Chereads / Goodbye, My Love / Chapter 3 - Chapter 03 - Engagement

Chapter 3 - Chapter 03 - Engagement

Sheilla POV

Pagi di hari minggu yang sudah ditunggu-tunggu oleh kami pun tiba. Sejak kemarin Bunda dan beberapa tante sudah sibuk bolak-balik ke pasar induk untuk membeli sayuran, buah dan bumbu-bumbu masak untuk acara hajatan.

Rencananya malam ini Mas Damar dan keluarga akan datang ke rumah untuk saling berkenalan dengan keluarga besar kedua belah pihak dan juga untuk meminta ku menjadi istri Mas Damar kepada Ayah dan Bunda.

Jujur menjelang hari itu aku tidak bisa tidur. Jantungku terus berdebar kencang saking senangnya. Begitu juga dengan Mas Damar yang sama-sama ngga bisa tidur. Setelah membantu persiapan di rumah, tepat pukul tiga sore selepas mandi dan sholat Ashar aku mulai di dandani oleh seorang perias pengantin.

Gaun indah nan simpen sudah tergantung rapi di lemari. Tak lupa hijab yang senada pun sudah tergantung rapi. Warna gaun yang akan ku kenakan pada hari ini senada dengan kemeja batik milik Mas Damar.

Mas Damar mengajak ku membuat setelan pasangan untuk hari ini. "Deg-degan ya dek." tanya Mba Sita kakak ku yang sengaja pulang ke kampung untuk melihatku di lamar oleh sang pujaaan hati.

"Iya Mba. Sampai ngga bisa tidur dari dua hari yang lalu." ucap ku dibalas senyuman oleh Mba Sita. "Apa dulu Mba juga kayak gitu ya pas di lamar sama Mas Ghani?" tanya ku penasaran.

"Ya pasti lah. Apalagi kami belum pernah bertemu sebelumnya. Ngga nyangka aja sekarang udah jadi suami istri." ucap Mba Sita.

"Oh iya juga sih. Mba sama Mas Ghani ikutan taaruf sih ya. Jadi ketemu dua kali abis itu akad langsung."

"Iya dek. Mba ngga mau pacaran. Taaruf aja kalo cocok dan berjodoh ya langsung nikah, dan alhamdulillah udah ada 3 buntut yang cantik dan cakep."

Aku tertawa. Sungguh lucu memang jodoh setiap manusia. Aku ngga menyangka kakak ku yang bar-bar ini malah bertemu jodohnya melalui taaruf. Padahal dulu yang deketin Mba Sita itu banyak banget dan aku akui mereka tampan dan mapan.

Tapi Mba Sita malah berjodoh dengan seorang Abdi negara yang kini berdinas di Malang Jawa Timur. Kalau di tilik ke belakang lagi lucu aja lihat cowok-cowok yang dekatin Mba Sita. Kulitnya bersih dan ada juga yang keturunan cainis yang malah hampir melamar Mba Sita.

Tapi Allah malah menyatukan Mba Sita dengan seorang pria Abdi negara yang notabene jauh dari kata putih bersih. Tapi itulah jodoh tak ada yang bisa kita sangka-sangka. Begitu juga dengan jodoh ku yang ternyata adalah sepupu sahabatku sendiri.

"Eh malah melamun lagi. Ayo siap-siap dulu. Takut keburu dateng calon mantennya." ucap Mba Sita membuat ku tersadar.

"Ayo Mb kita mulai aja dandannya." ucap ku tak sabar untuk tampil cantik di depan calon imam ku dan keluarganya.

***

Tepat setelah adzan isya, rombongan Mas Damar beserta keluarganya tiba di rumah. Jantungku semakin berdebar kencang, tak karuan. Tangan dan kaki ku mulai dingin. Mba Sita mentertawaiku karena saking gugupnya.

Sebelum rombongan datang aku udah senewen karena ngaret dari jam yang dijanjikan. Sekarang udah ada dirumah malah makin ngga karuan. "Santuy aja kali dek ngga usah panik gitu. Dibawa tenang toh udah jelas mau dilamar ngapain pusing sih." ucap Mba Sita.

"Iya tahu. Tapi ngga tahu kenapa ngga bisa. Duh mana tangan dingin banget lagi."

"Coba tarik nafas panjang terus hembuskan beberapa kali. Insya allah lebih tenang deh."

Aku pun menuruti apa yang di katakan oleh Mba Sita. Memang sedikit mengurangi kegugupan ku tapi tangan dan kaki terasa dingin.

Tiba-tiba pintu kamar di buka. "Dek ayo turun. Mas mu udah tunggu di bawah." ucap Bunda membuat aku semakin panik.

"Adek mu kenapa sih?" tanya Bunda melihat Mba Sita tertawa. "Dia grogi Bund. Mau di lamar Kang Masnya sampe keringat dingin. Tangan dan kakinya dingin."

"Ya Allah ada-ada aja ini anak."

Bunda dan Mba Sita memegangi masing-masing tanganku. Perlahan aku pun turun dari lantai atas dan langsung di sambut oleh senyuman Mas Damar yang sudah lama menanti ku.

Kami berdiri berhadapan. Mas Damar memberikan ku sebuket bunga yang cantik kepadaku. Aku pun menerimanya dengan senang hati. "Makasih Mas bunganya." ucap ku malu-malu.

Kami pun duduk bersama orang tua masing-masing. Bermula dari orang yang di tuakan dari pihak Mas Damar yang menyampaikan maksud dan tujuan mereka datang ke rumah kami. Kemudian di lanjut pernyataan kesediaan ku untuk di pinang menjadi calon istrinya Mas Damar.

Tentu saja aku langsung bersedia. Jawaban dari ku membuat kedua keluarga lega. Acara selanjutnya adalah penyematan cincin di jari manis ku dan juga Mas Damar oleh Bunda dan mami.

Sepasang cincin tanda pengikat sudah bertengger di jari manis kami berdua. Aku dan Mas Damar banyak mengambil foto di momen spesial tersebut. Selain sepasang cincin tanda pengikat, mami Dona juga memberiku sebuah kalung liontin yang kini melingkar cantik di leher.

Tak ada lagi acara selain ramah tamah antar kedua keluarga yang sebentar lagi akan bersatu. Para tetua mulai membahas dan menghitung hari baik untuk pernikahan kami, dan yang kami ketahui bahwa empat bulan lagi status kami akan berubah menjadi Mr & Mrs.

***

Keesokan harinya.

"Ciyee selamat ya mba atas pertunangannya. Semoga lancar sampai hari pernikahan." ucap Lina pegawai ku di toko.

"Aamiin ya Allah. Makasih banyak Lina."

"Katanya cuma 'meminta' kenapa jadi tunangan Mba?" tanya Romi pegawaiku yang lain.

"Yah namanya juga rencana kan. Tapi semua itu atas rundingan kedua keluarga. Kaminya sih ngikut weh. Tapi kata Maminya Mas sih biar jelas aja gitu kalo udah ada tanda pengikatnya mah."

"Iya juga sih ya. Kalo cuma minta doank tapi ngga di ikat ya bisa di ambil orang lain. Tapi setidaknya kalo udah ada tanda pengikatkan yang lain mikir-mikir dulu kalo mau embat. Kecuali yang ngga tahu diri langsung serobot." ucap Romi sambil tertawa.

Aku memukul lengannya, "Astagfirullahaladzim ih. Jahat kamu Romi. Amit amit ah." Aku dibuat kesal olehnya.

"Becanda kali Mba. Maaf ya."

"Ngga lucu becandanya tahu." dumel ku. "Udah ah ayo kita kerja. Bentar lagi udah mulai rame nih toko."

"Siap bu Boss." ucap Lina dan Romi berbarengan. Kami pun mulai berpencar dan bersiap di tempat masing-masing.

Aku pergi ke bagian pantry untuk membantu mengilah roti dan kue-kue yang siap di pajang. Hari bahagiaku tak boleh membuatku menjadi terlena dan akhirnya malas. Aku harus tetap bekerja bersama karyawan-karyawanku untuk membuat roti dan kue yang paling mereka sukai.

***

TBC