Chapter 97 - Bab 97

"Terima kasih, karena sudah berjuang untuk tetap hidup." mencium punggung serta jemari tangan Soully. Air mata Yafizan menetes, membasahi jemari tangan mungil istrinya ketika ia merebahkan kepalanya di atas telapak tangan yang masih ia genggam erat.

Terasa risih, karena Soully sebenarnya masih belum tidur.

"Sayang..." lirihnya menahan tangis. Membuat Soully hampir saja membuka matanya. "Sayang, lihatlah. Kau cantik sekali." menunjukkan ponsel yang berwallpaper foto pernikahannya. Ponsel lamanya yang tersimpan di dalam kotak kayu - yang Rona berikan padanya.

"Aku merindukanmu..."

Tidak, mengapa aku ingin menangis.

Tak lama kemudian suara dengkuran halus terdengar. Yafizan tertidur. Perlahan Soully menarik tangannya yang dijadikan alas tidur oleh Yafizan. Namun, semakin ia tarik, Yafizan semakin menahannya dengan erat.

Fikiran Soully berkecamuk. Mengapa pria yang ia sebut Paman ini malah terlelap dan tertidur di sisinya?

Ada perasaan yang menggelitik dalam relung hatinya. Merasa risih namun ia begitu terharu. Hampir saja ia terbuai seakan ingin mengusap rambut kepala yang sedang berbaring dalam lelapnya tidur. Tanpa terasa Soully pun terlelap ke alam mimpinya.

***

Mimpi itu datang lagi. Entah bayangan ataukah memang kenyataan karena mimpi tersebut terasa begitu nyata. Mimpi yang sama dan terus berulang seperti kaset yang terus diputar. Bahkan ketika ia telah sadar pun, mimpi itu terus melekat dalam pejaman matanya yang seakan ingin hadir dan tak terlewatkan di bawah alam sadarnya.

Kejadian demi kejadian yang ia alami seakan memperingatinya. Soully kecil yang tersesat dan menyelamatkan seseorang, dirinya yang tiba-tiba seperti tuan putri dan berdebat dengan seseorang, kejadian kecelakaan itu, negeri yang bukan dirinya tinggal, pertemuan singkat itu, pernikahan, pemaksaan, kemesraan, kebersamaan, kehilangan, canda bahkan tawa yang ia lakukan dalam mimpinya terasa begitu nyata. Hingga mimpinya membawa ia ke sebuah rumah sakit, mendapatkan kabar kehamilannya, dan serangan dadakan yang membuatnya memuntahkan banyak darah itu membangunkan paksa dirinya dalam lelapnya tidur.

"Tidak...tidak...anakku..." Soully mengigau dengan memegang perutnya. "Ah, tidak!" Matanya membulat sempurna. Nafasnya masih terengah dengan buliran keringat yang membasahi keningnya.

Soully menunduk melihat perut yang masih ia pegang. Air matanya menetes. "Anakku. Apa...ia baik-baik saja?" cemasnya.

Soully mengusap air matanya, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ternyata hari sudah pagi. Terlihat akan silaunya cahaya mentari yang menembus jendela ruang perawatannya. Tatapannya menunduk ke samping dirinya. Ia masih ingat semalam Yafizan tidur dengan menggenggam erat tangannya. Ia mengangkat telapak tangan yang semalam dijadikan alas tidur suaminya. Tangannya bergetar. Apa Yafizan sudah mengingatnya? Lalu, ke mana dia, sekarang?

Ya, Soully sudah ingat. Semuanya. Bahkan masa lalu dari kehidupan sebelumnya.

Suara handle pintu yang ditekan membuat dirinya segera mengusap air matanya hingga mengering. Berharap yang datang adalah Yafizan. Namun, harapannya kosong. Yang datang hanyalah seorang suster yang mengontrol keadaannya.

Setelah selesai mengecek dirinya, suster tersebut berpamitan kembali.

"Suster." Langkah suster terhenti.

"Ya, Nona?"

"Apa...kau yang selalu mengontrol keadaanku dari awal?" tanya Soully membuat senyum suster tersebut mengembang sempurna.

"Tentu saja. Karena saya yang ditugaskan dokter Erick untuk memeriksa Anda," jawab suster setelah diketahui bernama Melani dari name tag yang terpasang pada baju seragamnya.

"Bolehkah, aku menanyakan sesuatu?" sesaat Soully meragu setelah ia membayangkan dokter yang bernama Erick. Dan ia mulai mengingatnya.

"Apa, Nona? Tanyakanlah." Suster Melani mempersilahkan.

"Apa...apa...janin dalam kandunganku baik-baik saja?" refleks memegang perutnya dengan meremas baju pasiennya.

Suster Melani tersenyum. "Bersyukur, janin dalam kandungan Anda baik-baik saja."

Soully bernafas lega. Calon anaknya baik-baik saja.

"Apa ada yang ingin Anda tanyakan lagi?" tanya suster Melani.

Soully menggelengkan kepalanya, "Tidak, Suster. Terima kasih atas informasinya."

"Kalau begitu, saya permisi. Selamat beristirahat dan cepat sembuh ya, Nona. Sebentar lagi sarapan Anda akan dikirim," pamit suster Melani yang dibalas Soully dengan anggukan kepala.

Soully menunduk, mengusap perutnya yang masih datar - merasa lega.

***

Sudah tiga hari. Keadaan Soully pun kunjung membaik. Selama tiga hari itu pun Yafizan berkunjung hanya di malam hari, seakan ingin menghindar, dirinya datang ketika Soully sudah terlelap dalam tidurnya.

Sedang di siang hari, ia hanya diam-diam memperhatikan istrinya dari kejauhan; lebih tepatnya melihat di balik kaca pintu ruang perawatannya.

Wajah Soully tampak tak bersemangat. Sudah berhari-hari ia menanti suaminya untuk datang. Soully tidak menceritakan tentang ingatannya yang sudah pulih, bahkan pada Erick sekali pun. Soully masih tetap berpura-pura hanya mengenal sebatas dokter yang merawatnya. Walaupun Soully tahu, ia melihat kerinduan dalam mata Erick. Sosok ramah itu, bagaimana Soully tak merindukannya juga?

Soully begitu ingat bagaimana Erick memperlakukannya dengan baik bahkan di kehidupan lamanya. Ingin rasanya Soully merengkuh pria yang ia anggap sebagai kakak itu.

"Kau sudah bisa pulang sore ini, Soully." dokter Erick menyahut, membuyarkan lamunannya.

"Apa aku sudah sehat sepenuhnya?" Soully merasa sedih, entah mengapa.

Harusnya ia senang karena akan pulang, bukan? Tapi, pulang ke mana? Bahkan suaminya saja tak kunjung datang menemuinya. Hanya Rona yang sesekali datang berkunjung. Dan ketika Soully bertanya tentang Yafizan, Rona selalu berkelit. Padahal Soully tahu, jika suaminya selalu bersembunyi di balik pintu, menghindarinya.

"Ya, kau sudah sembuh dan jauh lebih sehat sekarang." Erick menginterupsi lamunan Soully.

"Syukurlah." Soully mendesah pelan.

"Kenapa sepertinya kau tak senang?"

"Aku? Entahlah..."

***

Seseorang mengetuk pintu ruang perawatan Soully. Membuat Soully yang dibantu suster untuk mengemasi barang-barangnya mengalihkan pandangannya pada sumber suara ketukan pintu. Ada rasa yang membuncah ketika Soully mengira orang yang mengetuk pintu itu adalah suaminya. Senyumnya menghilang ketika ia melihat sosok yang datang bukanlah orang yang ia nantikan. Miller. Pria itu datang ditemani pengawal setianya.

"Selamat siang, Nona." Bimo menyapa penuh rasa hormat.

Perlahan Miller muncul di balik punggung Bimo yang awalnya merasa begitu ragu. "Hai, Soully," sapanya dengan tersenyum canggung.

Souly terdiam, ia ingat yang datang mengunjunginya adalah calon suaminya, di masa lampau. Dan sekarang adalah atasannya.

"Apa aku datang di waktu yang tidak tepat?" Sambil meletakkan parcel buah di atas meja, satu bucket bunga mawar putih Miller sengaja berikan langsung pada Soully.

"Terima kasih." Soully menerima bunganya. "Aku, akan pulang sore ini," ucapnya kemudian.

"Apa bisa kita bicara berdua saja? Itupun kalau kau tidak keberatan." Miller terlihat meragu, menunggu akan jawaban Soully yang bisa saja menolaknya.

"Apa yang mau dibicarakan?"

Setelah beberapa saat obrolan yang diawali dengan keheningan tuntaslah sudah. Miller meminta maaf kepada Soully sebelum ia akhirnya benar-benar pamit. Rasa penyesalan serta apa yang ada di dalam hatinya selama ini tertumpah ruah. Hatinya terasa lega setelah mengungkapkan semuanya. Terlebih perempuan itu telah memaafkannya.

'Aku yakin, suatu saat nanti kau benar-benar akan mendapatkan kebahagianmu. Maka di saat itu, bersyukurlah dengan apa yang telah kau dapat tanpa harus merasakan penyesalan lagi. Dan...berbahagialah selalu, Kakak.'

Kata-kata itu terus terngiang. Apalagi pelukan singkat dan tulus yang Soully berikan, menghangatkan hatinya. Kali ini dia benar-benar kehilangan Malikanya lagi.

Miller menyandarkan kepalanya pada kursi belakang mobilnya seraya memejamkan mata dan menutupnya dengan lengan tangannya. Bimo yang melihatnya di balik kaca spion hanya turut merasakan apa yang dirasakan oleh tuannya ketika melihat bahu Miller bergetar. Tanpa banyak bertanya, pada akhirnya Bimo melajukan mobilnya menuju bandara.

Bersabarlah, Tuan Muda. Kau pasti akan mendapatkan kebahagianmu yang sesungguhnya.

***

"Kenapa barang bawaannya banyak sekali?" gerutu pelan terlontar dari mulut Soully ketika barang yang ia packing sepertinya tak kunjung selesai. Bahkan sekarang tanpa dibantu oleh suster Melani karena ia harus membantu Erick mengoperasi pasiennya.

"Apa suami tuaku itu benar-benar mengusirku dan ingin aku menetap selamanya di sini? Mengapa ia harus membawa hampir setengah isi lemari ke sini? Tidak, ini bahkan hampir semuanya." Soully terus mengoceh tanpa ia sadari seseorang memperhatikannya di ambang pintu.

"Kenapa kau terus mengoceh, Soully?" Rona menyahut. Membuat Soully sedikit berjingkat, kaget.

"Kak Rona?"

Panggilan kakak padanya membuat Rona membeliakkan matanya. Apa ia tidak salah dengar?

"Kau tadi memanggilku apa?" tanyanya memastikan.

"Memanggil apa? Aku tidak bilang apa-apa?" merasa kikuk, Soully berpura-pura melanjutkan mem-packing barang-barangnya sambil merutuki kebodohannya dalam hati.

"Lupakan. Mungkin aku salah dengar." Rona melirik kearah pintu, memastikan Yafizan ada di baliknya.

Tatapan Rona berubah ketika mendapati ekspresi Yafizan yang mengeras dengan tangan terkepal seolah sedang menahan diri untuk tidak segera masuk ke dalam ruangan. Dan Rona menyadari ketika mengikuti arah mata Yafizan yang tak beralih pada Soully yang masih membereskan barang-barangnya.

Rona tahu, Yafizan mengkhawatirkan Soully yang sibuk sendirian dengan mengangkat koper besar yang sudah ia rapikan.

"Soully, mengapa kau membereskan barang-barangmu sendiri?" Rona meraih koper besar yang hendak Soully angkat dan menyisihkannya ke sudut ruangan.

"Ya, tadi ada suster Melani yang membantuku. Tapi karena dokter Erick membutuhkannya untuk membantu di ruang operasi, jadi aku sendiri yang membereskannya." Sambil lalu sibuk melanjutkan membereskan perlengkapan riasnya yang entah mengapa ada di dalam laci lemari.

"Dan aku sungguh tak mengerti, mengapa banyak sekali barang-barang ini di sini?" Soully berdecak kesal. "Lihatlah, sudah dua koper besar aku merapikan pakaian. Dan sekarang ini. Bahkan aku tak tau kapan terakhir kali aku membeli semua ini." Sambil memasukkan perlengkapan riasnya ke dalam wadah yang sudah tersedia. "Seperti aku akan selamanya tinggal di sini saja."

"Kau kan memang akan tinggal di sini lebih lama, Soully. Kau belum pulih sepenuhnya." Rona menyahut.

"Aku sudah sembuh, Tuan. Dan aku diperbolehkan pulang hari ini juga," sanggah Soully membuat Rona tercengang.

"Kau, akan keluar dari rumah sakit hari ini juga?"

"Ya, sore hari ini. Sekarang juga!"

"Tapi kau..." Rona kehabisan kata-kata. Dengan maksud agar Soully tetap tinggal lebih lama sampai ingatannya kembali.

"Ya, dan aku bingung, harus ke mana aku pergi dengan membawa semua barang-barang itu? Apa sebaiknya aku meninggalkannya saja di sini? Siapa tau aku kembali lagi ke sini. Lagi pula, mengapa aku selamat dan hidup lebih lama?"

Soully mengeraskan suaranya. Seolah sengaja agar orang yang berada di luar mendengarnya. Lalu ia kembali menyibukkan dirinya.

"Jaga bicaramu, Soully!!"

Suara pintu yang di banting tiba-tiba membuat Rona sedikit berjingkat. Namun, tidak dengan Soully yang menanggapinya biasa saja. Seringaian halus di kedua sudut bibirnya nyaris tak terlihat. Soully merasa menang.