senyumannya biasa dan terkesan menampakkan raut wajah senang.
Lalu terdengar suara tawanya yang ringan, tangan kanannya melepaskan kain hitam yang menutupi sebagian matanya.
Suro terkejut, sebagian kepala hingga mata sebelah kirinya yang tadinya tertutup kain hitam nampak bekas luka terbakar hingga ada bagian dari rambutnya yang tidak tumbuh, ada bekas kulit yang rusak dan melepuh.
Pemuda itu menyipitkan pandangannya, ia merasa mengenali wajah lelaki itu yang ternyata masih muda dan berusia lebih tua 1 atau 2 tahun dari Suro.
"Dimas Suro," sapanya dengan senyuman lebar, "Lama tidak bertemu, nampaknya adi sudah banyak menguasai ilmu bela diri lain."
Suro tambah terkejut, raut wajahnya berubah tak percaya dengan apa yang dilihatnya, tetapi berangsur senyuman lebar mengembang dari bibirnya.
"Kakang Seno!" pekiknya, lalu ia berlari dan menubruk tubuh pemuda itu yang ternyata adalah Seno, saudara satu aliran dengannya, "Kakang masih hidup?"
Kini, suara tawa bahagia keluar dari mulut kedua orang itu yang ternyata adalah saudara seperguruan Suro yang masih hidup.
Mereka yang menyaksikan nampak bernafas lega begitu mengetahui kenyataan bahwa mereka ternyata saling mengenal.
***
Li Yun dan Rou Yi nampak cantik dengan balutan selendang yang menutupi kepalanya, duduk melantai di sebelah kanan Suro, sedangkan tetua Huang Nan Yu duduk di samping Rou Yi.
Setelah terjadi pertarungan singkat, Seno membawa keluarga Suro ke rumahnya yang ternyata tak jauh dari tempat mereka rencana beristirahat.
Seorang wanita muda berjalan perlahan dengan membawa suguhan makan malam ke ruang tengah yang cukup luas, kemudian mempersilahkan tamunya untuk menikmati hidangan.
"Ini isteriku, dimas Suro," Seno memperkenalkan wanita muda yang merupakan isterinya.
Suro mengangguk hormat pada wanita muda itu yang membalasnya pula dengan anggukan dan senyuman selamat datang.
"Ini adalah adik seperguruanku, dimas Suro," Seno kini memperkenalkan Suro pada isterinya.
"Alhamdulillah, ternyata kita masih memiliki keluarga, ya," sapanya dengan sopan.
"Alhamdulillah, mbak yu. Dimas fikir, akan sendirian di pulau Jawa ini," balas Suro dengan raut wajah bahagia.
"Alhamdulillah," pujinya, kemudian melihat bergantian pada Li Yun dan Rou Yi,"Mbak-mbak ini siapanya dimas Suro?"
Suro tersenyum malu mendapat pertanyaan itu, wajahnya bersemu merah sambil menatap ke arah Li Yun dan Rou Yi.
Li Yun menutup mulutnya begitu melihat tampang Suro, ia memang selalu tak tahan untuk tertawa melihat tampang Suro yang terlihat memerah karena malu.
"Kami berdua isterinya kakak Luo," jawab Li Yun memperkenalkan diri pada isteri Seno dengan mencoba tersenyum ramah.
Rou Yi yang berada disampingnya langsung menyenggol lengan Li Yun dan membuat gadis itu menoleh. Ia belum sadar akan apa yang salah dari ucapannya.
"Luo?" nada bertanya menyebut kata 'Luo' keluar bersamaan dari mulut Seno dan isterinya. Namun akhirnya ia faham kalau yang dimaksud 'Luo' itu adalah nama dari Suro.
Li Yun baru sadar, lalu ia buru-buru mengatakan, "Nama kakak Suro di negeri kami dipanggil dengan Luo."
Mereka berdua tersenyum dan mengangguk sambil saling pandang, lalu menatap ke arah Suro sebagai isyarat meminta penjelasan. Pemuda itu tahu kedua suami-isteri itu masih bingung dengan sebutan nama Chinanya.
"Ayah angkatku memberi nama China Luo Bai Wu, dari nama Suro Bawu," Suro kemudian menerangkan.
"Wah, dimas Suro sudah sampai ke China, ya. Jauh sekali perjalananmu," ucap isteri Seno sambil menggeleng-gelengkan kepalanya seperti tak percaya, tetapi tetap tersenyum ramah, "Sampai berjodoh dengan dua gadis yang... Subhanallah!"
Li Yun dan Rou Yi tertunduk malu. Mereka berdua bisa menebak maksud dari isteri Seno. Kecantikan mereka merasa dipuji oleh wanita muda itu.
"Mohon maaf, bagaimana kami harus memanggil anda?" kali ini Rou Yi yang bertanya.
Ia merasa harus menanyakannya untuk mengetahui ucapan sopannya sekaligus menambah perbendaharaan kosakatanya.
"Panggil saja mbak yu atau kakak. Sama saja," jawab isteri Seno kemudian.
"Oh, baiklah," ucap Rou Yi singkat.
Tiba-tiba Seno langsung menyodorkan hidangan yang sudah siap sedari tadi.
"Perkenalannya kita lanjutkan nanti saja. Aku tahu, kalian semua lapar 'kan?" katanya sambil tertawa.
***
Malam kejadian dimana pembakaran padepokan berlangsung. Serangan anak panah beracun yang datang tiba-tiba sungguh membuat kondisi mereka yang ada di aula padepokan kocar-kacir. Di saat mereka panik, ternyata salah seorang dari rekan Seno menabraknya begitu keras dan membuatnya terhempas dengan kepala membentur lantai.
Akibatnya ia langsung tak sadarkan diri, dan ketika terbangun sudah berada di salah satu rumah penduduk, yang ternyata adalah ayah dari gadis yang sekarang menjadi isterinya.
Dari ayah gadis itulah Seno mendapat penjelasan mengapa ia bisa selamat dari tragedi itu.
Di saat kebakaraan terjadi, beberapa orang desa termasuk ayah gadis yang menjadi isterinya itu kebetulan sedang mencari ikan di sungai yang berada tak jauh dari padepokan Cempaka Putih. Melihat ada warna merah terlihat di ufuk, mereka pun buru-buru mencari tahu dengan cara mendekati lokasi kejadian.
Tak di sangka, ternyata warna merah itu adalah warna api yang tengah membakar padepokan. Mereka sempat melihat beberapa puluh orang sedang bergerak menjauh pergi meninggalkan padepokan yang terbakar.
Di rasa aman, orang-orang desa langsung bergerak cepat memeriksa barangkali masih ada sosok tubuh yang bisa diselamatkan, karena untuk memadamkan api yang sudah terlanjur besar sangatlah tidak mungkin. Di situlah mereka menemukan, diantara tubuh-tubuh remaja yang tergeletak dan berhasil mereka seret keluar ternyata hanya Seno yang masih hidup, meskipun sebagian wajahnya mengalami luka bakar yang cukup parah.
Masa itu adalah masa yang cukup sulit bagi Seno, dimana ia merasa sudah kehilangan segalanya. Jika ia tidak ingat akan apa yang sudah diajarkan gurunya, Ki Ronggo, ia sudah mati bunuh diri. Di samping itu juga, orang yang merawatnya selalu memberikan motivasi-motivasi agar ia tetap semangat menjalani hidup meskipun dalam kondisi fisik, terutama wajahnya yang terlihat rusak dan menjadi buruk.
Beruntunglah, ia berada dalam perawatan sebuah keluarga yang tepat.
Setelah merasa lebih baik, Seno pun sering bolak-balik ke Lembah Damai untuk mencari petunjuk tentang orang-orang yang bertanggung jawab atas peristiwa pembakaran. Di luar itu, ia pun sering berkeliaran mencari para penjahat yang dapat ia temui. Berharap barangkali akan mendapatkan petunjuk.
Tetapi selama pengembaraannya, ia belum mendapatkan petunjuk apa-apa, hingga ia memutuskan untuk mengubur dalam-dalam keinginannya untuk menyelidiki pembakaran padepokannya, kemudian menikah dengan anak orang yang telah menyelamatkannya.
"Begitulah kejadiannya," Seno mengakhiri kisahnya dengan menarik nafas panjang, lalu menatap ke arah Suro dengan pandangan mata putus asa.
Putus asa karena sudah merasa lelah mencari gerombolan pembakar padepokannya.
"Kakak Luo," Rou Yi memalingkan wajahnya pada Suro, "Jika memang demikian, alangkah lebih baik jika fokus kita sekarang adalah membesarkan kembali padepokan Cempaka Putih, sebesar-besarnya. Apalagi saat ini kakak sudah menguasai pengobatan, buatlah itu atas nama Cempaka Putih, dan jika sudah besar dan terkenal, adik Yi yakin kalau kita tidak perlu lagi susah-susah mencari mereka, pastilah mereka yang akan datang mencari."
Mendengar apa yang dikatakan Rou Yi, Suro mendesah dalam. Ada kekhawatiran tergambar dari wajahnya.
"Jauh dalam lubuk hati, kakak tidak ingin lagi berurusan dengan orang-orang jahat itu. Tetapi, kakak baru terfikir, apa yang akan kita lakukan memang akan membesarkan nama Cempaka Putih, tetapi bukan untuk memancing kedatangan mereka. Tidak bisa dipungkiri, orang-orang yang membenci Cempaka Putih pasti akan datang oleh sebab itu."
"Lalu mengapa kakak terllihat tidak tenang?" tanya Rou Yi lagi.
Suro tersenyum, lalu memegang tangan Rou Yi.
"Jika kakak sendirian, apa pun bentuk kematian itu datang, kakak tidak akan takut. Tetapi, sekarang kakak memiliki Adik Yi, Adik Li dan tetua Huang Nan Yu. Mengingat tragedi yang pernah kita alami dan rasakan, bagaimana kakak bisa merasa tenang? Kakak cuma ingin hidup damai dan bahagia," paparnya, membuat Rou Yi tertunduk.
Yang dikatakan Suro memang benar. Mereka baru saja memulai hidup dalam surga yang sedang mereka bangun. Tetapi ternyata, masalah masih belum selesai.
"Kakak," kali ini Li Yun berbicara, "Hadapi sajalah. Niat kakak membangun kembali Lembah Damai pasti akan memancing mereka meskipun niat kita bukan itu. Jika karena masalah ini menjadi penghambat cita-cita kita, selamanya tak akan pernah terwujud. Biarlah semua berjalan. Aku yakin, niat baik akan berakhir baik. Bukankah kakak sering memberikan nasehat ini pada kami?'
Seno tersenyum mendengar percakapan suami isteri itu, kekaguman pada adik seperguruannya membuat ia mengangguk-angguk.
"Dimas Suro, apa yang dikatakan kedua isterimu itu benar. Tak ada jalan lain kecuali menghadapinya. Jika menunggu masalah ini selesai baru kita membangun padepokan, akan menunggu sampai kapan?" ucap Seno.
Suro terdiam, ia terlihat merenung untuk beberapa saat hingga satu kalimat keluar dari bibirnya, "Kalian benar."
"Aku yakin, orang yang bernama Wulung itu menggunakan nama lain atau menggunakan gelar. Aku sudah kesana-kemari yang aku bisa, tetapi tak ada yang tahu atau kenal dengan nama Wulung. Atau barangkali dimas Suro salah dengar?"
Suro menggeleng, "Tidak, aku yakin namanya adalah Wulung!"