Malika merasa dilema, antara kasihan juga menentang. Bagaimanapun hubungan yang dijalin dengan rasa saling mencintai satu sama lain adalah anugerah yang paling indah. Dia pun berharap cintanya berbalas. Menatap wajah Mayra yang memelas seperti itu membuat hati Malika melunak. Dipandanginya kembali wajah Erick yang menatapnya dengan hangat. Dan wajah Mayra yang menaruh pengharapan yang besar padanya.
"Aku akan berkeliling di sekitar sini sembari menunggu urusan kalian. Cepat bereskan dan segera kembali. Aku akan menunggumu di depan kedai itu," ucap Malika dengan menunjuk salah satu kedai yang ada di pasar raya.
"Terima kasih." Mayra berhambur langsung memeluk Malika erat.
"Terima kasih, Malika. Akan ku pastikan akan membalas kebaikanmu suatu saat nanti," sahut Erick menimpali.
Malika tak merespon keduanya, ia pergi tanpa menoleh lagi, tak lama kemudian ia mengangkat telapak tangannya ke atas memberi isyarat agar mereka berkencan dengan 'cantik'. Mayra dan Erick pun langsung bergegas entah ke mana mereka pergi untuk melakukan kencan yang secara rahasia itu.
Biarkan takdir yang akan menjawab semuanya. Sekarang fokus pada hidupmu dan pura-pura tak tahu, Malika.
***
Suasana pasar raya saat itu begitu ramai. Para pedagang sudah mulai saling bersahutan mempromosikan barang dagangannya. Sungguh sangat indah dan cantik, pemandangan pasar raya begitu memukau karena warna warni pernak pernik barang yang di perjual-belikan itu menghiasi seluruh pasar raya.
Tak jarang pula aroma khas kuliner yang begitu beraneka ragam menggoda indera penciuman serta membuat mata yang melihat berbagai jenis kuliner tersebut mengarahkan tubuh untuk segera mencicipi semua jenis makanan yang ada di sana.
Walaupun hatinya merasa berdebar karena takut, namun hasrat berburu makanan manis serta pernak pernik lucu tak membuat semangat jiwa Malika untuk menyerah. Lupa sudah akan pengkhianatan yang dilakukan Mayra tadi.
Malika mulai mencicipi satu persatu jenis makanan yang ia hampiri di setiap stand penjual kuliner dengan ciri dan khas masing-masing yang mereka jual di sana. Seperti anak kecil, ia memakan berbagai jenis makanan yang ia coba.
Tanpa Malika sadari, seseorang memperhatikan tingkah laku dan gerak geriknya. Bagaimana bisa gadis yang terlihat seperti orang bangsawan itu seperti gadis polos yang tak tahu tata krama dan tak mengerti apa-apa melakukan semuanya tanpa pertimbangan dan perhitungan.
"Ck, sungguh gadis yang barbar. Bagaimana mungkin seorang gadis kelakuannya seperti kerbau?" gumam pelan seorang pria yang mengawasi Malika.
"Ya, Tuan Muda. Apa yang kau bicarakan?" tanya salah satu pengawalnya.
"Tidak, bukan apa-apa," jawabnya.
Langkah kaki pria itu semakin mendekati stand makanan di mana Malika sedang mencicipinya. Dia hanya merasa risih tapi penasaran akan sosok gadis bertudung kepala itu.
"Tolong Bibi, aku mau yang itu juga," ucap Malika menunjuk makanan lain yang mau dia cicipi.
"Tsk, benar-benar seperti kerbau." Pria itu berdecak lalu mendesah pelan namun terdengar jelas karena kini mereka berdiri berdampingan.
Malika menghentikan makanannya yang hendak masuk ke dalam mulutnya. Dia menoleh sinis pada pria yang sedang berdiri di sampingnya. Tanpa mempedulikan omongannya, Malika kembali hendak memakan makanannya.
"Bagaimana bisa gadis kecil sepertimu menampung semua jenis makanan yang ada di sini," desisnya kembali membuat Malika mendengus kesal.
Tanpa berfikir lagi, Malika sengaja menjatuhkan makanannya yang penuh dengan saus kuah pedas hingga mengotori ujung sepatu pria itu. Sang pria langsung terperanjat ingin menghindar, namun tak sempat dihindari.
"Ups, maaf," ucap Malika tertunduk tanpa menoleh, namun menyunggingkan senyuman tipis di bibirnya yang mungil. Tanpa menatap pria itu karena terhalang kerudung penutup kepalanya, Malika pergi tanpa mempedulikan pria yang tengah kesal kepadanya. "Bibi, hitung semua makanan yang aku cicipi lalu tagih semua pada pria ini," serunya berlalu.
Para pengawal yang menjaga pria itu sibuk membersihkan tumpahan makanan yang mengotori sepatu tuan mudanya. Betapa kesalnya pria itu saat mendengar Malika meminta untuk membayar tagihan makanannya.
Bibi penjual makanan itu menatap takut pada pria itu.
"Maaf, Nona. Apa bisa kau saja yang membayarnya?" ucap bibi penjual makanan tersebut dengan gugup dan takut.
Malika seketika menghentikan langkahnya lalu menoleh kepada penjual makanan tersebut. "Kenapa memangnya?" Malika tak mengerti.
"Dasar gadis tak punya sopan santun!" Salah satu pengawal hendak menghajar Malika karena merasa geram. Malika mengalihkan pandangannya lalu menunduk takut. Tudung kepalanya hampir tersingkap sehingga menunjukkan sedikit wajahnya, namun masih terlihat jelas oleh pria yang dipanggil 'Tuan Muda' itu.
"Hentikan!" perintahnya. Tubuhnya bergetar karena merasa takut dan sangat bersalah. Ia berjalan pelan menghampiri Malika. Kedua tangannya menangkup wajah yang tertutup tudung penutup kepala itu. Kemudian ia menggerakan wajah Malika agar menatapnya.
Pandangan mata mereka beradu. Tatapan pria itu menjadi sendu. Ada rasa haru di kedua mata pria itu. Seolah ia melihat seseorang yang sangat di rindukannnya. "Mayra..." lirihnya. Mata Malika semakin membulat.
Apa dia tak salah dengar? Mayra? Ya, pria berotot kekar ini memanggilnya Mayra. Apakah Mayra calon adik iparnya itukah? Atau Mayra yang lain?
Orang-orang di pasar raya kini malah terfokus ke arah mereka. Seorang pria yang dengan penuh kerinduan menangkup wajah seorang gadis di tengah keramaian saat itu. Bagaimana mungkin orang-orang tak mengenal siapa pria itu. Pria itu salah satu petinggi di negeri mereka.
"Apakah itu Tuan Muda Yafizan dan tunangannya Nona Mayra? Sungguh romantisnya mereka."
"Sungguh sangat romantis. Siapa gadis itu? Apakah dia benar-benar Nona Mayra? Sepertinya bukan."
DEG!
YAFIZAN?!
Bagai diserang bom atom yang hampir meledak. Malika segera menjauh. Ia menepis kedua tangan hangat yang sedang menangkup wajahnya. Matanya kini semakin melebar, semakin terlihat cantik karena tatapan bola mata jernih itu semakin membuat Yafizan ingin terus mendekapnya. Dan benar saja, kerontaannya membuat Yafizan tak melepaskan gadis yang kini sedang didekapnya dengan erat, seolah tak ingin bahkan tak boleh dilepas. Ia mendekap Malika dari belakang karena Malika sempat berbalik untuk kabur. Tak peduli berapa pasang mata yang melihat adegan itu. Namun, dengan sigap, para pengawal sudah melalukan inspeksi untuk menertibkan keadaan sekitar sehingga tak ada yang berani melihat ataupun mencoba menginterupsi apa yang dilakukan tuan muda mereka. Para pengawal berbalik dan mengepung dua insan yang sedang berada di tengah lingkarannya, memberikan privasi kepada mereka.
"Ke mana saja kau? Kenapa susah sekali hanya untuk menemuimu? Apa kau sudah sembuh? Maaf aku tak bisa menemanimu saat kau sakit. Kenapa kau melarangku untuk menemuimu saat kau sakit? Padahal aku sangat ingin menemani dan merawatmu saat kau sakit," ucapnya terdengar bergetar, ada rasa ketulusan dalam setiap ucapannya.
Malika menghela nafas dalam. Mayra membohongi pria ini. Pria yang menjadi tunangannya. Ia memejamkan mata lalu membuang kasar nafasnya.
"Maaf, Tuan. Kau salah orang." Malika meronta. Tak ingin ia dipeluk pria asing. Apalagi pria yang sedang memeluknya saat ini adalah tunangan Mayra.
"Kenapa kau berpura-pura seperti itu. Apa kau malu?" goda Yafizan. "Atau...apa kau takut aku marah padamu karena mengotori sepatuku?" Ia memutar tubuh Malika.
Malika masih menundukkan kepalanya.
"Duh, mau apa lagi tuan muda ini? Kak Mayra, di mana kau sekarang?" benak Malika meronta.
Yafizan yang bisa mendengar suara hati, tak mengerti apa yang diucapkan perempuan mungil ini. Sejenak ia berfikir lalu menyunggingkan senyuman tipis di sudut-sudut bibirnya. Perempuannya sedang berpura-pura...
"Awalnya iya, aku sangat marah, berani sekali orang asing mengotori sepatuku. Kau tahu, hampir saja kau kena pukul pengawalku. Jika tadi kau terluka, maka kupastikan dia mendapat ganjarannya." Tatapan dingin Yafizan tolehkan pada pengawal yang tadi hendak menghajar Malika. Pengawal itu menundukkan pandangannya saat mendengar yang diucapkan tuannya dari belakang.
"Untung saja itu kau. Kau boleh mengotori apapun pada tubuhku. Tapi, kau harus terima hukumannya karena pura-pura tak mengenaliku." Tangan Yafizan meraih dagu Malika. Pandangan matanya begitu mendamba saat ia melihat belahan bibir mungil berwarna merah jambu itu. Lalu tanpa berbasa-basi dan tanpa membuka penutup kepalanya ia membenamkan bibirnya pada bibir mungil Malika. Tanpa melihat wajah gadis yang diciumnya, ia terus melumat dalam bibir Malika. Semakin Malika memberontak, semakin memperdalam pula ia menautkan bibirnya. Yafizan semakin menekan tungkak leher Malika dan menahannya. Rasanya bagaikan candu baru untuknya saat merasakan manisnya bibir mungil itu.
Tangan Malika sekuat tenaga menjauhkan tubuh pria itu. Kini wajahnya sungguh merona karena malu. Orang-orang hanya berlalu lalang menatap mereka dengan penuh kagum bahkan tersipu malu. Yafizan tersenyum puas. Ia masih tak menyadari jika gadis yang diciumnya sembarangan itu bukanlah Mayra.
Malika mendengus kesal. Tanpa menoleh lagi ia benar-benar harus pergi menjauh. Namun, sekali lagi, Yafizan berhasil menangkap tangan Malika yang hendak berlari, lalu ditariknya dengan sekuat tenaga hingga tubuh mungil Malika membentur tubuh kekarnya. Didekapnya dengan erat lagi. Lalu diciumnya sekali lagi bibir yang sudah mulai pucat dengan lipstik yang mulai luntur itu. Ciumannya semakin menggebu namun penuh rasa rindu, cinta dan kasih sayang.
Malika hendak memukul Yafizan, namun tangannya dengan sigap menahan tangan Malika, lalu jemarinya mencengkramnya erat. Yafizan masih belum melepaskan tautan bibirnya. Malah ia semakin memperdalam pagutannya, menyesapi rasa manis bibir Malika.
Ini adalah ciuman pertama bagi mereka. Pada akhirnya Yafizan bisa mencium tunangannya, Mayra. Yang sejak dulu sangat didambakannya. Namun tidak untuk Malika yang merasa ternodai karena ciuman pertamanya telah dicuri. Ciuman pertama itu, bagai candu yang nikmat bagi Yafizan. Sungguh rasanya begitu manis, sehingga tak ingin ia melepasnya begitu saja.
"Yafi?" sahutan seseorang menghentikan aktivitasnya. Matanya terbuka lebar lalu ia melepaskan pagutan bibirnya yang sebenarnya tak ingin ia lepas. Ditolehnya kemudian ke arah suara yang memanggil namanya dengan nafas yang masih terengah-engah.
"Mayra?" kaget Yafi bukan main. Segera ia menatap gadis yang sedang didekapnya dengan erat. Tangannya membuka penutup kepala gadis itu. Betapa terkejutnya ia, gadis yang dikira Mayra itu bukanlah Mayra. Gadis cantik yang menyejukkan mata dan hatinya.
Yafizan merasa terkesiap, tetapi ia tak segera melepas dekapannya. Ada rasa nyaman tersendiri bagi dirinya, melebihi ketika ia menyentuh Mayra.
Mungkin, karena selama ini Mayra selalu menghindar darinya ataukah memang ada rasa berbeda yang terpancar dari gadis dalam dekapannya kini.
"Kakak," seru Malika meronta. "Ini tidak seperti yang kau fikirkan," jelasnya gugup dan takut. Ia melepas diri dari dekapan pria yang ternyata tunangan Mayra.
Mayra tak bergeming. Hatinya tak peduli, karena ia memang tak mencintai tunangannya itu.
Yafizan tersadar, ia menatap wajah gadis yang tadi diciumnya sembarangan. Cantik.
Malika menatap Yafizan tajam, mengisyaratkan dengan matanya untuk membantunya memberitahu serta menjelaskan yang sebenarnya terjadi kepada Mayra. Namun, isyarat matanya tak membuat Yafizan mengerti. Ia malah menaikkan bahunya, seolah tak peduli.
"Kak Mayra, dia yang menciumku duluan," sanggah Malika menunjuk Yafizan. "Dia sembarangan menciumku!" ucapnya lagi membela diri.
"KAU!" Yafizan mendengus kesal. Rasa malu dan tak enak hati bercampur aduk.
"Suruh siapa kau berdandan seperti tunanganku?" tukasnya membela diri agar tak terpojok.
"Apa? Memangnya hanya kak Mayra saja yang berdandan seperti ini?" sengit Malika tak mau kalah. Walaupun sebenarnya memang benar, ia berdandan seperti Mayra hanya karena ingin mendapat perhatian dari Miller, calon suaminya.
***
Bersambung...