Menjelang tengah hari di markas Chen Lian...
Mendapati mayat-mayat bergelimpangan, Yutaka Shisido cuma dapat menghela nafas panjang. Satu-persatu, para prajurit yang mendampingi lelaki itu mulai menyeret mayat-mayat keruangan lainnya untuk dijadikan satu.
Dari jejak pertarungan yang dia temukan, lelaki itu berkesimpulan bahwa kejadiannya belum lama terjadi.
Tubuh-tubuh bergelimpangan yang telah menjadi mayat itu belum terlalu dingin, dan genangan darah yang berceceran di lantai pun masih nampak basah.
Kedatangannya yang terlambat membuatnya kesal dan menyalahkan dirinya sendiri. Tak ada satupun orang yang masih hidup yang bisa ia mintai informasi sebagai petunjuk.
Kini ia merasa kehilangan jejak. Matanya terlihat sendu dan putus asa. Rasa malas untuk melakukan penelusuran guna mencari jejak arah buruannya, yakni Suro, tergambar jelas dari raut wajahnya.
Jika tidak karena ancaman Perwira Chou terhadap isteri dan anaknya, ia tak akan mungkin mau melaksanakan tugas itu. Ia tak memiliki permusuhan maupun dendam pada Suro, target utamanya.
Pandangan matanya yang tajam langsung terarah pada sosok jasad yang berbeda dari yang lain, dilihat dari pakaiannya, ia langsung bisa menebak kalau jasad itu adalah millik Chen Lian. Karena hanya Chen Lian yang tidak mengenakan pakaian prajurit, melainkan pakaian sebagaimana layaknya seorang pendekar.
Penasaran, ia mencoba mencari tahu penyebab kematian Chen Lian, sebab tak nampak sayatan maupun tusukan bekas pedang yang melukai tubuh Chen Lian saat ia memeriksa tubuh yang sudah menjadi mayat itu.
Tetapi wajahnya kemudian langsung berubah saat tangannya menyibak pakaian Chen Lian, dimana ia melihat ada bekas 5 jari telapak tangan menempel sedikit membiru didadanya.
Ia langsung teringat ucapan Perwira Chou saat memberi informasi kepadanya, "Luo Bai Wu sangat mahir dalam pertarungan jarak dekat, dan ia memiliki pukulan yang sangat mengerikan bila mengenai tubuh!"
"Hmmm... ini barangkali pukulan yang dimaksud oleh Chou Liang," ia berkata lirih pada dirinya sendiri, meraba-raba bekas telapak tangan di dada tubuh Chen Lian yang membeku.
Kemudian ia mengamati bekas luka yang dimuntahkan Chen Lian sesaat sebelum ia tewas. Dari luka itu, ia bisa membayangkan kerusakan yang terjadi pada organ tubuh Chen Lian bagian dalam.
"Pukulan tenaga dalam ini tidak merusak tubuh bagian luar, tetapi menghantam organ bagian dalam," sambungnya lagi, "Tenaga dalam tingkat tinggi!"
Setelah puas memeriksa kondisi jasad Chen Lian, ia berdiri memutar tubuhnya sambil matanya yang tajam memandangi setiap sisi ruangan. Ia tidak menemukan jasad lain yang sama seperti Chen Lian. Sebab, Perwira Chou pernah mengatakan kalau ada dua pendekar yang dikirimkan untuk membantu Chen Lian menangkap Suro. Jasad Tien Jie dan Tien Lie, pendekar Api dan Angin.
Batinnya mengatakan sebuah kesimpulan, kalau kedua orang pendekar itu masih hidup dan dalam keadaan selamat. Tetapi ia tidak bisa menebak keberadaan mereka berdua. Bisa saja melarikan diri atau ditangkap oleh kelompok Suro yang dinaungi organisasi Bayangan Merah.
Tetapi, buat apa menangkap mereka berdua? Toh, tidak ada gunanya.
Jika dua orang pendekar itu melarikan diri, artinya lawan yang dihadapi, yakni Suro, adalah seorang pendekar yang tangguh. Lalu, kenapa tidak membunuhnya sekalian dan membiarkan Tien Jie dan Tien Lie melarikan diri?
Kebenarannya, ia tidak tahu karakter Suro dan seperti mempertanyakan tindakan calon lawannya itu membiarkan Tien Jie dan Tien Lie dalam keadaan hidup.
Sekarang, dalam kondisi tidak ada petunjuk apapun, ia tidak tahu harus bagaimana. Ia sendiri tidak tahu apakah Suro masih ada dikota ini ataukah sudah pergi ke tempat lain. Ia tak punya informasi tentang itu. Jika pergi, pergi kemana?
Perintah dari perwira Chou adalah membantu Chen Lian menangkap Suro, tetapi begitu ia tiba, Chen Lian sendiri sudah menjadi mayat. Ia memaki-maki Perwira Chou dalam hati. Gemertak giginya sampai terdengar.
Di saat seperti itu, ia kemudian berseru di antara para prajurit yang masih sibuk membenahi ruangan.
"Adakah diantara kalian yang mengetahui misi Chen Lian?" serunya, dan itu membuat prajurit yang ada di situ menghentikan aktivitasnya.
Beberapa terlihat saling pandang, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
Tiba-tiba, seorang prajurit memasuki ruangan dan menundukkan kepala memberi hormat begitu sampai dihadapan Yutaka Shisido. Rupanya, ia mendengar seruan lelaki itu.
"Ampun tuan," prajurit itu berkata, "Saya adalah prajurit yang kebetulan sering bertugas menjadi kurir. Sedikit banyak, saya mengetahui misi ini. Misinya adalah menangkap seorang pemuda dari negeri jauh bernama Luo Bai Wu!"
Mendengar kalimat si prajurit, Yutaka Shisido terlihat sedikit kesal. Tentang itu ia sudah tahu. Saking kesalnya, bibirnya hampir mengeluarkan kalimat buruk. Tetapi ia menyadari kalau ia mengajukan pertanyaan yang kurang lengkap.
"Aku tahu itu," katanya, ia berusaha menekan emosi, "Hanya saja, aku tidak tahu apa yang dilakukan Chen Lian dari awal terhadap pemuda itu. Barangkali ada informasi yang kau ketahui."
Si Prajurit terlihat berfikir sejenak, ia mencoba mengingat-ingat, kemudian berkata menceritakan kronologis yang ia ketahui, "Berdasarkan perjalanan tuan Chen Lian, ia pergi menuju Shou Lin dan memblokir perjalanan pemuda yang bernama Luo Bai Wu menuju pelabuhan...."
Setelah panjang lebar....
"Untuk apa pemuda itu menuju pelabuhan?" Yutaka Shisido langsung memotong.
"Menurut informasi yang saya dengar, orang bernama Luo Bai Wu itu akan pergi meninggalkan China daratan untuk kembali ke negerinya...." si Prajurit menjelaskan kembali secara singkat.
Lelaki itu mulai faham, ia mengangguk-angguk beberapa kali.
"Oh, begitu," sahutnya.
Dahinya berkerut.
Artinya, sekarang ia sudah bisa menebak kemana arah Suro pergi. Hanya saja, saat ini posisinya apakah masih di sini atau sudah dalam perjalanan menuju pelabuhan.
Mengingat bulan ini adalah bulan angin perjalanan ke selatan, maka ia langsung bisa memastikan kalau Suro sudah dalam melakukan perjalanannya mengejar musim.
"Baiklah," katanya lagi, "Tempat ini, kalian semua yang selesaikan. Jika Perwira Chou bertanya, katakan bahwa aku dalam posisi mengejar buronan itu ke pelabuhan!"
Si prajurit mengangguk.
Tak mau membuang waktu lagi, Yutaka Shisido langsung buru-buru pergi meninggalkan tempat itu.
***
Dua sosok penunggang kuda nampak memacu kudanya tidak terlu cepat dan tidak terlalu lambat menembus pekatnya malam.
Hingga sampai di sebuah rumah makan satu-satunya yang masih buka, mereka pun memutuskan untuk mampir dan beristirahat.
Setelah mengikat kudanya, mereka langsung beranjak masuk.
Tak banyak pengunjung di rumah makan itu, karena hari sudah menjelang malam.
Tien Jie dan Tien Lie langsung memilih satu meja yang kosong, di dampingi salah seorang pelayan rumah makan.
Setelah meletakkan pedangnya di atas meja makan, Tien Jie sedikit mengernyitkan dahi, matanya langsung menyipit dan dari mulutnya terdengar suara mendesis tertahan. Luka dibahunya terasa nyeri begitu ia mencoba memposisikan kembali lengannya.
"Apakah begitu sakit?" Tien Lie bertanya ketika memperhatikan tampang saaudara kembarnya itu seperti menahan sakit.
Tien Jie memperhatikan bahunya terlebih dahulu sebelum menjawab. Lukanya sudah tertutup kain perban hingga pakaiannya hanya menampilkan sedikit warna merah darah yang merembes.
"Sudah tidak begitu sakit," jawabnya, lalu ia balik bertanya, "Bagaimana denganmu?"
Yang ditanya menarik nafas beberapa kali untuk memastikan kondisi terbarunya. Lalu ia memandang kembali ke arah Tien Jie.
"Sudah lebih baik, hanya sisa-sisanya saja yang masih terasa," jawabnya sambil mengusap-usap perutnya yang terkena tendangan keras Suro.
Tien Jie terdengar menghela nafas dalam. Memori dalam otaknya langsung memutar kejadian malam itu, dimana mereka tengah bertarung mati-matian melawan Suro.
Terbunuhnya Chen Lian didepan mata hanya dengan satu pukulan membuat mereka bergidik. Kejadiannya begitu cepat, mengejang sebentar seperti hewan yang disembelij, lalu mati dengan mengenaskan.
Tien Jie tak bisa membayangkan jika salah satu dari mereka yang terkena, sudah tentu mereka tidak akan berada ditempat ini menikmati makan malam.
Melihat tewasnya Chen Lian malam itu, membuat Tien Jie merasa beruntung masih bisa hidup lebih lama. Dalam fikirannya, saat ini Chen Lian sedang menunggu giliran reinkarnasi di alam lain.
"Aku tidak menyangka kalau anak muda itu mempunyai ilmu beladiri yang tinggi," Tien Lie langsung berkata."
Ia bisa menebak apa yang difikirkan Tien Jie ketika melihat lelaki itu seperti tengah membayangkan sesuatu, dan sesuatu itu pastilah kejadian yang mereka alami malam itu. Apalagi mereka adalah saudara kembar, ikatan batin diantara keduanya seringkali terhubung.
"Umm," Tien Jie mengangguk, "Kalau Luo Bai Wu adalah penjahat seperti kita atau Chen Lian, atau tuan Chow, pastilah kita sudah mati dan tidak diberi kesempatan untuk hidup. Masih muda tetapi ia masih bisa mengontrol emosinya."
Selesai mengatakan kalimat itu, Tien Jie langsung tersenyum kecut. Dalam hati, dan untuk kesekian kalinya ia merasa sangat bersyukur.
Kali ini, Tien Lie yang mengangguk. Ia sependapat dengan saudara kembarnya itu. Dalam keadaan terluka dan kehilangan tenaga, sangat mudah bagi Suro untuk membunuhnya. Namun, pemuda itu justru membiarkannya hidup dan memberikan kesempatan mereka untuk memperbaiki diri.
"Entah, bagaimana aku bisa mendo'akan Luo Bai Wu malam itu dengan begitu tulus. Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku," Tien Lie berkata sambil kemudian tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.
Tien Jie tertawa kecil, jujur dalam hati ia merasakan hal yang sama dengan Tien Lie.
"Aku pun begitu, apakah itu bentuk ucapan terima kasih karena membiarkan kita hidup, atau karena kekaguman kita pada pribadi anak itu," katanya.
"Kau benar. Aku merasakan kekaguman pada pemuda itu." Tien Lie membalas, "Ia tidak merendahkan kita."
"Kau benar, ia tak merendahkan kita. Aku belum pernah menemui orang seperti anak muda itu."
Tien Lie tiba-tiba tertawa selesai Tien Jie mengatakan itu, membuat Tien Jie merasa bingung. Ia merasa kalimatnya tidak ada yang lucu, tetapi mengapa Tien Lie tertawa.
Ia tak langsung bertanya, mencoba mencari tahu sendiri dengan mengingat kalimat yang ia ucapkan. Tetapi, tetap saja ia tak menemukannya. Raut wajahnya ia rasakan juga bersikap wajar dan bukan terlihat sedang melucu atau bercanda.
Karena tidak menemukan sesuatu, ia akhirnya bertanya, "Mengapa kau tertawa?"
Tak begitu lama, tawa Tien Lie pun perlahan mereda menyusul pelayan datang sambil membawakan makanan dan minuman yang ia pesan.
Setelah meneguk secangkir teh, barulah ia berkata menjawab pertanyaan Tien Jie, "Kita ini penjahat. Musuh kita adalah orang-orang aliran lurus. Sikap kita dimata mereka adalah bengis, kejam, sombong, merendahkan lawan, dan lain-lain. Dan selama ini, kita pun belum pernah terkalahkan kecuali oleh Perwira Chou. Jika kau perhatikan, bagaimana sikap Chou Liang itu terhadap kita ketika berhasil menundukkan kita? Kesannya, kita ini adalah rendah."
Tien Lie menjelaskan. Ia melihat, saudara kembarnya itu mengangguk-angguk.
"Kita pun tidak tahu, jika ada orang yang beraliran lurus berhasil mengalahkan kita, apakah kita dibiarkan hidup? Aku yakin, kita pasti mati saat itu."
Akhirnya, Tien Jie tersenyum lebar hingga giginya pun nampak begitu mengetahui penyebab Tien Lie tertawa.
"Nah, sekarang. Sepertinya aku begitu tersentuh dengan kalimat Luo Bai Wu. Selama ini, aku tidak takut mati karena yakin tidak ada yang bisa mengalahkan dan membunuh kita. Kejadian malam itu, secara jujur aku merasakan untuk pertama kalinya rasa takut menghadapi kematian," Tien Jie berkata sambil sebelumnya terlihat mendesah menarik nafas panjang.
"Tetapi, setelah kejadian itu kita diberikan kesempatan hidup, tiba-tiba aku tidak takut lagi menghadapi kematian, seolah-olah aku bersedia mempertaruhkan nyawa untuk melindungi anak muda itu. Apakah kau merasakan hal yang sama?"
Tien Lie tak menjawab dengan kalimat, tetapi dengan senyuman sambil mengangguk. Tanda bahwa ia merasakan hal yang sama.
"Apakah anak muda yang sedang anda berdua ceritakan itu adalah Luo Bai Wu?"