Rona sudah tiba di apartement. Dia merebahkan tubuhnya, bersandar pada sofa ruang tamunya. Dengan wajah yang lesu, ia mengangkat tangan kanannya lalu mendarat di dahinya, menutupi sebagian wajahnya. Rona memejamkan mata, dirinya masih merasa tak tenang ketika Soully menolak ajakannya untuk tinggal sementara di hotel maupun di mansion. Soully tak mau Rona mengantarnya, ia memilih agar Rona pergi meninggalkannya sendirian di halte bus dengan koper besar yang ada di tangannya.
"Sebenarnya kau akan tinggal di mana, Soully..." Rona menghela nafas dalam terus bertanya dalam benaknya.
***
"Sudah kembali?" tanya Tamara melangkahkan kakinya menuju pantry. Mengambil air minum dalam lemari dingin lalu meneguknya.
Rona menegakkan tubuhnya. Dia sungguh malas berhadapan dengan Tamara. Rona tak merespon pertanyaannya, ia kemudian beranjak lalu berjalan menuju kamarnya. Pada saat yang sama ia berpapasan dengan Yafizan. Namun, Rona tak mengindahkan pandangannya. Ia masih merasa kesal karena perlakuan Yafizan yang tak baik terhadap Soully.
Bagaimana mungkin Yafizan sama sekali tak mengingat istri yang sangat dicintainya itu?
Padahal ia sangat bersikeras memohon kepada Yang Mulia Raja untuk dipertemukan dengan istrinya itu. Sungguh, Yang Mulia memberikan ujian apalagi, sehingga Yafizan yang kekuatannya melebihi siapapun, kini tak bisa berbuat apa-apa selain ia hanya bisa melampiaskan emosinya saja. Ke mana kekuatannya yang sempat kembali itu?
Ditambah, tatapan apa yang sekarang tuan mudanya itu lontarkan kepadanya? Sungguh Rona sangat malas untuk berdebat saat ini.
"Cih, sombong sekali," desis Tamara kesal.
"Kenapa?" Yafizan sudah duduk di kursi pantry-nya.
"Asistenmu itu. Dia tak menjawab pertanyaanku," ucap Tamara mengadu. "Baby, aku ingin kalau kita sudah resmi menikah, asistenmu itu jangan tinggal bersama kita."
Fikiran Yafizan entah ke mana. Ia tak mendengarkan apa yang Tamara katakan. Fikirannya terus berkelana pada sosok mungil beberapa jam yang lalu menghiasi kejadian pagi yang hampir menjelang siang ini. Dia juga tak bisa berkata-kata ketika melihat senyuman indah itu.
Ketika ia melihat punggung Soully saat sedang mengeringkan dan merapikan rambutnya, sesuatu yang ada dalam dirinya membuat ia ingin sekali merengkuh tubuh mungil itu. Ada rasa rindu yang tercipta, entah dia pun tak mengerti alasannya. Seketika lagi-lagi hanya dengan memikirkannya saja membuat hasratnya bergejolak.
Ditambah, tadi ketika ia berada di atas balkon, melihat Rona yang memeluk Soully membuat hatinya memanas. Tanpa sadar ia mengepalkan kedua tangannya.
"Baby!" pekikan Tamara membuyarkan fikirannya.
"T-Tamara, ya, kenapa?" ucap Yafizan terbata.
Ia menatap wajah Tamara, entah kenapa rasa itu tak ia rasakan pada wanita yang berada di hadapannya sekarang.
"Tamara?" Tamara menyipitkan kedua matanya. Ia begitu kesal. Karena biasanya Yafizan memanggilnya dengan nama sayangnya, Tammy.
Apalagi Tamara menangkap aura kecemburuan ketika Yafizan melihat Rona memeluk Soully tadi. Tamara sangat sadar diri jika dia memang hanya digunakan sebagai alat agar Yafizan tidak semakin depresi, dia juga tahu jika Soully lebih berhak berada di samping Yafizan. Namun, kepolosan Soully membuat Tamara di atas angin, dia akan memanfaatkan situasi yang ada agar Yafizan menjadi miliknya kembali. Karena saat ini hanya dirinya yang diingat Yafizan.
"Sudahlah, lupakan!" Tamara meletakkan botol air minumnya dengan kasar, ia lalu pergi meninggalkan pantry. Meninggalkan Yafizan yang tak mengerti dengan dirinya sendiri.
"Tamara, kenapa? Jangan seperti ini." Sudah meraih tangan Tamara, menghentikannya. "Kenapa, hm?" memeluk dari belakang. Tamara tersenyum puas, walaupun Yafizan sudah tidak memanggil dirinya dengan 'Tammy' lagi.
"Kenapa kau sepertinya bersedih ketika perempuan tadi pergi? Apa kau menyesal telah mengusirnya?" rajuk Tamara pura-pura.
"Aku? Benarkah seperti itu?" merasa heran sendiri.
"Ah, sudahlah lepas. Aku lapar." mencoba melepaskan pelukan.
"Baiklah-baiklah, kita pergi makan siang di luar, bagaimana?" Yafizan melunak berusaha membujuk perempuannya yang sedang merajuk. Tamara mengganggukan kepala.
"Kalau begitu aku akan berganti pakaian dan kau, bersiaplah." tersenyum hangat, lalu Tamara segera berlalu untuk bersiap diri.
Yafizan masih bergeming pada tempatnya, ia melihat punggung Tamara yang semakin lama menjauh. Ia menatap kedua lengannya, pelukannya, senyuman yang ia tunjukkan tadi pada Tamara...
Terasa sangat Hambar...
***
Soully masih duduk sendirian di halte bus. Ia tak tahu harus ke mana. Apa sebaiknya ke kontrakan yang lama? Atau dia cari kontrakan baru? Namun yang pasti akan membutuhkan cukup waktu. Lagipula, ia belum menerima gaji pertamanya yang akan dibayar beberapa hari lagi. Hanya tinggal beberapa lembar uang di dalam dompet cantiknya. Bukan tidak mungkin ia tidak mendapatkan hak berupa nafkah dari suaminya yang kaya raya itu, bukan?
Tadi, Rona bersikeras menyuruh Soully ke hotel A, di mana saham terbesar milik suaminya tertanam di sana. Jadi, sangat mudah baginya untuk mendapatkan fasilitas President Suits VVIP Room di sana. Akan tetapi, Soully tak ingin ada balas budi dikemudian hari, walaupun black card terselip cantik di dalam dompetnya, ia tak ingin menggunakannya.
.
.
.
Sepenggalan ingatan ketika tanpa sepengetahuannya Yafizan menyelipkan black card master itu dalam dompetnya. Dompet yang memang sengaja Yafizan selipkan di dalam tas kerja Soully. Anggap saja dia memang berniat memberi surprize pada istrinya. Tak hanya di situ, dompet plus isinya memang lengkap dan luar biasa!
Tentu saja membuat Soully tak percaya. Pasalnya semenjak bangun dari koma, dia hanya menyayangi dompet lusuhnya.
Soully memotret dompet baru beserta black card master tersebut lalu mengirimkannya berupa pesan kepada suaminya.
-Kau sungguh membuatku terkejut, Sayang. Hampir saja aku menjatuhkan benda berharga ini. Tolong beri saja aku uang cash untuk memenuhi dompetku yang cantik ini...😊😊 Ohya, kau tak membuang dompet lamaku, kan? Dompet lusuh itu kesayanganku. Tapi terima kasih karena hadiahmu ini menyelematkanku...❤😘💋- Soully.
Saat itu, ketika Soully menemani Miller makan siang untuk meeting bersama kliennya di salah satu mall ibukota, ia melihat sebuah dasi yang dipajang di salah satu counter pakaian di sana, ia mengira uang yang ada dalam dompetnya cukup untuk membayar harga benda sekecil itu. Soully sempat mendapatkan cibiran dari wanita-wanita sosialita karena tak mampu membayar benda kecil itu.
Karena panik, Soully menjatuhkan dompetnya hingga black card master yang terselip itu hampir terjatuh dari tempatnya. Soully mengambil dompetnya yang terjatuh dan masih terkesiap pada dompet baru beserta black card master yang menonjol keluar itu. Ketika sang kasir mengingatkan tentang black card master yang terselip di dalam dompetnya, Soully segera tersadar lalu memberikan black card master itu pada kasir dan membayar dasinya.
Dasi yang ingin ia hadiahkan kepada suaminya.
Beruntung pin black card master sama dengan pin pintu masuk apartementnya, sehingga memudahkan dirinya untuk mengakses kartunya.
Dan, seketika itu para wanita sosialita yang sempat mencibirnya pun langsung terdiam. Seluruh karyawan yang ada di toko tersebut pun menunduk hormat padanya.
.
.
.
Yafizan yang saat itu sedang meeting tersenyum sendiri. Tidak mendengarkan apa yang sedang, di presentasikan asistennya, Rona. Hatinya membuncah bahagia karena pada ponselnya terdapat notifikasi jika Soully menggunakan black card master-nya. Karena selama ini Soully tak pernah menggunakan fasilitas yang diberikan Yafizan padanya. Bahkan, hanya untuk meminta uang pun tidak. Hanya Yafizan yang selalu berinisiatif diam-diam menaruh uang pada dompet lusuhnya dulu.
Senyum Yafizan semakin mengembang ketika ia menerima pesan dari Soully dan melihat emoticon yang berada di akhir pesan istrinya tersebut.
-Aku turut senang jika kau menyukai kejutannya, Sayang. Pakailah semaumu, tenang saja aku takkan jatuh miskin. Aku akan benar-benar membuang dompet lusuhmu itu jika sekali lagi kau menyebutnya kesayangan. Kesayanganmu hanya AKU!! Dan tentu saja kau yang paling berharga di muka bumi ini. Aku akan menantikan hadiah terima kasihmu itu nanti malam 😉😉💋💋💋, Love 1000x - Yafizan.
Oh, sungguh menyebalkan jika orang jatuh cinta. Rona mendelik sebal.
Cih, menyebalkan, possesif sekali. Soully memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu berjalan pulang dengan senyum yang mengembang.
***
Yafizan memegang kotak dasi yang dibelikan Soully waktu itu ketika ia masuk ke dalam walk in closet untuk berganti pakaian. Pandangannya tertuju pada kotak hitam berukiran emas yang menonjol dalam koleksi dasinya. Ia mengambil dan menatap lekat dasi itu, ingatannya benar-benar tak dapat menembus ke dalam memorinya. Pandangan matanya kembali berpendar pada lemari pakaian yang tertata rapi, namun ia masih merasa janggal akan pakaian-pakaian serta pernak pernik wanita yang bersatu dengan pakaian pribadinya.
"Baby, kenapa lama sekali?" suara nyaring Tamara membuyarkan rasa penasarannya.
"Kau sedang apa? Ayolah, aku sudah lapar. Kita harus makan siang di restoran kesukaanku, kau masih ingat kan, Bebe?"
Yafizan tak mendengarkan sepenuhnya ucapan Tamara, ia masih fokus pada kotak dasi serta walk in closet-nya tersebut. Alih-alih menanggapi, dia malah bertanya.
"Kapan aku membeli dasi ini? Apa kau yang membelikannya?"
"Dasi itu? Mana mungkin seleraku murahan seperti itu, kau kan tahu sendiri," sanggah Tamara.
"Tapi ini sepertinya dasi branded..." lirih Yafizan,
Tamara lupa jika seharusnya dirinya berakting. Buru-buru ia mencairkan suasana lagi saat melihat raut muka Yafizan yang berubah. "Ehm, mungkin kau yang membelinya sendiri, Baby. Sudahlah, kapan kita berangkat?"
"Lalu, pakaian dan pernak pernik perempuan di sini, apa ini semua milikmu?" masih penasaran.
Tamara mengerjap, ia pun melihat sekeliling yang ada di ruang ganti itu. Dengan gelagapan ia menjawab, "I-iya"
"Sejak kapan kita tinggal bersama? Bukankah terakhir kali kau pergi meninggalkanku?"
"A-aku...aku membawa sebagian pakaian dan perlengkapanku ke sini. Karena jarak dari sini ke rumah sakit cukup dekat, akan lebih mempermudah untukku bolak balik untuk menjagamu. Jadi aku memutuskan untuk tinggal di sini sementara," jelas Tamara gugup. "A-apa kau marah?"
"Tidak, hanya saja terasa aneh kau tinggal bersamaku." tersenyum canggung. "Namun, aku merasa familiar dengan semua yang ada di sini. Ya...mungkin karena ini memang milikmu. Tolong tunggulah dan tinggalkan aku sendiri," mohonnya.
"Tapi..." Tamara sudah memasang raut kecewanya.
"Tunggulah, aku akan berganti pakaian." sudah merasa tak enak jika Tamara kecewa.
Tamara pergi dari kamar dengan sedikit kesal. Pasalnya lelaki hilang ingatan itu tetap saja memikirkan istrinya. Raganya bersamanya, namun hatinya tetap pada Soully.
Yafizan masih menatap kotak dasi yang berada dalam genggaman tangannya. Kembali lagi pandangan matanya berpendar ke seluruh ruang gantinya. Ia mengernyitkan dahi lalu menghela nafas pelan mencoba mengingat semuanya. Namun, sama sekali tak tertembus oleh memorinya.
Pasca tersadar di rumah sakit, ia sungguh mengira baru terbangun dari tidur panjangnya karena kecelakaan yang menimpanya. Hal pertama yang dirinya ingat setelah ia sadar memanglah Tamara, karena tindakannya berkesan tersendiri sesaat Tamara pergi mencampakkan dirinya.
Ketika Tamara beralasan soal kepindahan dirinya ke apartementnya, sungguh ia merasa ada yang janggal. Pasalnya ia ingat betul bagaimana selera Tamara yang selalu glamour. Sedangkan pernak pernik wanita yang ia lihat sekarang, sangatlah sederhana, namun tak menghilangkan citra elegant dan semuanya termasuk jenis barang-barang branded yang langka. Yafizan benar-benar tak ingat jika dirinya sendiri yang membelikan semua barang-barang tersebut untuk istri tercintanya.
Apa Tamara merubah seleranya dalam fashion?
Yafizan duduk di tepi tempat tidurnya, meraba bantal yang dirasa bantal itu ditinggalkan pemiliknya.
Ia lalu menatap tempat tidurnya yang tadi sempat di duduki oleh Soully. Ada rasa sakit dalam dadanya ketika ia mengingat kejadian tadi. Tanpa ia sadari, ia memegang dadanya.
Entah mengapa perasaannya begitu kosong...
***
Bersambung...
Jangan lupa tekan Like sama Vote yaa